Cerpen: Mimpi di Tepian Jalan

 
Oleh M. Yus Yunus

Hari yang menjenuhkan untuk segudang kesibukan dalam dunia virtual. Rasanya malas sekali menggerakan kedua tanganku di atas meja untuk mengerjakan ini dan itu. Sementara layar laptop masih menyala terang dengan sambungan wifi tentangga. Maklum saja menjadi tenaga pendidik pada sebuah sekolah bernama MI Nurul Akhyar di Jalan Kayus Manis Kecamatan Pamulang itu tidak memberikan banyak penghasilan. Apa lagi di masa pandemi seperti saat ini pekerjaan semakin bertambah, sementara nominal dalam slip gaji tidak jauh berbeda seperti bulan-bulan sebelumnya. Sama sekali aku tidak menyesal menjadi seorang guru hanya karena upah yang tidak seberapa itu. Idealis memang membawa kita pada sebuah mimpi, tapi dalam realitanya kehidupan juga butuh materi.

Layar laptopku masih menyala terang sore itu. Tepat pada pukul enam belas waktu Indonesia bagian barat, sebuah pesan muncul pada sebuah layar di bagian kanan bawah. Pesan itu dikirim oleh Kepala Sekolah melalui aplikasi whatsapp yang berisi deadline pengumpulan berkas rekapitulasi penilaian akhir semester. Seketika aku tersadar kembali dari rasa suntuk yang terus saja mengganggu kepala, sebuah tugas telah menunggu untuk dikerjakan. Tentu saja harus aku selesaikan secepat mungkin mengingat wifi tetangga dan sebatang rokok yang menemani kerjaku ini pada masanya akan terputus.

Semakin waktu berjalan begitu cepat, semakin pula rasa emosiku menanjak. Sama seperti ketika aku memacu roda dua di tanjakan Jalan Kayu Manis itu, akses yang sempit untuk kebutuhan serba cepat pada zaman kemajuan ini. Semua tugas siswa telah aku cek satu persatu, hampir semuanya telah mencapai nilai angka yang maksimal. Beberapa siswa mendapatkan nilai cukup baik, dan sedikitnya berada di bawah kriteria ketuntasan minimal. Di antara nama-nama itu ada satu siswa yang cukup mengejutkan. Entah apa yang membuat dirinya gagal bersaing dalam penilaian akhir semester ini, padahal saat sebelum pandemi anak itu terlihat begitu rajin. Dugaan yang sangat mudah, pasti soal paket data atau kesulitan beradaptasi dengan pembelajaran jarak jauh seperti saat ini.

Anak itu bernama Nono, bocah gundul dengan rambut sepanjang satu sentimeter. Ini kali kedua bocah itu mencuri perhatianku. Beberapa waktu sebelum masa pandemi, si gundul itu kerap menjadi percontohan di kelasku. Sebagai bocah yang tidak memiliki postur tubuh yang cukup tinggi, Nono nyatanya menjadi anak terbaik di kelas Pendidikan Jasmani Olahraga dan Ketrampilan. Ia selalu menerapkan kedisiplinan, hadir tepat waktu, dan pandai melaksanakan intruksi yang tidak jarang membuat rekan-rekan sebayanya iri, sebab karena tindakannya itu Nono selalu mendapatkan pujian dariku. Tentunya sebagai seorang guru aku selalu mencoba memberikan pemahaman kepada mereka, sudah saatnya merubah rasa iri menjadi tenaga. Meskipun aku sendiri tidak yakin dengan apa yang terucapkan itu.

Bagi seorang guru sepertiku, Nono adalah harapan yang sempurna. Sekalipun rasa simpatiku kepadanya berisi kemalangan belaka. Terkadang aku merasa menyesal telah memberikan mereka harapan kosong dengan kata-kata mutiara. Padahal pada kenyataannya kehidupanku sendiri sudah begitu rumit untuk memberikannya contoh yang nyata. Tapi ialah Nono si bocah kurus bertubuh pendek yang ceria. Salah seorang terbaik dari sekian banyak siswa-siwaku di MI Nurul Akhyar. Keluguannya membaca dunia telah menghadirkan mimpi yang manis, semanis nama daerahnya.

Bocah ingusan itu terlahir pada sebuah keluarga kecil di Jalan Kayu Manis Kelurahan Pondok Cabe Kecamatan Pamulang. Sebuah wilayah yang berbatasan dengan Kecamatan Limo kota Depok ini telah menjelma gua emas dalam cerita fantasi. Ayahnya hanyalah seorang sopir angkutan umum yang belakangan ini tergerus oleh jasa transportasi cepat. Sementara ibunya sendiri sudah lama sekali tiada, entah karena penyakit atau apa. Tidak ada cerita yang untuh soal seluk beluk kematian ibunya. Yang jelas Nono adalah salah satu dari sekian banyak anak terbaik di sekolah, sudah tentu ia perlu mendapatkan bala bantuan. Barang kali, nilainya yang merosot itu bukan disebabkan oleh keinginannya. Tapi bagaimana caraku menghubungi bocah itu?

Jarum jam di balik kepalaku masih berputar, tanda baterai di dalamnya masih menyimpan tenaga. Jarum pendek menunjuk angka tujuh. Lagi-lagi bisik waktu mengusik kenyamananku memakai wifi tetangga. Aku harus mempercepat kerjaku supaya dosa ini tidak sia-sia. Bukan maksudku sengaja ingin mencuri fasilitas orang lain, tetapi orang tersebutlah yang membiarkanku mengambilnya. Mudah-mudahan Tuhan tahu, kalau apa yang aku kerjakan ini jauh lebih tinggi nilainya ketimbang dosa yang telah aku perbuat.

Sudah hampir jam delapan malam pesanku belum juga terbaca oleh wali kelas lima, sementara aku membutuhkan nomor telepon yang dapat menghubungi bocah ingusan itu.  Aku tidak punya banyak waktu sampai tanda sinyal itu hilang pada layar laptopku. Sudah jelas tetanggaku pasti sudah menyadari keberadaanku. Tinggal menghitung waktu, sampai ia datang dan mengetuk pintu lalu memberikan tuduhan miris. Semiris daerah Kayu Manis yang dikelilingi bangunan mewah, South City di sebelah utara, lapangan golf di sebelah selatan, dan Bandara Pondok Cabe di sebelah barat, juga perbatasan Kota Depok di sebelah timur.

Aku putuskan untuk secepat mungkin meninggalkan rumah sewaan itu, sebelum tetangga sebelah berkelakar. Rumah Nono adalah tujuanku untuk menyelesaikan tugas. Roda duaku berjalan keluar melewati Jalan Kelengkeng menuju Jalan Pondok Cabe Raya. Hamparan hijau di sebelah kanan membentang sepanjang jalan itu. Sebuah pesawat turun merebahkan sayapnya, membuatku teringat kala terakhir bertemu dengan bocah berambut minimalis itu.

***

Keduanya seperti tengah menunggu sesuatu yang turun dari angkasa. Aku paham betul tempat tinggal kedua bocah itu sekalipun belum benar-benar melihat wajah orang tua pemilik gubuk mereka. Yang jelas mereka tidak sedang menunggu jemputan, tetapi tengah mengintai sesuatu. Aku sendiri tidak berusaha untuk memunculkan batang hidung, karena aku lihat saat itu Nono sedang duduk dengan laki-laki sebayanya di pinggir Jalan Raya Pondok Cabe dengan penuh penghayatan. Ia dan kawannya itu tampak kidmat memandangi hamparan hijau yang membentang di seberang jalan, sementara aku tengah menjadi diriku sendiri bukan seorang guru. Dengan sebatang roko di tangan dan segelas kopi di muka meja, terpaksa aku harus bersembunyi di balik punggung mereka. Jarak dari warung tidak terlalu jauh, cukup jelas untuk memata-matai kedua bocah ingusan itu. Namun sepertinya Nono harus kukuh menikmati pemandangan hijau itu sendirian, setelah kawannya lenyap entah ke mana. Mungkin ia bosan menemani Nono yang tidak kunjung mengajaknya bermain sesuatu. Sehingga ia memutuskan untuk pulang lebih dahulu.

Tiga batang tembakau telah lenyap menjadi abu dan asap, sementara dari kejauhan Nono belum juga beranjak dari fantasinya melihat dunia. Awalnya aku tidak ingin menghiraukannya, namun lama-kelamaan kepala ini merasa terpanggil untuk mendekat, melihat apa yang sedang ia harapan di seberang sana.

“Apa yang kamu lihat?”

“Eh, bapak! Tidak ada Pak. Cuman main saja.” Jawabnya sumringah dengan rona pipi yang mengencang berwarna merah.

“Kamu mau jadi pilot?” Sekonyong-konyongnya wajah mungil itu tersenyum meringis. Entah keluguan apa yang sedang ia sampaikan kepadaku.

Sepeninggalnya dari tempat itu, sihir dari seberang jalan sana menapakkan mimpi yang teramat merdu. Perasaan yang sama seperti bocah berkepala gersang itu muncul begitu saja, mengingatkanku akan indahnya masa kecil dahulu saat semua cita-cita, dan mimpi terasa sebagai bagian dalam hidup. Tidak seperti saat ini, di mana aku berdiri sebagai guru yang terus berusaha menyambung hidup dari mengisi nilai rapot bukan sebagai seorang Zainudin Amali, Menteri Pemuda dan Olahraga saat ini.

***

Setelah melewati Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Pondok Cabe, sepeda motorku melaju semakin dekat menuju tempat tujuan. Di sebelah kiri jalan aku lihat pintu masuk kawasan South City sudah ditutup, padahal waktu baru menunjukkan jam delapan malam. Mungkin karena Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat diperpanjang.  Sampai pada muka Jalan Kayu Manis, tiba-tiba dunia terasa sempit. Seluruh kendaraan roda dua ataupun empat berhenti menunggu giliran seolah-oleh sedang mengantri sembako. Salah seorang remaja sibuk mengatur jalan, ia berseru sambil mengayunkan tangan. Sekarang giliranku masuk memakai jalan, meninggalkan pengendara lain yang berhenti melawan arah.

Pada jalan itu aku sempatkan melirik ke arah kiri, ke sebuah gedung sekolah Sekolah Menengah Pertama Islami bernama Mumtaz. Bangunan itu terlihat kokoh, dan megah, dua kali lipat besarnya dari MI Nurul Akhyar. Seketika rasa cemburu menyelinap dalam pikiranku, tentunya sekolah terbaik hannyalah untuk murid-murid dengan ekonomi baik. Dan guru terbaik harus siap menghadapi apa yang diterimanya dalam selip gaji yang sedikit.

Sambil aku ingat-ingat alamat rumah Nono, aku sempatkan melirik ke sebuah gedung di mana tanggung jawab sebagai seorang guru terlahir pada diri ini. Gedung sekolah MI Nurul Akhyar tidak semegah apa yang aku lihat pada mimpi. Cita-citaku menjadi seseorang yang hidup dalam kantor mewah dan fasilitas mumpuni, kini telah jauh pada sebuah sekolah yang selebar lapangan futsal. Meskipun tidak terlalu membanggakan setidaknya masih ada seorang bocah bernama Nono yang kembali membawaku pada sebuah harapan.

Pada sebuah tikungan, tiba-tiba saja jalanan kembali terhambat. Semua pengguna jalan baik roda dua atau empat terpaksa berhenti munggu giliran lewat. Dari kejauhan terlihat seorang bocah sedang berteriak memarahi pengendara roda dus yang nekat menyerobot.

“Maju, terus, kanan, kiri, terus! Terus!” Beberapa kali aku sempatkan melirik keadaan di depan sana. Namun pandanganku terhalangi oleh pengemudi lain. Jalanan semakin malam semakin padat dipenuhi kendaraan, berbeda sekali dengan waktu siang hari. Hampir tidak ada satupun pengendara yang lewat di kawasan itu. Sesaat saja Jalan Raya Kayu Manis kini tumpah ruah bagaikan pasar, imbas dari akses jalan South City yang menghubungkan kota Tangerang dengan Depok ditutup.

“Terus! Terus! Terus!” Suara bocah itu semakin lama semakin mendekat, ditambah suara roda empat mengikuti. Bocah itu tampak menggenggam sejumlah uang kertas ditangannya. Saat si pengemudi memberikannya uang, bocah itu semakin berteriak penuh semangat. Rupanya Jalan Raya Kayu Manis yang sempit itu tidak hanya dipenuhi kendaraan, tetapi juga dimanfaatkan oleh kaum pragmatis untuk mengais rezeki. Setidaknya masih bisa menjadi manfaat untuk kehidupan orang-orang yang naif seperti aku ini.

“Terus Om!” Teriakan menggila dari bocah yang tidak kunjung putus asa. Semakin mendekat, semakin aku tidak asing dengan kemunculannya. Dialah Nono, bocah berkepala gundul dengan rambut gersang itu. Seketika aku memilih diam dan bersembunyi di balik kaca hitam pada pelindung kepalaku.

***

Entah apa yang membuatku tertarik untuk mencari tahu soal keadaan Nono saat ini. Sudah tentu karena dia salah satu muridku, tapi kenapa alasan itu terasa tidak cukup bagiku apalagi setelah melihatnya mengais rezeki dari kemacetan Jalan Raya Kayu Manis.

Seharunya ini menjadi tugas seorang wali kelas, bukan tugasku untuk mengetahuinya lebih dalam. Bu Asari sebagai wali kelasnya pun sudah mengatakan kalau bocah dan orang tuanya sudah menyampaikan keputusan untuk berhenti menjadi bagian dari MI Nurul Akhyar. Tetapi aku merasa ia tetap menjadi bagianku, seperti murid yang lainnya. Dan jika ia ingin berhenti, kenapa bocah itu masih sempat mengikuti penilaian akhir semester? Dan kenapa aku temukan dia di jalanan sana? Bukankah ini semua karena kesalahanku yang sudah memberikan banyak motivasi kepadanya.

Aku teringat dengan pengaduan salah seorang siswa, ia adalah bocah yang pernah menemani Nono menyaksikan pesawat mendarat di lapangan hijau itu. Ia menyampaikan kalau Nono akan berhenti sekolah, dan memilih untuk mengejar pendidikan agama di pesantren. Bocah ingusan itu juga bercerita, kalau orang tua Nono sendiri yang menyuruhnya.

Pada beberapa kesempatan, aku sempat menemuinya di kediaman untuk menanyakan langsung kepada Nono soal kebenaran kabar tersebut. Aku kembali menghubungi wali kelas lima untuk mendapatkan alamat rumah persisnya. Sesampai di sana aku berharap dapat berbicara langsung dengan orang tua Nono. Namun ia tinggal sendirian di rumahnya, sementara sang bapak pergi menarik angkutan. Tanpa berbasa-basi, karena anak tidak butuh pra kata, maka aku sampaikan saja maksud kedatanganku. Lantas bocah lugu itu menyampaikan kalau berita itu memang benar adanya. Sang bapak memang menyuruhnya untuk berhenti sekolah, dan keputusan itu telah disampaikan kepada kepala sekolah. Tentu saja aku sendiri setengah tidak percaya, apa lagi semangatnya untuk menjadi pilot begitu besar. Tahu-tahu putus asa di usia yang amat dini.

Tidak percaya dengan pertemuan pertama, aku sempatkan kembali bertamu di lain hari. Namun keadaan di rumah itu masih sama, Nono duduk sendirian di depan pintu. Entah siapa yang sedang bocah itu tunggu, bapaknya? Ataukah pesawat di angkasa sana? Jawabanku tidak ada kecuali membuat bibir lugunya berbicara.

“Kata bapak, kalau aku jadi santri nanti tidak hanya pesawat saja yang bisa aku terbangkan, aku tidak perlu menemui ibu dengan benda itu. Cukup bacakan doa saja, dan ibu akan tersenyum bahagia menyapaku. Seperti pesawat kilat, doaku akan sampai begitu saja tanpa harus membayar uang bahan bakar.” Ucapnya setengah malu memandangi kedua kakinya sendiri sambil menarik senyum yang teramat dalam.

Sulit dipercaya, bocah selugu itu telah terjebak dalam kesulitan. Bukan hanya bapaknya saja yang harus bertanggung jawab, tetapi diriku sendiri sebagai seorang pendidik yang tidak khatam meluruskan cita-cita dan harapan.

“Lalu, apalagi yang orang tua mu katakan?”

“Beliau bilang, aku tidak hanya akan menaiki pesawat saat dewasa nanti. Tetapi kendaraan lain yang juga bisa terbang. Apakah benar kendaraan seperti itu ada Pak?” Keluguan macam apa yang disampaikan kepada anak itu untuk menanyakan sesuatu yang tidak pernah aku tahu jawabannya.

Kemajuan zaman hanya memberikan batasan bagi seorang yang terpinggirkan. Harapan, serta angan-angan selalu berbenturan dengan seberapa bayaran yang keluar. Bangunan-bangunan megah tidak memberikan apa-apa pada kemajuan pendidikan, selama Si Bocah lugu itu masih belum menemukan kebebasan. Jika orang tuanya menghendaki Nono untuk belajar dalam kesulitan, maka aku lepaskan dia dalam lingkaran kemiskinan. Orang tua memang mewariskan biologis, tapi aku sebagai seorang guru mewariskan idiologis.

“Tentu saja ada, tapi tidak di dunia ini. Pesawat memang tidak cocok denganmu, mereka dikendarai oleh seseorang yang menggunakan uang untuk karir mereka. Penumpangnyapun orang-orang berkecukupan, mereka tidak membayar dengan doa tetapi dengan uang. Pesanku untukmu, balaslah budi orang tua bukan karena seberapa uang yang ia berikan untukmu, tapi seberapa besar kasih sayang yang mereka berikan semasa hidupnya.” Tutupku meruntuhkan bangunan-bangunan kosong yang pernah aku buat melalu kalimat mutiara kepadanya sebagai dosa yang panjang.


M. Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus atau M. Yus Yunus
Redaktur Website adakreatif.id
Lebih baru Lebih lama