Oleh Eka Gilang Wicaksana
Humas Ada Kreatif
Sejak kecil, kita seringkali diajarkan tentang pentingnya menabung dengan pendekatan-pendekatan tertentu, sebagai contoh munculnya istilah: Hemat Pangkal Kaya, Menabung Pangkal Kaya. Maknanya, jika ingin kaya, menabunglah! Istilah tersebut sering didengungkan sejak pendidikan dasar, hingga masa bekerja seseorang. Lantas, apa menabung itu sebenarnya? Sepenting apa menabung bagi kita? Dan dari mana tradisi menabung itu muncul?
Menurut KBBI, kata menabung termasuk ke dalam kata kerja yang memiliki arti menyimpan uang. Adapun uang yang disimpan bisa dalam berbagai media apa saja, seperti celengan, pos, rekening bank dan lain sebagainya. Sementara itu, menurut Undang-Undang No 10 Tahun 1998, tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati.
Menabung sejatinya adalah kegiatan pengelolaan harta yang bertujuan untuk mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan di masa-masa yang akan datang. Kegiatan menabung ini ada atas dasar kesadaran akan kebutuhan manusia yang kian hari kian meningkat. Tabungan bisa menjadi penyelamat ketika di kemudian hari memerlukan dana yang tak terduga, seperti: kecelakaan, terlilit hutang, pernikahan, dan persiapan masa depan anak.
Menabung akan sangat bagus bila dibiasakan sejak dini, menabung dapat melatih disiapin anak, melatih kesabaran anak, juga melatih anak dalam mengambil keputusan dengan bijak. Jika sejak kecil anak sudah dibiasakan untuk menabung, tidak menutup kemungkinan anak akan membawa kebiasaan baik hingga dewasa.
Maka, tak heran pemerintah sudah menggalakkan kegiatan menabung di sekolah-sekolah dasar hingga sekolah tingkat akhir untuk membiasakan masyarakatnya untuk menabung. Berbagai seminar-seminar diadakan di tiap-tiap lembaga pendidikan formal maupun tidak formal. Bahkan juga dimasukan dalam kurikulum sekolah.
Di Indonesia budaya menabung ada sejak zaman Nusantara, sekitar abad 13 sampai 15 M. Sejarawan pantura, Wijanarto mengasumsikan dua hal tentang asal mula tradisi menabung di Nusantara.
Pertama, tradisi itu berawal dari temuan gerabah berbentuk hewan di situs kerajaan Majapahit, yang berbentuk seperti celeng (babi), kura-kura, dan bentuk hewan lainnya. Ia menuturkan, seorang arkeolog, Supratikno Rahardjo menyebut bahwa kata “celeng” juga bisa disimbolkan sebagai Dewa Kuwera yang dalam istilah Hindu melambangkan kekayaan dan kemakmuran.
Kedua, pendapat dari sejararawan Prancis, Denys Lombard, dalam karyanya ‘Nusa Jawa’ ia menyebut bahwa, tradisi menabung di Jawa itu mengikuti tradisi menabung masyarakat Tionghoa sejak kedatangannya di Nusantara sekitar abad ke-15 sampai 16 M. menurut Wijan, Denys juga mengaitkan istilah “celengan” dengan hewan dalam mitologi masyarakat Tionghoa yaitu celeng atau babi yang melambangkan hewan pembawa kekayaan.
Wijanarto mengungkapkan, sebelum mengenal uang, masyarakat Nusantara menabung dalam bentuk barang. Hal yang paling menarik yang dimiliki masyarakat Nusantara adalah memiliki lumbung padi. Mereka menabung guna menghadapi pagebluk di masa tanam.
Meskipun demikian, tradisi menabung sudah tidak hanya terpaku uang, tetapi juga dalam bentuk-bentuk lainnya, seperti: Hewan ternak, tanah, emas dan lain sebagainya.
Budaya perbankan diperkenalkan di Nusantara setelah Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah atau landrent. Barulah pada abad ke-20 dua priayi asal Purwokerto, yaitu: Raden Bei Aria Wirjaatmadja (pendiri BRI) dan Raden Mas Margono Djojohadikoesoemo (pendiri BNI). Kedua tokoh inilah yang mengenalkan juga tentang kredit rakyat. Setelah itu, berkembang lagi menjadi menabung dalam bentuk asuransi yang diawali oleh Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera.
Melihat hari ini banyak berdiri bank dan lembaga asuransi di Indonesia, menandakan banyaknya masyarakat Indonesia yang minat untuk menabung, meskipun sebenarnya tidak semua orang yang menggunakan bank itu benar-benar niat untuk menabung. Sebab, di era digital saat ini, hampir semua perusahaan menggunakan jasa e-money dalam segala urusan transaksi, begitu pula dalam menggaji karyawan mereka. Sehingga masyarakat benar-benar dibuat butuh dengan jasa lembaga per-bankan.
Tuntutan-tuntutan zaman seperti transaksi digital saat ini tentu memakan porsi biaya lebih, sebab dalam sekali bertransaksi kita akan dikenakan potongan-potongan biaya dalam tarif tertentu. Tentunya ini semua secara tidak langsung akan menguras biaya.
Hal ini diperberat dengan kebutuhan-kebutuhan pokok yang harganya kian hari, kian melonjak tinggi akibat inflasi dari ketersediaan stok yang menipis, belum lagi kebutuhan pendidikan yang masih dirasa mahal, kebutuhan transportasi, berikut juga pajak-pajaknya.
Dengan fakta-fakta itu semua, tentunya kita semakin sadar akan pentingnya kegiatan menabung. Menabung tidak hanya sekadar menyisihkan hasil pendapatan, tidak hanya sekadar kegiatan berhemat, tetapi juga sebagai bentuk upaya kita untuk menyelamatkan masa-masa yang akan datang.
Eka Gilang Wicaksana Sulaeman Redaktur Belajar Kepada Pesohor |