Mahwi Air Tawar
Puisi tetaplah puisi, ia selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin menjadikannya alat menyampaikan pesan-pesan penting lewat kata-kata; kata-kata dengan segala "piranti puitika" yang sarat dengan perumpamaan-perumpamaan, majas dan metafor. Sebagaimana cabang ilmu pengetahuan, puisi menduduki tempat istimewa setelah filsafat.
Sejatinya, puisi tidak sekadar rangkaian kata-kata indah yang dapat mengajak pembacanya merenung, mencari dan menemukan jawaban dengan tanpa harus mengajak (baca: khotbah) pembacanya agar berlaku baik. Biasanya, Si Penulis puisi jamak disebut sebagai penyair!
Ada masa, salah satu piranti dari puisi (metafor) tak berjarak dan bahkan menjadi ungkapan bijak para orang tua ketika menegur anaknya untuk tidak melakukan suatu "kesalahan", misalnya, kalau berbicara (suaramu) jangan sampai terdengar seperti petir! Kata "petir" tentu saja sebuah perumpamaan, yang artinya, bisa jadi berupa peringatan di mana tidak setiap ada suara "petir" tidak selalu akan turun hujan, kata "petir" bisa jadi perumpamaan agar setiap menyampaikan sesuatu mesti ditata. Kenapa menggunakan kata petir? Karena tidak semua orang senang --buru-buru mau/akan mendengar, sebaliknya, kita akan segera menutup telinga--. Itulah sebab kenapa kita mesti menata tiap intonasi dan bahkan gerakan (adab).
Tentu saja, puisi tidak pernah menolak jika seseorang yang menggunakan "kata-katanya" bukanlah dari seorang penyair, Ia bebas digunakan oleh dan dengan siapapun, tidak terkecuali oleh politisi. Pun penulis puisi, tidak mesti dan harus menggunakan kata-kata dan kalimat yang jelimet yang membuat pembacanya harus dan atau terpaksa berkerut kening untuk memahaminya. Kejelimetan dengan dalil "piranti puitika" dan estetika bukanlah jaminan bagus dan tidaknya dari sebuah puisi. Bagaimanapun, semakin kata-kata dan kalimat dalam puisi ditulis dengan sesederhana mungkin dan dapat dengan muda membuat pembaca --tidak hanya-- paham tapi juga merinding setelah membaca puisi dimaksud, maka dapat dipastikan puisi yang dimaksud adalah puisi yang berhasil.
Menulis dengan sederhana sekaligus indah bukanlah perkara mudah, ada proses yang mesti dilalui, membaca dan menghayati kehidupan, di antaranya. Kata-kata indah tidaklah datang dari langit hampa. Bahkan, kalaupun di langit yang indah dengan bias cahaya senja yang kemerah-merahan, kerlip bintang-bintang dan cahaya rembulan tidak akan terlihat indah dan berarti apa-apa tanpa meresapi dan merenungi makna di balik keindahan itu sendiri. Sebaliknya, sesuatu yang menurut pandangan umum tidak indah akan tampak indah bagi seseorang yang batinnya terus diasah, termasuk oleh dan atau bagi sebagian besar penyair.
Pengarang buku "Kitab Putih Politisi", Eman Hermawan, tidak menasbihkan dirinya sebagai penyair, bahkan Ia "tidak berani" menyebut puisi-puisinya sebagai puisi. Akan tetapi, Ia tidak bisa berpaling bahwa apa yang ditulisnya adalah puisi itu sendiri. Dalam literatur-literatur dan kisah-kisah dunia persilatan hampir jarang ditemukan seorang master, tokoh silat menyebut dirinya sebagai pesilat meski hidup dan lakunya tidak bisa lepas dari gerakan silat.
Barangkali, hanya master yang tahu master. Kependekaran dan jurus-jurus yang sudah tertanam dan mendarah daging dalam dirinya tidak pernah diumbar dengan mengepalkan tangan, memasang kuda-kuda dan atau memperagakan jurus-jurus di jalan raya. Seorang master tahu kapan, di mana, dan dengan siapa Ia mesti mengeluarkan jurus-jurus indahnya yang indah --tidak grusa-grusu-- saat bermuka-muka bahkan ketika bertemu dengan seorang pendekar sekalipun, apalagi berjumpa gerombolan pesilat yang pandai memainkan senjata, tapi tidak pernah tahu di mana mesti menyimpan senjata.
Eman Hermawan --sekali lagi-- tidak sekalipun mengakui dirinya sebagai penyair sekalipun "puisi" yang bersemayam di lubuk batinnya tidak kuasa Ia tolak ketika harus keluar dan menjumpai pembacanya. Ia pun tidak punya kuasa menolak apalagi melarang anak-anak batinnya yang bernama puisi bermain-main di luar: melebur dengan pendemo di depan gedung wakil rakyat, menyusup ke sele-sela almamater mahasiswa yang lebih lihai bikin proposal ketimbang belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan, duduk dalam satu forum bersama wakil rakyat dan penguasa yang juga tak kalah gemarnya dan lihainya ketika merumuskan sebuah proposal, dan anak batin itu bernama (baca: judul puisi) "Negeri Proposal".
Eman Hermawan adalah seorang politisi yang sehari-harinya disibukkan dengan masalah-masalah yang terjadi di dalam negeri. Dinamika-dinamika yang tidak kunjung usai, merekam dan memperjuangkan suara-suara nyeri rakyat, dan sekaligus meminta penguasa peka akan penderitaan rakyat.
Sebagai manusia yang sehari-harinya bergulat dan mencari jalan keluar atas permasalahan-permasalahan negeri, selalu ada titik-titik kejenuhan yang, membuatnya sejenak berpaling lalu mengosongkan pikiran sebelum akhirnya melepas beban setelah berjumpa dan berbicara dari hati ke hati dengan sang kekasih, istrinya:
Istriku, berpolitik di Indonesia itu penuh berkah
sebah hanya dalam politik bisa hidup berkali-kali
dan mati berkali-kali
Istriku, siapa bilang politik di elit partai itu serius
tahukah dikau, yang paling serius itu
politik sehari-hari di kantor, bukan?
Istriku, politik di negeri ini adalah senjata
untuk berebut harta rampasan
dari perang yang tidak disadari
Istriku, sejak hari ini aku percaya
bahwa partai tanpa panglima perang
adalah sekadar kumpulan para kurcaci.
Jakarta, Juni 2009
Betapa pun sibuknya, tenaga dan khususnya pikiran perlu diistirahatkan sebelum kemudian maju kembali ke gelanggang "perang", "peperangan" paling bahaya dan mematikan adalah ketika Ia harus melawan dirinya sendiri. Ada saatnya Ia berkompromi dengan diri sendiri. Bukannya musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri? Disaat-saat seperti itulah, terkadang manusia mesti sejenak istirah sambil menikmati keindahan pemandangan sore dengan kilas balik cahaya dari gorden// biaskan cahaya siluet dedaunan, gemericik// yang sunyi, indah nian di telinga// sepi makin menepi ke sisi hati. Eman Hermawan: "Di Sebuah Sore".
Sebagai politisi dari salah satu partai besar Indonesia, Eman Hermawan, mesti berpihak dan berpikir antara mewakili suara rakyat yang, dengan segala keluh kesahnya mesti disampaikan kepada pemerintah. Di sisi lain, ia mesti berkompromi dengan kebijakan-kebijakan yang kadang, tidak sejalan dengan suara batinnya baik sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin yang mewakili beribu-ribu rakyat yang sudah mempercayai dan memilihnya.
Membaca puisi-puisi Eman Hermawan, saya teringat dengan sosok Eduard Douwes Dekker yang lebih dikenal sebagai Multatuli. Ia adalah seorang asisten residen Belanda, namun begitu, ia tidak bisa berpaling dari penderitaan rakyat yang diperlakukan tidak adil baik oleh pemerintahan Belanda maupun oleh penguasa setempat (pribumi). Salah satu karyanya, Max Havelaar, yang memotret penderitaan rakyat Lebak. Karya yang ditulis dengan narasi-narasi jenaka dan satire berhasil membongkar ketidakadilan dan kesewenang--wenangan pemerintah yang berkuasa, Belanda.
Lewat puisi-puisinya, Eman Hermawan, tidak sekadar merekam dan menyuarakan suara-suara rakyat yang diam-diam hak-haknya dirampas, diperlakukan tidak adi, tapi ia juga mempresentasikan penguasa sebagai "aku lirik" dalam puisi-puisinya. Ia menertawai penguasa, berikut wakil rakyat (Dewan Perwakilan rakyat: DPR) yang, dalam setiap kesempatan senantiasa menjadikan suara rakyat sebagai alat meraup keuntungan dan sekaligus menepikan kewajibannya sebagai wakil rakyat.
Sebagaimana narasi dalam novel Max Havelaar, puisi-puisi Eman Hermawan tidak hanya jenaka tapi juga tajam menembus kabut ketidakadilan. Hanya orang-orang yang kerap berdialog dengan diri sendiri, merekam suara batin, dan tidak berhenti merenung yang mampu menulis dengan narasi-narasi jenaka, dan sekaligus menertawai diri sendiri yang mampu menjadi "pemenang" dari "peperangan" melawan ketidakadilan.