Secangkir Kopi Seorang Musafir

 


Oleh Jamal D. Rahman


Minum kopi kini merupakan gaya hidup masyarakat Indonesia, khususnya kelas menengah-kota. Di mana-mana orang minum kopi, di rumah, di kafe, di pelbagai pertemuan, di berbagai perhelatan. Mereka menjadikannya sebagai minuman penting baik sebagai kesukaan pribadi maupun alat penghangat pergaulan. Dalam sepuluh tahun terakhir, kopi menemukan momentum yang mengandung banyak segi: ekonomi, sosial, dan budaya. Barangkali kopi kini juga mengekspresikan dimensi eksistensial seseorang: aku minum kopi maka aku ada.

Kopi pun cukup banyak muncul dalam karya sastra, baik puisi maupun prosa. Beberapa sastrawan kini terdorong untuk menuliskan kopi dalam karya mereka. Misalnya Dewi Lestari, Gola Gong, Agus R. Sarjono ―untuk menyebut sebagian saja. Mereka merenungkannya, mencipta keindahan darinya, mencari maknanya bagi kehidupan, atau menghayati kehidupan lewat secangkir kopi. Sebagaimana kopi digemari oleh banyak kalangan, tema kopi pun kini cukup digemari oleh para sastrawan.

Intelektual pun menulis tentang kopi. Bulan Maret 2016 lalu, sebuah disertasi yang meneliti sejarah kopi di Jawa abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20 dipromosikan di Universitas Indonesia (UI). Kopi tak hanya nikmat sebagai minuman, melainkan juga menarik sebagai subjek penelitian. Nanti saya kutip sedikit disertasi itu. Sekarang saya ke Muria dulu.

Saya ke pegunungan Muria, Kudus, Jawa Tengah, 22 Mei 2016. Muria terkenal dengan Sunan Muria (salah seorang walisongo) dan kopi Muria. Daerah ini merupakan penghasil kopi sejak zaman kolonial. Tapi saya datang ke Muria bukan untuk menikmati kopi Muria yang tentu nikmat, tapi untuk ziarah. Bukan ke makam Sunan Muria alias Raden Umar Said, melainkan ke makam Syekh Syadzali Rejenu. Tokoh ini jarang atau bahkan tak pernah dicatat dalam sejarah islamisasi Jawa. Petunjuk-petunjuk sejarah memang sulit membuktikan apalagi memastikan historisitasnya. Dia hanya disebut-sebut sebagai guru Sunan Muria. Kadang juga disebut sebagai muridnya.

Makam Syekh Syadzali terletak di desa Rejenu, 20 km dari kota Kudus. Makam itu bisa dicapai dengan naik ojek dari desa Colo, sejauh 3,5 km, yang bisa ditempuh dalam 10 menit. Sama dengan jalan menuju ke makan Sunan Muria yang terletak di pegunungan di sebelah barat, jalan menuju makam Syekh Syadzali menanjak dan berbelok-belok tajam melewati lereng dengan tebing yang sangat curam. Jalan ke sana beraspal, selebar 2 meter. Sekarang daerah itu dikenal dengan nama Air Tiga Rasa Rejenu, sebab di situ terdapat tiga mata air yang berbeda rasanya, yang konon merupakan peninggalan Syekh Syadzali Rejenu. Ketiga mata air itu mengalir tanpa henti.

Pintu masuk ke area makam merupakan pintu gerbang dengan arsitektur pura yang tampak berlumut. Jalan menuju pintu gerbang itu bertangga, dengan dasar batu alam. Jalan ke bangunan tempat makam Syekh Syadzali bertangga lagi, sedikit berbelok, dilengkapi pagar bebatuan setinggi 1,30 meter. Sebagaimana makam walisongo, makam Syekh Syadzali ditutupi kelambu dan berada di dalam sebuah bangunan. Yang menarik di sini adalah lingkungan alamnya dengan udaranya yang sejuk. Makam Syekh Syadzali ―hanya satu makam― berada di tengah hutan alami, dengan pohon-pohon besar di sekitarnya. Jalan, pintu gerbang, dan pagar menuju makam didesain sedemikian rupa menyatu dengan alam. Di area makam, tak ada listrik. Tak ada sinyal telpon.

Lepas dari historisitas Syekh Syadzali Rejenu, yang menarik adalah atribusi tokoh tersebut dengan Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili (1197-1258), seorang sufi asal Maroko dan pendiri tarekat Syadziliyah, yang wafat di Mesir. Tarekat ini dipandang tarekat mu’tabaroh (sah, diakui) dan hidup di Indonesia, sampai sekarang. Menarik, pertama-tama tentu saja karena atribusi tersebut menunjukkan adanya pertalian spiritual Nusantara dengan sang sufi Afrika utara itu, atau mengekspresikan keinginan tentang itu. Yang lebih menarik lagi, penganut tarekat Syadziliyah dulunya adalah penikmat dan penyebar kopi.

Dalam disertasinya yang dipromosikan di UI, Awalia Rahma menelusuri asal-usul sejarah kopi, penyebarannya di dunia (terutama Jawa), ekonomi-politiknya, modernisasinya, dan terutama praktik keseharian minum kopi di Jawa abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20. Judul disertasi dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu adalah Budaya Minum Kopi di Jawa Abad ke-19 hingga Paruh Pertama Abad ke-20: Gaya Hidup dan Identitas.

Adalah Ali ibnu Umar Asy-Syadzili (w. 1418), tokoh tarekat Syadziliyah, yang mempopulerkan kopi sebagai minuman murid-muridnya di zawiyah tarekat yang dipimpinnya, di Al-Mukha, Yaman. Kopi dijadikan minuman pada malam-malam mereka menjalankan ritual tarekat. Dari Al-Mukha, para pengikut tarekat tampaknya menyebarkan kopi ke kawasan Arab, termasuk Makkah dan Madinah, dua pusat spiritual Islam. Di abad ke-15, kopi dipastikan sudah dikenal di Makkah dan kawasan Arab pada umumnya. Dari Al-Mukha inilah kelak dikenal kopi Moca, yang sekarang populer dengan Mocachino. Karena kopi mula-mula dikenal di Arab, kelak dikenal pula kopi Arabica.

Terutama dari Makkah, kopi menyebar ke dunia. Setelah Turki Utsmani menguasai Hijaz (Makkah dan Madinah) di tahun 1517, penyebaran kopi tak terbendung lagi, baik ke Eropa maupun Asia. Dalam novel Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer mengisahkan kopi yang dibawa oleh orang Turki ke Mataram di awal abad ke-16. Diperkirakan pula bahwa kopi masuk Nusantara melalui jalur haji, studi, perdagangan, penyebaran agama, dan diaspora Hadrami. Di tahun 1520-an, Sunan Gunung Jati menunaikan ibadah haji dan belajar tasawuf di Makkah dan Madinah, termasuk tarekat Syadziliyah dimana sang Sunan belajar langsung kepada Ibnu Ataillah al-Iskandari Asy-Syadzili, tokoh penting persaudaraan sufi itu di Madinah. Terdapat sejumlah indikasi bahwa persebaran budaya kopi mengikuti persebaran tarekat Syadziliyah, termasuk ke Nusantara.

Setelah melewati masa inisitasi dan masa formasi yang cukup panjang, sejak akhir abad ke-19 kopi terlembaga sebagai suatu budaya di Jawa, baik sebagai gaya hidup maupun identitas. Kopi pun berjenis-jenis baik dari segi campuran maupuan cara penyajiannya, dari kopi susu sampai kopi pangku. Sayang, dalam disertasi ini kita tidak menemukan apakah masih ada hubungan antara tarekat Syadziliyah atau tarekat-tarekat lain dengan budaya kopi di Jawa pada akhir abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20. Tapi bagaimanapun, di Jawa, kopi tetaplah merupakan bagian penting dari ritual-ritual Islam pada masa itu, misalnya dalam ibadah malam di masjid pada bulan Ramadan. Kopi juga merupakan bagian penting dari spiritualitas Jawa.

Di Jawa paruh pertama abad ke-20, kita berjumpa dengan Syekh Ihsan Jampes Kediri (1901-1952). Ulama asal Kediri, Jawa Timur, itu menulis puisi (nadham) tentang kopi dan rokok, dalam bahasa Arab. Judulnya: Irsyâd-u ‘l-Ikhwân fî Bayân-i ‘l-Qahwah wa ‘d-Dukhân (Tuntunan bagi Kawan-Kawan: Penjelasan tentang Kopi dan Rokok). Buku puisi tersebut mendiskusikan kontroversi hukum minum kopi dan merokok sebagaimana didiskusikan para ulama klasik dalam tradisi intelektual Islam. Tentang minum kopi, menurut Ihsan Jampes, kebanyakan ulama membolehkannya. Sebab, kata penulis sedikitnya 4 kitab (semuanya dalam bahasa Arab) itu, kopi tidak menghilangkan akal, malah membangkitkan semangat; tidak pula berbahaya, malah menambah giat bekerja.

Di area makam Syekh Syadzali Rejenu adalah seorang musafir dan peziarah asal Pekalongan, Jawa Tengah. Taufiq namanya. Dia tahu penyair Taufiq Ismail. Setelah ziarah dan shalat magrib di musala di area makam, kami ngopi di warung. Sebagai musafir dan peziarah, dia mengaku telah ziarah ke semua walisongo dan ulama-ulama besar lainnya, termasuk Syekh Khalil Bangkalan di Madura. Dia tidak tahu berapa hari akan tinggal di makam Syekh Syadzali Rejenu. “Tergantung sms dari dia,” katanya sambil nyeruput kopi hitamnya. “Kalau dia bilang sudah cukup, saya pergi. Kalau belum, saya tetap di sini.”

Dia percaya Syekh Syadzali Rejenu adalah guru Sunan Muria. Dia juga mengaku, sebagai musafir dia selalu berjalan kaki. Tak pernah naik kendaraan, berapa pun jauhnya perjalanan menuju tempat ziarah.

“Kalau berzikir, jangan dengan hati,” katanya tiba-tiba.

“Dengan lisan?”

“Apalagi lisan. Dengan hati saja jangan.”

“Ha?”

“Hati itu bisa busuk,” katanya serius.

“Jadi dengan apa?”

“Berzikirlah dengan ruh!” Sekali lagi dia nyeruput kopi hitamnya. Salam.

“Catatan Kebudayaan” Horison, Juni 2016.


Jamal D. Rahman
Tulisan-tulisannya juga dimuat dalam sejumlah buku, di antaranya Islam dan Tranformasi Sosial-Budaya (1993), Romo Mangun di Mata Para sahabat (1997), Tarekat Nurcholishy (2001), dan Ulama Perempuan Indonesia (2002). Jamal D. Rahman juga menjadi editor (bersama) lebih dari 20 buku, di antaranya Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun KH Ali Yafie (Bandung, Mizan, 1997), Dari Fansuri ke Handayani, Sastra Indonesia dalam Program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (Jakarta, Horison, 2001), Horison Sastra Indonesia 1-4 (Jakarta, Horison, 2002), Kaki Langit Sastra Pelajar (Jakarta, Horison, 2002), dan Horison Esai Indonesia 1-2 (Jakarta, Horison, 2003). Ia juga pernah menjadi redaktur jurnal pemikiran Islam Islamika (1993-1995), wartawan majalah Ummat (1995-1999), dan redaktur majalah sastra Horison (sejak 1993). Kini, dia adalah pemimpin redaksi majalah sastra Horison. Kumpulan puisinya antara lain Airmata Diam (1993), Reruntuhan Cahaya (2003), dan Garam-Garam Hujan (2004). Jamal D. Rahman, pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 2003 - 2006


Lebih baru Lebih lama