Jalanan dan Para Pencari Kebahagiaan

Oleh M. Yus Yunus

Apa yang terjadi dengan jalanan hari ini?

Kenapa jalanan hari ini terlihat semakin padat dan ramai dipenuhi para pengemudi?

Bagaimana jalanan dapat menjelma sebuah imajinasi?

Bagaimana jalanan menjadi pelampiasan batin, bagi mereka yang sibuk mencari kebahagiaan?

Jalanan adalah muka suatu wilayah. Entah sejak kapan Pernyataan ini didapatkan. Namun jalanan yang rapih dan elegan Seperti yang ada di Jakarta sana seolah-olah memberikan daya tarik bagi kaum urban. Jalan Raya Sudirman tidak hanya terlihat rapih dan lebar, tetapi juga memberikan kebanggaan. Kebanggan yang kita maksud seperti yang sering terlihat dalam unggahan foto atau vidio di sosial media. Jalanan memberikan mitos yang luar biasa bagi masyarakatnya, terutama bagi masyarakat yang mengimajinasikan kehidupan yang mewah, elegan, necis, rapih, dan modern. Akan tetapi kehidupan semacam ini tidak akan pernah abadi meskipun keabadian itu terunggah dan terakses pada internet.

Mereka kaum urban yang instagrameble bersuwa Foto di sepanjang Trotoar Jalanan Sudirman dengan pakaian yang necis kebarat-baratan. Kemudian mereka mengunggahnya dengan penuh kebanggaan. Tidak hanya disertai dengan deskripsi yang menarik, mereka juga menautkan alamat lokasi. Dengan keberadaan media Sosial Jalan Raya Sudirman seketika tidak hanya punya manfaat untuk kendaraan, dan perekonomian tetapi juga yang lain. Manfaat yang memberikan kepuasan batin dan eksistensialis.

Beberapa waktu lalu Fenomena yang terjadi di trotoar Jalanan Sudirman terjadi juga di Citayam. Orang-orang sosesialita dan para tiktokres menyebutnya dengan Istilah Citayam Fashon Week. Mereka mengenakan pakaian yang nyentrik kemudian berjalan dari tepi ke tepi jalanan layaknya seorang peraga. Lokasi Citayam Fashion Week ini persisnya di dekat Terowongan Kendal yang lokasinya tak jauh dari stasiun MRT Dukuh Atas dan stasiun KRL Sudirman. Siapa saja mereka?

Berawal dari media sosial, sejumlah sosok ini mendadak viral dan populer di tahun 2022. Dari Remaja Citayam Fashion Week, Farel Prayoga, Bunda Corla, Tante Lala, Alif Cepmek, hingga Fajar Sadboy. Namun apa yang terjadi di Citayam Fashion Week kini sudah berlalu. Jalan memang telah memberikan penghidupan bagi mereka, melaui endros dan sejumlah iklan yang mereka tayangka di media sosial. Seklitas tidak jauh berbeda dari tukang cangcimen, minuman keliling, sopir angkot, petugas jalan TOL, dan lain sebagainya. Namun ketika Citayam Fashion Week mereda, hilang kini pendapatan mereka mulai surut pula.

Entah kenapa masyarakat kita sangat tertarik dengan jalan baru, bahkan momen ini saya saksikan sendiri dengan mata telanjang. Saat itu hari sudah memasuki suasana sore, saya hendak pulang kuliah dari Pamulang ke Limo melewati sebuah jalanan yang menghubungkan Tangsel dengan Depok di salah satu jalan daerah Pondok Cabai. Sebelumnya orang-orang Depok yang bekerja di Tangerang, atau orang-orang Tangerang yang bekerja di Depok biasanya mereka melewati Jalan Kayu Manis, atau Jalan Bandung untuk memasuki wilayah Cinere dan Limo. Namun sore itu penampakannya berbeda. Orang-orang dengan antusias dan gembira melewati sebuah jalan milik suwasta bernama South City, yang baru saja dibuka. Karena penasaran saya turut ambil bagian untuk merasakan jalanan baru itu.

 Alangkah terkejutnya mata ini ketika yang terlihat di sana bukan hanya orang-orang bermobil atau bermotor yang hendak pulang kerja saja, tetapi juga banyak para pemuda-pemudi dan warga setempat yang sengaja nongkrong di jalan baru tersebut. Mereka sengaja datang untuk menyaksikan betapa indahnya jalanan yang dibuat dengan pasir, semen, batu krikil, dan aspal atau bahkan keringat para kuli yang menetes di adonan material. Mereka datang sebagai hadirin budiman di abad yang penuh kemajuan. Sebuah abad yang menjadikan jalan sebagai jalur alternatif dalam menciptakan imajinasi atau bahkan sekedar fantasi kemajemukan. 

Apa yang sudah terjadi di trotoar Sudirman, Citayam Fashion Week, dan South City adalah gambaran betapa jalanan telah memberikan masyarakat kita imajinasi baru. Jalanan tidak hanya sekedar tempat untuk memudahkan kendaraan mengantar manusia atau barang dalam jumlah yang banyak. Tetapi jalanan pula telah menggiring imajinasi mereka terhadap kemodernan dan apa yang disebut dengan kemajuan semu. Meskipun begitu mereka merasakannya sebagai hiburan dari rasa suntuk. Sebuah hiburan di mana jalanan yang dianggap indah dan menakjubkan bertemu dengan kejenuhan sehingga menciptakan fantasi dan imajinasi baru tentang rasa kepuasan bantin dan eksistensialis. Apa yang kita lihat hari ini adalah apa yang katanya disebut dengan istilah krisis, akan tetapi benarkah ini krisis?

Hampir tidak ada yang negatif atau positif. Semua ukuran tentang negatif dan positif hanya dimiliki oleh orang-orang yang naif. Apa yang terjadi ditrotoar Jalan Sudirman setidaknya memberikan kesan bahwa masyarakat kita begitu bangga dan mencintai tanah kelahirannya sendiri, ya meskipun mereka mendamba-dambakan suasana jalanan Sudirman yang mirip seperti di negara-ngara yang konon katanya maju di eropa. Sementara dari fenomena Citayam Fashion Week, setidaknya menjadi ajang pemuda-pemudi kita untuk berkreativitas melalui cara berbusana. Sekaligus apa yang dilakukan mereka dapat menjadi pendorong bagi bisnis atau pengusaha di bidanag sandang, dan para pelaku UMKM untuk terus melanjutkan hidup. Dan apa yang terjadi di South City adalah gambaran dari betapa suntuknya masyarakat kita dengan kondisi jalanan konfensional yang dibuat pemerintah saat ini. Sekaligus dengan adanya imajinasi dan fantasi yang mereka ciptakan di kepalanya, setidaknya mereka memiliki pengharapan, dan akan hadirnya kebahagiaan batin yang dapat mengobati segala suntuk dan berisiknya berita politik tentang program calon legeslatif yang lagi-lagi membangun jalan seperti tahun-tahun sebelumnya.


M. Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus atau M. Yus Yunus
Redaktur Website adakreatif.id 
Penulis Esai Ada Tea, Terminallogi
Lebih baru Lebih lama