Oleh Mahwi Air Tawar
Tak semua orang berada dalam situasi yang diinginkan dan diimpikan. Anehnya, keadaan yang tak diinginkan itu datang begitu saja, berkelindan dan tak mau pergi dari sekitar kita. Kehadiran hal yang tak kita inginkan itu mesti diterima dan dijalani, sekali pun berat. Itulah yang terjadi. Tak seorang pun bisa berpaling. Apa pun harus diterima dengan rela hati, dengan keteguhan dan, sekali lagi, dengan sabar. Dalam pergaulan sehari-hari, kata "sabar" begitu akrab dan mudah diucapkan.
Terkadang, tanpa berpikir panjang Si "sabar" reflek terucapkan saat melihat seseorang tertimpa musibah. Terkadang, kata "sabar" menjelma senjata tajam yang bisa saja melukai bisa juga tidak. Sebagaimana senjata, sepantasnya kita tahu cara merawat dan menggunakannya. Adakalanya, dalam situasi genting atau bahkan di hadapan musuh sekali pun kita tak membutuhkan senjata. Terkadang, ketika berada dalam keadaan demikian, kita hanya butuh berhenti, berpikir sejenak, dan mengatur strategi agar musuh luluh tanpa harus mengeluarkan sebilah senjata.
Demikian juga dalam hal menggunakan kata "sabar", ketika menjumpai saudara, sanak kerabat dan lain-lain tak bisa serta merta kita langsung berucap sabar. Adakalanya, bukan kata itu yang ia butuhkan. Kadang ia hanya butuh sosok yang bisa dijadikan sandaran tanpa harus mengucapkan kata "sabar". Adakalanya, ia hanya butuh pendengar, dan benar-benar tak butuh anjuran kata "sabar". Sebaliknya, ia akan cenderung memberontak saat mendengar kata "sabar", contohnya: "kurang sabar bagaimana, sabar seperti apa? Sudah. Aku tak butuh nasihatmu!"
Maka, dalam konteks sabar di atas, sahabat Ali Bin Abi Tholib, mengkatagorikan sabar dalam dua bagian. "sabar atas sesuatu yang tidak kau ingin dan sabar menahan diri dari sesuatu yang kau inginkan” kata Ali Bin Abi Thalib. Sabar atas apa yang diinginkan, di antaranya, keinginan menasihati orang terkena musibah, bahkan keinginan hendak menasihati orang yang melakukan kesalahan sekali pun. Senada dengan itu, Imam Syafi'ie, mengingatkan:
Sabar tidak hanya sabar ketika menghadapi cobaan atau ujian yang tidak diinginkan, tapi sabar juga dalam menjelaskan, dan sabar membaca situasi untuk mengungkapkan kata "sabar" kepada seseorang yang sedang tertimpa musibah.
Menarik juga direnungi apa yang ditulis oleh penyair Rusia, Brodsky, dalam puisinya tentang bagaimana kita bertahan (sabar) dalam berbagai kemungkinan:
Ketika begitu banyak yang tertinggal
Semua berubah menjadi kesedihan
Tak perlu menunggu dukungan seseorang
Naiklah kereta dan turunlah di bibir pantai.
Ya, tak perlu menunggu dukungan seseorang, karena makna dari "sabar" bukan menunggu keajaiban dari langit hampa. Tapi "sabar" adalah bagaimana kita bangkit, bergerak dan bangkit dengan kekuatan dari dalam diri sendiri. Tak perlu menunggu seseorang yang --mungkin akan datang-- menolongmu bangkit dari keterpurukan. Kenyataannya, hahya diri kitalah yang tahu jalan keluar dari kelokan persoalan dan dengan cara apa melaluinya. Lalu, kenapa harus menunggu?
"Kesabaran adalah bumi," dan bumi tidak pernah memberontak saat hutan-hutan dan pohon-pohonnya dihabisi, kemudian di atasnya dibangun pabrik, perumahan, dan tidak jarang jadi tempat-tempat melepas penat: destinasi wisata! Kesadaran adalah laut lepas, ia tak pernah memberontak marah saat ikan-ikan di dalamnya dicentrang dengan cara tidak semestinya, hingga menyebabkan ketidakseimbangan baik di ranah ekologi, sosial, dan individu. Pun laut, tak pernah menolak saat sampah-sampah dibuang dan di hanyutkan ke dalam hingga membuat kecemaran laut tak tehindarkan.
Menunggu keajaiban tanpa melakukan apapun atas sesuatu yang terjadi hanya dilakukan oleh orang yang tidak sabar. Sebaliknya, terus bergerak, berpikir, dan bertindak mencari jalan keluar dari persoalan adalah kebijakan yang hanya dilakukan oleh orang-orang bersabar.
Mahwi Air Tawar Redaktur Kelas Menulis Penulis Buku Kumpulan Puisi Mata Blater |