Tahun Politik Telah Tiba, Jalanan Berlubang di Mana-Mana

Oleh M. Yus Yunus

Tahun politik sudah tiba, hayo siapa yang sering baca berita?

Kenapa jalanan selalu jadi program calon legeslatif?

Kenapa sampai saat ini jalanan berlubang masih banyak kita temui di desa-desa, padahal jalanan TOL di mana-mana?

Di tahun politik yang ngelawak ini, banyak sekali tokoh pejabat yang mulai melucu. Mulai dari kasus Piala Dunia U20 yang gagal diselenggarakan di negeri ini, akibat lidah yang tak bertulang, sampai ungakapan tokoh lain soal panasnya suhu politik yang banyak diberitakan di televisi, dan media digital lainnya. 

Belum lagi kunjungan Bapak Jokowi ke Lampung yang sengaja melintasi jalanan berlubang di sana, menjadi tontonan publik untuk menuai citra. Padahal jalanan yang bagus sudah disiapkan demi lancarnya kunjungan tersebut. 

Melalui strategi adopsi dari Bandung Bondowosi dalam membuat seribu candi ini, jalanan yang kabarnya dikebut untuk menyambut kedatangan bapak nomor satu ini malah bukan jadi pilihan utama. Padahal ada hal lain selain jalanan berlubang yang butuh kunjungan dari bapak presiden, salah satunya adalah saudara dekat jalanan itu sendiri yaitu selokan, gorong-gorong, atau disebut juga sebagai saluran air.

Kita pernah tidak sih menanyakan soal, kenapa gorong-gorong selalau dibuat belakangan setelah infrastruktur lain berhasil dibangun lebih dahulu. Contohnya seperti ketika kita keluar rumah hendak berangkat kerja, tahu-tahu jalanan yang biasa kita lewati terjadi penggalihan lubang gorong-gorong untuk saluran air. Alhasil, perjalanan kita menuju kantor menjadi agak tersendak. Seharusnya kan saluran air dibuat lebih dahulu sebelum membuat jalanan, atau perumahan. Tapi ini lok malah kebalikannya. 

Jadi wajar saja jika setiap habis selesai dicor atau diaspal tidak menunggu waktu lama kondisi jalanan kembali hancur seperti sedia kala. Kenapa tidak ada yang memikiran pembuatan gorong-gorong terlebih dahulu baru membuat jalan raya? 

Jadi teringat kalimat bapak nomor 1 kita saat berkunjung ke Lampung sana, keberadaan infrastruktur itu berpengaruh pada lajunya pertumbuhan perekonomian terutama jalan raya untuk angkutan logistik dan orang. Dari sanalah kira-kira kenapa cuman jalanannya saja yang lebih dahulu dipikirkan.

Sayang sekali, masalah kondisi jalan di Lampung sana telah menjadi parodi yang serius di saat tahun politik berlangsung. Bukan hanya menjadi bahan guyonan orang-orang di media sosial, jalanan berlubang disebut sebagai sebuah kearifan lokal. Karena umumnya jalanan yang demikian hanya ditemukan di daerah-daerah terpencil. Seperti kecamatan, atau pedesaan. Sehingga masyarakatnya pun terlalu sabar, tabah dan pasrah, sebab mereka kerap berpikir jikalau semua yang terjadi pasti ada hikmahnya. 

Jarang kita temukan jalanan rusak di depan kantor kabupaten, atau jalanan rusak di depan kantor samsat, pasti yang rusak ya dipelosok. Kalau tidak, paling-paling diaspal atau dicor sebagiannya saja, sebagiannya lagi rusak parah. 

Biasanya jalanan daerah yang halus cuman di awal masuk daerah tersebut saja, begitu sudah masuk tengah-tengah wilayah roda emat atau roda dua harus siaga selalu untuk menghindari lubang. 

Saat kendaraan hampir mendakati jalanan keluar wilayah tersebut, jalanan baru kembali halus lagi. Seolah-olah ada yang sengaja ingin diperlihatkan, sekaligus ditutupi. 

Dan ini semua bukanlah sebuah rahasia umum, akan tetapi sudah menjadi konsumsi masal. Kalau sudah begini, bagaimana cara kita dalam mempelajari tahun politik yang sekarang sedang berlangsung, sementara masa-masa yang lewat telah memberikan kita banyak ketimpangan dalam pembuatan invastruktur jalan raya yang sudah sangat lucu ini? Apakah ada yang tidak membuat kita kecewa? Apakah mungkin, kepercayaan akan pemilihan di hari depan dapat meningkat? Selama ini yang kita percaya ya, jalanan akan kembali bagus kalau tiba masa pemilu.

Itu dia, konon katanya pergantian kepemimpinan akan memberikan perubahan yang nyata. Keyakinan rakyat kepada kampanye yang dilakukan oleh seorang calon pemimpin serupa dengan mitos, yaitu harapan rakyat akan dibuatkan jalanan raya yang mulus. 

Jalan raya yang di mana orang-orang dapat berlalu lalang tanpa terjadi gangguan, tanpa resiko kecelakaan, tanpa resiko kerusakan mesin, dan lain sebagainya. Dan sayangnya selama ini, harapan-harapan itu menjadi strategi kampanye yang manjur, sebab dimainkan dengan cukup terampil. 

Barangkali kondisi jalan raya yang rusak sengaja dibiarkan untuk menjadi bahan kampanye di tahun depan. Atau soal uang, nah kalau yang satu itu, biar posisi kuat saja yang akan mengungkapkan. Kita tahu bahwa jalanan adalah wajah, muka kita semua. Di mana saat kita membuka pintu rumah, yang pertama kita lihat adalah jalan raya. Atau ketika kita berkunjung ke kampung tetangga untuk kondangan, maka hal pertama yang kita lihat bukanlah janur kuning di pertigaan jalan, melainkan kondisi jalan rayanya. 

Kemudian apakah pemerintah setempat bertindak cepat dalam menanggapi jalanan yang rusak? Kayak-kayaknya tidak. Biasanya jalanan akan mulus di dua tahun pertama pembangunannya, atau di dua tahun pertama si bapak bupati naik tahta. Kira-kira jalanan akan mulai hancur di tahun ketiga, dan dalam tahun itu kondisi jalan raya mulai mengancam warga. Kemudian jalanan akan rusak parah pada dua tahun selanjutnya, di tahun-tahun terakhir pergantian kursi kepemimpinan sebelum kembali diaspal atau diganti dengan batu, kawat besi, seman, dan pasir oleh pemimpin yang baru. 

Mungkin saja kita sudah terbiasa akan hal itu, dan telah mengetahuinya sejak lama. Dan kita pula tidak pernah diam, malahan kita sendiri yang harus berkerja bakti. Kemana perginya para teknisi?

Jika bukan oleh diri kita sendiri lalu siapa lagi, kira-kira seperti itulah bunyi motivasinya. Semoga bapak-bapak yang sedang menunggu pilpres tiba membaca masalah ini. Kita memang bangsa yang suka bergotong royong, jangankan untuk membuat masjid, dan musala, pekerjaan yang seharusnya dikerjaan oleh orang ahli saja bisa dikerjakan dengan sistem kebersamaan, dengan gotong-royong yang dilakukan bapak-bapak komplek misalnya.

Negara perlu berterima kasih kepada bapak-bapak yang melakukan usaha kolektif untuk mengecor jalannya sendiri, sekaligus gorong-gorongnya. Negara juga perlu berterima kasih kepada para ibu-ibu yang berjuang di dapur mereka untuk memberikan dorongan semangat kepada suami-suami mereka. 

Jika tulisan ini memuat data, desa mana saja atau kampung mana saja yang telah melakukannya pastilah terlalu banyak. Karena saking banyaknya kaum bapak-bapak di seluruh negeri ini yang berhasil membuat saluran airnya, maka meskipun mereka menggunakan uang dari hasil jerih payahnya sendiri setidaknya mereka tetap nampak bahagia. Mereka tidak pernah menanyakan kemana uang pajak yang telah dibayar. Tapi ujung-ujungnya keluar uang dan tenaga sendiri juga.

Saking lucunya kondisi jalan kita, orang-orang sebelum media sosial mengangkat telah banyak cerita humornya tentang gorong dan jalan raya yang rusak. Sayangnya cerita yang dibuat oleh orang terdahulu tidak pernah sampai menggores telinga pejabat, tinggal tutup kuping, dan mata saja. Akan tetapi di era digital seperti saat ini, pelaporan mudah dibuat, bahkan bisa dilakukan hanya dengan menggunggah vidio atau foto ke dalam maya. Yang padahal ceritanya masih sama, yaitu kisah humor tentang jalanan berlubang yang nampak seperti kolam pemancingan. 

Hanya ada dua lubang di negeri ini, yang pertama lubang di jalan, dan yang kedua adalah lubang uang berjalan-jalan. Kira-kira seperti itulah celoteh Almarhum Enthus Susmono saat menjadi dalang Wayang Santri. Akan tetapi saat beliau menjabat, kondisi jalan di berbagai wilayah di Tegal masih belum tuntas permasalahannya. Menandakan bahwa kekuatan politik tidak sanggup merubah parodi yang telah ada sejak dahulu kala.

Di Depok, Tangerang, Bekasi, atau kota besar lainnya, memang jarang ditemukan kondisi jalan yang berlubang. Kalaupun ada kasusnya tidaklah banyak seperti di desa-desa terpencil. Akan tetapi lubang yang lain kerap tidak terurus. Contohnya seperti gorong-gorong sepanjang Jalan Raya Limo, entah kemana air akan mengalir saat bapak-bapak pemilik rumah makan padang membuang bekas cucian piringnya ke selokan. 

Setelah mba-mba warteg selesai mandi, air akan mengalir dari lubang di kamar mandi menuju gorong-gorong di depan warungnya. Akan tetapi tidak jelas setelah itu air akan mengalir kemana. 

Entah saluran airnya yang mampet atau memang tidak dipikirkan sebelumnya, hanya sekedar membuat gorong-gorong saja untuk membahagiakan si pemberi suara. Alhasil setiap hujan, air bekas hajat para warga yang telah bercampur akan terus memadati selokan dan meluap hingga jalan raya. Kemudian lambat laun jalanan mulai terkikis, dan kerusakan pun tidak dapat dihindari lagi. 

Negeri yang humoris untuk pendidikannya yang telah banyak mencetak sarjana teknik sipil. Beginilah jika kepintaran dan gelar hanya dijadikan untuk mencari cuan, jabatan, dan suara saja. Apa hikmah dibalik semuanya kondisi jalanan yang berlubang, dan gorong-gorong yang tak jelas muaranya?

Hikmahnya seperti ini, dengan kondisi jalan yang berlubang setidaknya akan mengurangi polusi udara karena banyak pengendara yang menghindari jalan tersebut. Jalanan terlihat sepi pengendara, udara bersih pun semakin terasa. Para warga kita jadi punya banyak sampingan pekerjaan, selain bisa membuka bengkel dadakan, kita juga bisa menghibur diri dengan bermain di kubangan. Kalau iseng sedikit bolehlah dicoba menernak ikan konsumsi seperti ikan lele misalnya, kan lumayan untuk mengisi waktu. 

Bagi yang punya adrenalin tinggi boleh sekali-kali dicoba untuk merubah jalanan berlubang menjadi arena pemancingan, hitung-hitung bisa refresing sekaligus deg-degan kalau ada truk melintasi jalan. 

Bagi kondisi jalan yang rusaknya belum terlalu parah, seperti lubang-lubang kecil atau batu-batu kecil yang mulai keangkat dari aspalnya, ya kira-kira dapat bermanfaat untuk menahan ngantuk, jadi sopir sudah mendapatkan sugesti agar selalu waspada dan tetap fokus. 

Nah, kalau saudara-saudara di rumah kurang kerjaan, barang kali kondisi jalan raya yang berlubang dapat kita manfaatkan untuk bermain becek-becekan setelah hujan turun. Rekreyasi jadi lebih mudah, kalau ada yang mudah untuk berbahagia kenapa mesti mencari yang susah-susah. 

Satu lagi, soal gorong-gorong tadi nilai hikmahnya adalah para bapak-bapak dan ibu-ibu bisa menjalin tali silaturahmi dengan kegiatan bergotong royong, selain bermanfaat untuk memperkuat nilai persaudaraan juga bermanfaat untuk olahraga, supaya masa tuanya terisi dengan kegiatan-kegiatan yang sangat positif, sebuah kegiatan yang membahagiaan untuk semua orang. Tidak hanya menguntungkan sesama warga, juga menguntungkan negara, bukankah begitu bapak-bapak dan ibu-ibu pejabat yang terhormat?


M. Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus atau M. Yus Yunus
Redaktur Website adakreatif.id 
Penulis Esai Ada Tea, Terminallogi
Lebih baru Lebih lama