Oleh Elis Susilawati
Hana menutup laptopnya dengan kasar. Ia mengempaskan diri di sofa panjang berwarna coklat. Air wajahnya tegang. Tangannya sibuk mengetuk-ngetukan dupa di atas meja hingga akhirnya Ia tersadar dengan bingkai foto besar yang terjatuh akibat senggolan kucing manisnya.
Hana mengelap tangannya yang basah. Ia menengok suaminya yang sedang fokus membuka majalah otomotif dengan dahi berkerut. Suami Hana, Satria, membaca halaman demi halaman tanpa berlama-lama.
“Bacaan otomotif kali ini sepertinya kurang menarik ya, Mas?” singgung Hana sambil berjalan menghampiri Satria.
Satria menurunkan majalah tersebut, lalu menatap Hana dengan wajah muram.
Hana mengangkat satu alis. Ia memahami ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya. Ia bergeser untuk duduk lebih dekat, “Ada apa?”
Satria menyimpan majalah yang dipegangnya ke atas meja. Ia mengubah posisi duduknya untuk berhadapan dengan Hana, “Kerjaan.” Dirinya mengucapkan kata tersebut tanpa energi.
“Ada masalah apa?” Hana mengusap lembut lengan kanan suaminya.
“Sudah beberapa bulan, keuangan kantor menurun,” tutur Satria.
Wajah bersinar Hana terganti dengan pandangannya tajam. Ia menegakkan badan sambil memberikan jarak duduk dengan suaminya, “Gara-gara Andra?”
Satria terdiam. Kepalanya menunduk. Bahunya terkulai. Pandangannya tertuju ke lantai. Ia tidak dapat membalas ucapan istrinya.
Hana menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum miris. Ia menyentakkan nafasnya. Dirinya betul-betul lelah jika harus membahas persoalan Andra. Sudah beberapa kali ia berdebat dengan suaminya hanya karena orang itu. Orang yang tidak tahu terima kasih karena dapat bekerja sama dengan mudah di perusahaan Satria.
Andra adalah sepupu dekat Satria. Waktu itu, Andra baru saja lulus sekolah menengah atas. Ia datang dari desa tanpa pekerjaan. Mama Satria meminta anaknya untuk menerima Andra bekerja di tempatnya. Sejak Awal, Hana menentang permintaan itu. Hal ini disebabkan oleh adanya pengalaman buruk yang pernah menimpa keluarganya. Dirinya sudah tidak percaya jika harus bekerja sama dengan keluarga.
“Sejak awal, aku tidak setuju kalau Andra ikut kerja di tempat kamu,” tegas Hana dengan suaranya yang lebih tajam.
Satria mendongak, “Itu permintaan mamaku, sayang. Aku enggak bisa menolak.”
Hana memutarkan kedua bola matanya. Dirinya kesal karena suaminya itu selalu menuruti apa kata orang tuanya, “Menurutku, enggak semua permintaan orang tua kamu bisa dituruti, Mas. Kamu rintis tempat itu dengan modal dan ide sendiri. Kamu berhak untuk menolak orang yang dirasa tidak pantas untuk bekerja sama dengan kamu.”
“Kasihan. Dia enggak punya pekerjaan, sayang. Aku pernah merasakan itu.”
“Begini, Mas. Kamu itu jangan terlalu baik sama orang. Belum tentu dia akan membantu kita ketika sulit.”
Bibir Satria terkatup rapat. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai. Ia tidak mampu menyanggah ucapan Hana.
“Lagi pula, apakah pencapaian Mas hingga saat ini atas bantuan mereka? Dulu, saat Mas berada di bawah, apa ada yang peduli? Enggak ada. Mas berdiri di kaki sendiri. Bahkan, orang tua Mas pun rela jika anaknya kehilangan masa remaja. Mas sendiri yang bilang kalau mama meminta sebagian hasil usaha Mas.”
Lagi lagi Satria hanya diam.
“Mas, kamu itu harusnya mengambil pelajaran dari kejadian lalu. Sebelum Andra, saudara yang lain ikut kerja di tempat kamu. Hasilnya bagaimana? Apakah semakin maju? Dia membuat nama kamu menjadi jelek karena tindakan buruknya terhadap pelanggan. Selain itu, dia juga menilap rupiah hasil penjualan. Apa kamu enggak kapok?” Hana menghembuskan nafas kasar. Ia bangkit dari kursi.
“Mau kemana?” tanya Satria sambil menahan tangan Hana.
“Mengambil Minum,” decak Hana sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Tenggorokannya terasa sangat kering meski sebelumnya sudah banyak makan dan minum. Emosinya tidak tertahankan.
“Sayang, jujur saja aku enggak enak buat mengeluarkan Andra dari tempatku. Dia hanya anak desa lulusan SMA yang merantau untuk mencari kerja.”
Hana kembali dari dapur sambil membawa dua gelas air di tangannya. “Rasanya banyak yang ingin menjadi Andra, Mas,” cibir Hana. ”Hanya lulusan SMA, tanpa modal materi dan sikap yang baik bisa bekerja dengan gaji yang sangat cukup.”
“Huhh. Niat aku kan baik. Hanya ingin membantu dia,” pasrah Satria. Ia mengacak-acak rambutnya. Kepalanya terasa begitu berat, bagaikan ditimpa jutaan batu.
Hana menyerahkan satu gelas kepada Satria. Dirinya kembali duduk dengan posisi tegak. Ia berusaha menetralisir nada suaranya, “Mas, jujur saja aku enggak mau kejadian papa terulang. Usaha kamu saat ini adalah bukti kerja keras kamu. Dulu, papa pernah bangkrut karena membiarkan tikus bekerja di tempatnya. Akhirnya, usaha yang papa lakukan sia-sia. Ia harus bekerja lebih keras untuk merenovasi ulang kerajaan bisnisnya.”
“Sekarang aku stuck,” ungkap Satria sambil menyandarkan tubuhnya pada backrest.
Hana menghembuskan nafas pelan. Ia melipat kakinya di atas sofa dengan posisi menghadap Satria, “Mas, bekerja sama soal pekerjaan dengan keluarga itu ada nilai positif dan negatifnya. Aku tau kamu takut memiliki hubungan enggak baik dengan keluarga. Perlu kamu tau, sejak kejadian papa, aku menanamkan pada diri aku untuk menyamaratakan semuanya. Aku tidak memprioritaskan siapapun untuk bekerja di tempatku. Semua harus sesuai dengan standar yang berlaku. Pun dengan masuknya, harus sesuai prosedur.”
Satria mengusap pucuk kepala Hana tanpa mengeluarkan sepatah kata. Pandangannya redup. Hana menyandarkan tubuhnya pada bahu Satria.