Oleh Khardi Ansyah
Di ujung jalan terdapat sebuah gang kecil dengan keriwetannya yang selalu eksis di setiap sore, lalu lalang anak-anak kecil berlari dan bermain sepolosnya, tanpa peduli kepenatan kepala orang-orang dewasa yang sepanjang hari bekerja dan berharap pulang ke rumah-rumah mereka untuk bisa terlelap, atau hanya sekedar merebahkan badan dengan tenang. Ibu-ibu membagi beberapa kelompok untuk saling berbagi obrolan-obrolan yang sudah mulai menjadi ciri khas pinggiran kota; membicarakan masak apa hari ini, tontonan sinetron nanti malam yang tak kunjung habis meski sudah memasuki lebih dari 50 episode, biaya kebutuhan sekolah yang semakin berat tapi masih mampu mengambil kreditan elektronik dan hanya membuat suami mereka menggelengkan kepalanya. Kemudian, berbicara tentang anak tetangga di gang sebelah yang terlalu dini menikah dan mencoba menerka-nerka penyebab terjadinya pernikahan tersebut.
Mawar berjalan tenang dengan menggendong bayinya menuju rumah dengan senyum yang agak dipaksakan, melihat ibu-ibu yang lebih dulu memberi senyum kepadanya dalam gang itu, seperti mencuri-curi pandangan ke arahnya dengan wajah yang tersimpan banyak pertanyaan seolah reporter dalam media massa, dan sesekali ia memantau anaknya yang paling besar berumur 4 tahun berjalan mendahuluinya.
Mungkin, senyum yang diberikan ibu-ibu itu sebagai pengganti tepuk tangan atas prestasi suaminya, yang beberapa minggu lalu berhasil naik jabatan di kantor, Atau hanya cemooh-an kepada Mawar atas kemalangannya yang beberapa hari terakhir tak bisa tidur nyenyak disebabkan bayinya selalu menangis di malam hari.
Mawar mendahului anaknya yang perempuan masuk ke rumah kontrakan kecilnya, dengan sedikit keribetan membuka pintu yang terkunci karena beban bayinya yang ia gendong se-dari puskesmas tadi.
Angin sore memasuki rumah bersamaan dengan terbukanya pintu rumah, Si anak tetap riang dengan bernyanyi lagu anak yang populer dari generasi ke generasi, meski kontras dengan ibunya yang memasuki rumah dalam keadaan tidak menyenangkan dan penuh kebencian-kebencian yang ditahannya sendiri.
Mawar bergegas menaruh bayinya yang tertidur di kasur dengan telaten, dan mulai berpikir panjang apa yang akan dia kerjakan sejam sampai dua jam ke depan, atau setidaknya selama bayinya masih tertidur pulas. Padahal, tanpa berpikir dia sudah mengetahui apa yang harus dikerjakannya.
Dia duduk dengan lesu di kursi yang di depannya terdapat meja makan yang dihiasi taplak meja bercorak bunga mawar dengan warna pudar yang sedikit agak kusam, dan beberapa piring serta gelas kosong, yang entah sejak kapan berada di atas meja itu. Mawar memperhatikan anaknya yang paling besar sedang bermain boneka dan beberapa alat masak mainan yang dibelikan ayah si anak beberapa waktu lalu.
Diketuk-ketuknya meja dengan jari-jarinya, memainkan nada yang tidak beraturan. Siapapun yang mendengar bisa menebak banyaknya permasalahan yang sedang ia pikirkan.
Mawar mendekati anaknya dan mengusap-usap kepalanya yang masih asik bermain sendiri dengan boneka-bonekanya, dan berhasil menciptakan tokoh-tokoh rekaan yang dalam cerita ciptaannya sendiri begitu hebat dan bahagia.
Si anak saling menjodohkan boneka-bonekanya satu sama lain, ia berpikir boneka-bonekanya setuju, dan saling mencintai. Dengan pasrah tanpa perlawanan apapun boneka-bonekanya tersebut saling dibuatnya bergandengan tangan. Tak sedikitpun ekspresi yang terdapat di wajah mawar melihat aktifitas anaknya tersebut. Mawar hanya selalu memikirkan keadaan kedua anaknya ke depan. Pikiran-pikiran tersebut muncul setelah beberapa minggu lalu dalam pertemuan terakhir dengan suaminya, dan setelahnya suaminya tidak pulang karena alasan tugas.
Mawar membenci, sebenci-bencinya kepada suaminya, setelah suaminya mengatakan kepadanya ingin menikah lagi dengan perempuan lain. Keinginan yang memang sudah lama Mawar ketahui, ketika bayinya masih dalam kandungan.
Setelah bosan dengan mainan boneka-boneka yang dijodohkannya sendiri, si anak beralih mengambil peralatan masak yang hampir semuanya terbuat dari bahan plastik. Dalam angan-angannya si anak, dia punya ide besar dengan resep-resep buatannya sendiri, dan dengan keyakinan yang besar pula, masakan buatannya lebih enak melebihi masakan beberapa cheff andal yang biasa dia saksikan di acara televisi bersama ibunya.
Mawar terus menerka-nerka kenapa semuanya bisa terjadi kepadanya, dengan mata yang sayup ditambah kantung mata yang terlihat menghitam, dan memang tidak terlihat menarik sekali jika ia bercermin, bahkan menyeramkan. Keadaan yang sangat berbeda di tahun-tahun sebelum dia menikah; mata yang segar, wajah yang cantik, dan senyuman yang membuat siapapun yang memandang akan dibuat simpatik olehnya.
Harusnya dia tidak menikah dengan lelaki yang dibencinya saat ini, dan meninggalkan seorang lelaki yang mencintainya, dan dia pun mencintainya. Lelaki yang bebas dengan banyak mimpi, dan seorang sosialis. Mawar selalu beradu argumen dengan kekasihnya dulu perihal komunisme. Tentang teori ekonominya yang selalu berseberangan dengan Mawar. Menurut Mawar komunisme; melemahkan bahkan mematikan inisiatif dan kreativitas individu, seringnya terjadi praktik monopoli yang merugikan masyarakat, dan masyarakat tidak memiliki kebebasan di dalam memiliki sumber-sumber daya yang ada. Meskipun begitu, Mawar selalu bangga dengan mantan kekasihnya itu. Ketika pernyataannya dibantah dengan teori yang logis menurut Mawar dan menunjukan kecerdasan lelaki itu, walaupun akhirnya Mawar anggap semua teori mantan kekasihnya tersebut dianggapnya utopis untuk jaman ini.
Dan hal lainnya ialah masyarakat tanpa kelas, Mawar pekerja keras sewaktu sebelum menikah, memimpikan memiliki kelas sosial yang tinggi, dan memiliki pendapat bahwa status sosial dan pendapatan seorang lelaki harus lebih besar dibanding perempuan. Sebenarnya itu pendapat orang lain, dari beberapa anggota keluarga dan teman-temannya. Itu lah yang menjadi penyebab dia meninggalkan lelaki itu, di saat bersamaan suaminya datang mendekatinya.
Lelaki yang berbeda usia 12 tahun, ketika mawar berusia 21 tahun mengaku seorang aparatur negara. Setelah beberapa lama menjalin hubungan, Mawar mengetahui bahwa lelaki itu sudah memiliki istri. Karena mengetahui hal itu, hubungan Mawar dan calon suaminya mulai terganggu, tapi dengan cekatan sang lelaki mengatakan lebih memilih Mawar dan segera mencerai istrinya. Mawar dengan perasaannya yang lemah memaafkan lelaki itu, apa lagi dibuktikan dengan lamarannya kepada Mawar, Mawar pun mempercayai janji-janjinya yang saat ini menjadi sesuatu yang amat dibenci Mawar. Janji yang beberapa waktu lalu hanya berisi kebusukan bagi mawar, dengan diterimanya sebuah kado celana dalam bekas di hari ulang tahun pernikahannya dari si istri tua yang ternyata belum dicerai suaminya. Menjijikan, memuakan dan begitu menghinakan Mawar.
Si anak tertidur karena lelah bermain di dunia yang dibuatnya sendiri. Begitu bahagianya sehingga dia kelelahan. Tak ada yang dipikirkan anak-anak selain kesenangan, dan memang dia tidak perlu untuk mengetahui bahwa kehidupan orang dewasa begitu rumit dan penuh permasalahan.
Mawar kembali duduk di kursi yang tadi ia duduki dekat meja makan, hari mulai gelap, waktu yang dibenci Mawar. Waktu yang seperti sudah terjadwal untuk bayinya menangis, menangis, dan terus menangis.
Mawar seperti biasa langsung menggendong bayinya. Berusaha menenangkan bayinya yang semakin keras menangis; memberinya susu, menimang-nimangnya, menaruhnya di ayunan, dan segala cara yang biasa ia lakukan di malam-malam sebelumnya. Tetapi, malam ini berbeda. Bayinya tidak berhenti menangis meskipun ada jeda beberapa menit, hampir sejam lamanya masih dalam kedaan yang sama, suara bayinya mulai serak, dan kebingungan mulai menghinggapi diri Mawar.
Mawar memandangi temannya yang datang lebih awal terduduk di hadapannya. "Apa yang harus aku lakukan!." Seru Mawar dengan mata berkaca-kaca dan banyak harapan yang dibungkus kegeraman dalam hatinya.
Mawar duduk terdiam sejenak, dan mengalihkan pandangan ke arah kamar mandi. Dengan rasa yang jengkel dan pikiran yang terus menerus memendam benci terhadap suaminya, dia perhatikan dengan serius dua sosok makhluk; yang satu seekor ular besar dan satunya lagi lebih terlihat seperti seorang perempuan dengan matanya yang memerah. Mawar tahu semenjak adanya dua makhluk yang tak jelas itu berada di kamar mandinya, setiap malam menjadi penyebab bayinya menangis terus menerus. Mawar tidak memberitahukan kepada siapapun keberadaan makhluk itu, dan memang tidak seorang pun yang tahu. Kecuali, temannya itu. Ya, temannya itu.
Mawar mengusap wajahnya untuk sedikit menghilangkan gelisah dengan menggunakan dua telapak tangannya sekaligus, dan keduanya sudah tampak basah karena keringat, ditambah sedikit gemetar.
"Apa kau tak bisa membantu?" Tanya mawar dengan wajah memelas agar temannya merasa iba.
Bayinya masih terus saja menangis, yang tentunya semakin menambah penderitaan Mawar. Keberadaan dua makhluk itu benar-benar mengganggu bayinya.
Mawar berdiri beranjak dari kursi yang dia duduki, mendekati temannya. Dia menyadari bahwa temannya memberi isyarat akan membantu dengan sangat rahasia, melalui bisikan. Mawar menundukan sedikit tubuhnya, wajahnya begitu serius mendengar bisikan dari temannya, sesekali dia mengangguk menandakan dia mengerti apa yang dia dengar dari bisikan temannya.
Mawar kembali berdiri dengan wajah penuh kemenangan, senyuman yang ekspresif, dan sesekali menengok ke arah bayinya serta anaknya yang pertama tertidur.
Mawar berjalan pelan ke arah dapur rumah kontrakannya, mengambil pisau kecil yang tergabung dengan kumpulan sendok dan garpu di rak piring miliknya.
Lalu, dia kembali ke meja dengan langkah yang pelan dan pasti. Ditaruhnya pisau kecil tersebut di atas piring dan menyingkirkan sendok yang berada di atasnya.
Mawar melepaskan semua pakaiannya, bercermin dan terlihat tubuh Mawar yang tidak terlalu berbeda jauh ketika sebelum menikah, lalu dia mengangkat kedua tangannya perlahan satu persatu dan menggerakan tubuhnya persis seperti seorang penari. Dengan begitu tenang ia menggendong bayinya dan memangkungnya di atas pahanya yang tanpa sehelai benang pun memutupi. Bayinya masih terus menangis, Mawar lebih tenang kali ini, lebih tenang dari setengah jam yang lalu. Mawar menyanyikan lagu nina bobo yang legendaris itu, dengan suara sangat datar dan pelan, sambil melepaskan pakaian bayinya yang sudah hampir basah keselurahan karena air kencing dan keringat si bayi. “Nina bobo..ohh..niiina bobooo..”
Mawar mengambil pisau kecil yang tergeletak di atas piring berwarna putih, tanpa berhenti bernyanyi lagu nina bobo yang terus diulang-ulanganya. Ia mengusap-ngusap rambut tipis bayinya, lalu kedua daun telinga bayinya, berurutan yang di awali lebih dahulu sebelah kanan, kemudian sebelah kiri. Tangisan bayinya semakin besar pada awalnya. Namun, tidak menghilangkan ketenangan dari Mawar, yang sudah bisa mengendalikan dirinya dari tekanan. Tangis bayinya terhenti ketika usapan-usapan pisaunya sampai ke kemaluan bayi lelakinya tersebut.
Wajah Mawar memerah, dengan senyum kemenangan. Bayinya berhenti menangis, dan memang ajaib dua makhluk di dalam kamar mandi itu hilang bersamaan dengan menghilangnya teman yang berhasil memberi bantuan ke Mawar tadi.
Nyanyian-nyanyian Mawar dihentikannya sejenak, dan mulai memandang anaknya yang paling besar, yang sudah terbangun beberapa menit sebelum dia menghentikan nyanyiannya.
Si anak menatap kebingungan apa yang dilakukan ibunya, dan dengan wajah ketakutan si anak pandangi wajah ibunya yang mengerikan. Suasana yang mendadak sunyi, karena tak ada lagi suara tangis bayi. Mawar dengan senyum pucat memanggil anaknya menggunakan isyarat melalui tangannya yang masih memegang pisau dengan tetesan cairan kental merah.
Si anak beranjak dan melompat mendekati pintu rumah, membuka pintu yang memang tak dikunci, dengan mudah membukanya, lalu keluar.
~
Bulan menghilang perlahan pudar di atas langit, sinar matahari yang menyilaukan mata kembali kepada perannya, penerang bumi. Di sudut pojok persimpangan jalan beberapa kilometer dari rumah Mawar. Di atas tumpukan majalah bulanan yang belum juga laku dijual si pemilik kios padahal sudah 3 minggu lamanya terbit, berjejer koran harian yang masih hangat. Mencolok mata dengan judul di halaman muka.
"Seorang Ibu Tega Memutilasi Bayinya."