Cerpen: Wak Katok

 


Oleh Mahwi Air Tawar


“Wak Katok, Wak Katok, ceritakan kepada kami tentang harimau-harimau?”

Eh, eh, eh, kalian anak-anak, kenapa tidak minta diceritakan tentang yang lain saja?”

“Tidak mau. Tidak mau. Kami mau harimau.” Anak-Anak itu menjawab dengan bersahut-sahutan. “Tidak mau. Tidak mau. Kami mau cerita tentang harimau.”

Hening. Mendadak Wak Katok bermurung muka. Raut wajahnya pias. Wak Katok gemetar. Ketakutan. Anak-anak yang mengerumininya kebingungan. Anak-anak itu terheran-heran ketika melihat lelaki beraut keriput itu tiba-tiba berubah. Tampak jelas tetesan air mata merembes di antara keriput wajahnya. 

“Eh, Wak, kenapa murung? Tidakkah kami hanya minta diceritakan tentang harimau?”

“Betul, betul, kami hanya minta diceritakan tentang harimau.”

Sepasang mata Wak Katok memandang jauh ke hutan yang tidak serimbun ketika ia masih seusia anak-anak di depannya.

“Dari mana awak mesti menceritakan tentang harimau-harimau?” Suara-suara harimau mengaum di kepalanya. “Dulu,” katanya kemudian dengan suara serak, menahan tangis.

“Ceritakan saja, Wak Katok, seperti di youtube-youtube itu.”

Wak Katok mengulum senyum. Ia pandangi lebat hutan dengan mata berkaca-kaca. “Dulu,” suaranya serak. “Dulu sekali, dulu, di sini tidak hanya harimau, ada rusa, monyet, dan hewan lainnya. Tapi anehnya, hewan-hewan itu tidak sampai ke luar hutan, apalagi sampai memasuki lahan pemukiman warga, kenang Wak Katok. Tidak seperti sekarang.”

Wak Katok masih terdiam. Sepasang matanya jauh memandang ke jalan setapak yang menghubungkan jalan dari desanya ke hutan lindung. "Wak, ayo ceritakan," desak salah seorang anak.

"Di hutan yang tidak lagi rimbun itu," katanya kemudian, "dulu hewan-hewan hidup bebas. Harimau salah satunya. Harimau-harimau tidak sampai mendatangi pemukiman warga seperti beberapa tahun belakangan."

"Ada harimau juga, Wak?"

“Apa harimau dulu tidak sebuas harimau sekarang, Wak?” 

"Tidak hanya harimau, tapi juga gajah," imbuhnya dengan suara berat. "Tapi, tapi, Nak," desau angin mengelus punggungnya, "ya, itu dulu, dulu sekali." Hening. "Sudah lama harimau-harimau, gajah, dan hewan-hewan lainnya menghilang. Kadang mereka datang ke kebun-kebun penduduk dan pergi setelah merusak dan sekaligus memakan tanaman-tanaman seperti padi, buah-buahan yang siap panen. Bahkan beberapa minggu lalu ada rumah warga dan menghancurkannya."

"Jahat banget ya, Wak, harimau-harimau dan gajah-gajah itu?"

"Tidak, Nak, mereka tidak jahat, mereka hanya butuh rumah dan makan. Sama seperti kita," tangkas Wak Katok. "Manusia kalau rumahnya diambil dan dirusak juga tidak akan diam, kita akan mencari siapa yang merusak dan akan minta ganti rugi."

"Maksud Wak Katok, mereka menyerang kebun dan rumah-rumah warga karena rumah mereka dirusak oleh manusia?" Wak Katok hanya mengangguk.

"Mereka pendendam ya," sahut anak yang lain.

"Tidak, Nak, mereka hanya ingin makan, mereka ingin berlindung dan tak ingin terusik, apalagi sampai tidak punya tempat tinggal," urai Wak Katok. "Hutan itu rumah bagi mereka. Mereka bingung harus berumah di mana. Sementara banyak hutan digunduli, ditebang, dan di atasnya dibangun rumah-rumah. Harimau-harimau tidak hanya kehilangan rumah, tapi juga makanan."

"Oh...," sahut yang lain, "jadi mereka tidak jahat, Wak?"

"Kalau begitu, berarti manusia yang jahat," timpal yang lain. Wak Katok tersenyum hambar.

Wak Katok teringat bagaimana masa mudanya dihabiskan dengan memburu harimau hingga jauh ke seberang gunung. Bertahun-tahun setelah ia memutuskan tidak memburu lagi dan senapan alat memburu ia kubur, justru hari-hari Wak Katok terus diburu perasaan bersalah dan penyesalan, sehingga pada suatu hari datang seorang petugas Taman Nasional dan menawarinya menjadi salah satu pegawai yang bertugas menjaga dan merawat binatang di hutan lindung.

Diterimanya pekerjaan itu dengan senang hati. Wak Katok pun bertekad hendak menebus kesalahan masa lalunya, memburu dan membunuh harimau, khususnya. Orang-orang kampung yang tahu bahwa lelaki yang tidak hanya dikenal pemburu handal dan berdarah dingin itu semakin terkagum-kagum dibuatnya.

"Wak, kapan cerita harimau akan dimulai?" Wak Katok tergeragap dari lamunannya.

"Oh, ya, ya, ya," sahutnya sambil mengusap wajahnya. "Maklum, Awak sudah tua," Wak Katok memandang anak-anak di depannya satu-satu. "Akan Awak ceritakan tentang harimau, harimau Sumatera."

"Duh, Wak Katok ni... bertele-tele," sahut salah seorang anak.

"Hus! Tak elok menimpali orang tua bicara." Seorang anak yang postur tubuhnya kurus mengingatkan Wak Katok kepada cucunya.

"Kau seperti cucuku," bisiknya sambil mengelus kepala anak yang duduk tidak jauh dari sampingnya. Belum selesai Wak Katok berbicara, tiba-tiba dikejutkan oleh derap langkah dan auman panjang. “Harimau,” desis Wak Katok dengan penuh awas.  Harimau dengan warna kulit belang-belang antara gelap, oranye, kemerah-merahan, dan garis-garis hitam putih seketika menghentikan langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Datuk,” gumam Wak Katok. Merinding. 

Anak-anak yang semula mengerumi Wak Katok terbirit-birit lari. Daun-daun bergetar, kesiur angin menerbangkan debu-debu di jalan setapak yang dilalui anak-anak berlari.  Aneh, gumam Wak Katok. Datuk, kenapa datang saat aku bersama anak-anak?”

Harimau itu tidak mengejar anak-anak. Ia berjalan pelan mendekati Wak Katok. "Jangan ganggu anak-anak," tegur Wak Katok.

"Saya tidak akan mengganggu anak-anak," serak berat suaranya bikin bulu kuduk merinding. "Saya hanya ingin mengajak mereka bermain dan ingin menunjukkan anakku kepada mereka."

Wak Katok tersenyum mendengar pengakuan harimau di depannya. Ada yang aneh, Wak Katok membatin. Ia merasa tidak asing dengan harimau yang lunak dan berada tidak jauh di sampingnya.

"Panggillah anak-anak itu, tidak perlu takut,” perintah Harimau kepada Wak Katok.

“Janji Datuk tidak akan melukai anak-anak?”

“Aku berhutang budi kepadamu.

Mendengar pengakuan harimau, Wak Katok tiba-tiba menjerit-jerit-jerit, menangis, hingga harimau yang di samping Wak Katok merajut, memeluk tubuh kurus Wak Katok. Anak-anak yang melihatnya pun ketakutan, dan lari menjauh. Anehnya, harimau itu tidak mengejarnya, ia mengibaskan ekornya ke tubuh lelaki tua di sampingnya.

Ya, Wak Katok sekarang ingat, dulu pernah menyelamatkan anak harimau yang kelaparan. Wak Katok membawanya ke lereng gunung. Setiap hari Wak Katok selalu memastikan anak harimau itu aman. Anehnya, selama perjalanan ke lereng gunung, tidak seekor binatang pun mengganggunya apalagi menerkamnya. Wak Katok juga heran.

Wak Katok perlahan-lahan menarik napas, dilihatnya harimau yang masih ada di sampingnya. Dengan sedikit ragu ia berdiri dan berjalan di samping harimau. Anak-anak yang melihat Wak Katok berjalan santai pun akhirnya keluar dari balik pohon. Wak Katok meminta mereka segera mendekat.

Melihat anak-anak keluar, tiba-tiba harimau mengaum, lalu menjejakan kakinya sambil berjingkrak riang. Hingga tanpa ragu-ragu anak-anak mendekat, sebagian di antara mereka memegang punggung harimau. Wak Katok tampak senang. Demikian juga dengan harimau.

“Kalian ikut saya ke hutan. Saya ingin kenalkan kalian dengan anak saya.”

Anak-anak bersorak riang menyambut ajakan harimau.

“Sebentar-sebentar, tadi ada yang bilang seperti di youtube-youtube? Eh, bisakah perjalanan ini dimasukkan ke youtube?” Tiba-tiba Wak Katok memotong.

“Bisa…” seru anak-anak gembira.

Di luar dugaan, begitu mendengar kata youtube harimau yang oleh Wak Katok di panggil datuk tiba-tiba mengaum dan lari ke semak-semak.

“Eh, ada apa dan kenapa dengan sahabat kita si Datuk?”

“Jangan-jangan ia tidak setuju?”

“Jangan-jangan memang begitu,” timpal yang lain.

“Eh, harimau, kami tidak akan memasukkanmu ke youtube.

Dari balik semak-semak, harimau itu mengaum kemudian menghampiri Wak Katok beserta anak-anak.

Jakarta, 2023


Catatan:

  1. Harimau Sumatera memiliki tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan Harimau Kontingental (Panthera tigris tigris). Warna kulit Harimau Sumatera relatif lebih gelap, mulai dari kuning kemerah-merahan hingga oranye tua, dan memiliki garis loreng yang lebih rapat.
  2. datuk: istilah panggilan penghormatan masyarakat Sumatera terhadap harimau, khususnya harimau yang dipercaya memiliki kekuatan magis tertentu.
  3. Nama tokoh Wak Katok saya ambil dari nama tokoh dalam novel Harimau-Harimau karya Muchtar Lubis.



Mahwi Air Tawar
Redaktur Kelas Menulis
Penulis Buku Kumpulan Puisi Mata Blater

Biodata

Mahwi Air Tawar, menulis puisi, cerpen, dan esai. Buku-bukunya yang sudah diterbitkan di antaranya, Blater, mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik, Balai Bahasa Yogyakarta. 2011. Pulung, mendapat penghargaan dari Universitas Purwokerto, 2011. Alalabang, mendapatkan penghargaan sebagai naskah lakon terbaik dalam Festival Asosiasi Tradisi Lisan, tingakat Asia, 2007. Karapan Laut, 2015. Taneyan, 2015. Tanah Air Puisi, Tanah Air Cerita, 2016. Pengembaraan, Perjumpaan, Puisi, 2018. Mahwi diundang ke berbagai acara sastra di luar dan di dalam negeri, di antaranya, Majelis Sastra Asia Tenggara, menjadi editor tamu dalam penerbitan buku kumpulan puisi Perdamaian 8 Negara, 2018. Diundang dalam The 3 rd international poetry festival, 2019.

 

Lebih baru Lebih lama