Oleh Yetti A.KA
Aku mencintainya. Tentu saja aku masih
mencintainya. Ketika aku mengirim pesan panjang kepadanya, aku mengatakan akan
pergi dari hidupnya. Dia membalas pesan itu dengan sederhana saja. Baik. Hanya satu kata itu. Setelahnya
kami tidak saling berhubungan lagi. Kupikir, semudah itulah aku mencampakkan
seseorang dari hatiku.
Setelah
lima tahun, pesannya kutemukan di kotak e-mail.
Aku akan menikah. Apa kita bisa bertemu?
Mulanya
aku tidak ingin membalasnya. Namun, karena pesannya itu ternyata mengganggu
pikiranku, kukatakan: Mari bertemu.
Kami
bertemu hari ini. Aku yang datang ke kotanya. Sekarang dia sedang duduk diam di
depanku. Dia tampak tak berubah sama sekali. Potongan rambutnya yang belah
tengah. Bau parfumnya. Caranya tersenyum yang setengah tulus setengah mengejek.
Warna kulitnya yang agak pucat. Sweter cokelat yang menemaninya ke
mana-mana—ya, hanya sweter cokelat dan sepertinya dia akan membeli sweter
dengan warna itu sampai mati.
“Aku
akan menikah,” katanya persis seperti yang dia katakan di e-mail.
Aku
diam selama satu menit sebelum bilang,
“Apa kau harus melakukannya? Menikah? Tolong, jangan menikah!”
Dia
tidak mengatakan apa pun tentang permintaanku. Kami keluar dari kafe dan
memutuskan pergi keliling kota. Menurutnya, aku sudah lama sekali tidak datang
ke kota ini. Sudah banyak yang berubah (dia menyebut toko buku baru, bioskop
jaringan nasional, mal-mal, ratusan kafe yang tersebar di pusat kota maupun di
tepi laut) dan dia mengharapkan aku punya waktu untuk melihat semua itu dengan
mataku sendiri. Dia juga bilang kalau kota ini sudah jauh lebih ramai ketimbang
terakhir kali aku ke sini. Namun, yang kutemukan semua seolah masih sama saja.
Ini masih kota kecil yang sederhana dan tampak baik hati. Bangunan belum
terlalu padat seperti yang sempat terpikir dalam kepalaku. Aku menyukainya. Dari dulu aku memang
menyukainya dan akan tetap seperti itu. Udaranya yang segar. Bau laut yang
samar. Dulu, kupikir aku akan pindah ke sini dan menghabiskan tahun-tahun yang
panjang bersamanya. Dia bukan orang yang menyenangkan. Bicaranya sedikit sekali
kecuali jika kami bicara tentang lukisan. Dia terutama sekali terkagum-kagum
dengan The Potato Eaters karya
Vincent van Gogh. Dia tidak punya selera humor yang baik. Hanya saja dia tulus.
Aku meyakini itu. Bukan kepadaku, melainkan pada segala sesuatu yang
dilakukannya dalam kehidupan ini.
Kami berpisah
pada sore harinya. Aku kembali ke hotel. Dia kembali ke kediamannya. Dia tidak
menawarkan pertemuan berikutnya denganku. Kupikir urusan kami sudah selesai.
Aku akan pergi dari kota ini pagi-pagi sekali. Mungkin aku mengabarinya setelah
sampai di kota tempatku tinggal. Dia barangkali akan sedikit memrotesku. Namun,
kupikir itulah yang terbaik yang bisa kulakukan. Aku tidak mau memperpanjang
semuanya. Jika bertemu lagi dengannya bisa jadi aku akan mengulangi
permintaanku. Dan itu rasanya mulai tak adil. Aku tak mau berbuat melebihi
semua itu.
Akan
tetapi, dia mengirim pesan pada pukul sembilan malam. Aku di lobi hotel,
katanya. Aku tidak segera turun. Aku teringat tahun-tahun panjang yang kami
lalui. Kami tidak pernah pacaran. Dia tidak memintaku dan aku tidak memintanya.
Namun, kami sering berkirim pesan lewat e-mail
dan sebagian dari obrolan-obrolan kami menyangkut masalah pribadi yang tidak
kami bicarakan kepada orang lain. Dia tahu aku mencintainya. Sebab, aku sering
mengatakannya. Dia hanya sedikit membicarakan tentang dirinya. Bukan soal
perasaannya kepadaku, melainkan keluhan-keluhan saat dia kena serangan flu dan
menyebutnya sebagai penderitaan terbesar dalam hidupnya.
Kami
sempat berhenti saling berkirim pesan saat kukatakan kalau aku bertemu dengan
seseorang dan kemungkinan kami akan pacaran. Waktu itu aku memang berkenalan
dengan seorang penyanyi kafe. Aku tidak mencintai lelaki itu, tapi aku menyukai
suaranya. Lelaki itu manggung saat aku bersama teman-temanku nongkrong di sana.
Setelah selesai, lelaki itu menghampiri meja kami yang kebetulan tepat berada
di depan panggung dan mengatakan kalau aku sangat mirip dengan mantan pacarnya
dan entah kenapa aku memberikan nomor ponsel kepadanya saat dia menawarkan
bertukar kontak.
“Apa
dia lelaki yang baik?” itu katanya.
“Aku
tidak tahu,” kataku. Aku memang tidak tahu selain bahwa penyanyi kafe itu
lelaki yang bisa diajak bersenang-senang dan aku bisa mendengarnya menyanyikan
lagu untukku.
Dia
tidak bicara apa-apa lagi atau menanyakan apakah aku benar-benar menerima si
penyanyi kafe itu. Dia menghilang begitu saja. Tidak berkirim pesan kepadaku.
Juga tidak membalas pesanku yang menanyakan kabarnya. Kupikir dia tidak ingin
lagi berbalas pesan dengan perempuan yang sudah punya pacar, maka aku
memutuskan berhenti mengiriminya pertanyaan basa-basi yang membosankan itu.
Aku sibuk dengan penyanyi kafe yang ternyata
memang seseorang yang cukup menyenangkan. Dia memperlihatkan foto-foto mantan
pacarnya yang mirip sekali denganku, terutama bentuk wajah dan bagian mata.
Anehnya, aku tidak pernah cemburu. Aku malah seperti melihat diriku sendiri.
Kadang-kadang aku yang menanyakan tentang perempuan itu dan si penyanyi kafe
menceritakan tentangnya dengan panjang lebar. Hubunganku dengan si penyanyi
kafe itu hanya bertahan dua bulan. Sebab, kami cepat menyadari kalau kami tak
pernah saling jatuh cinta dan hubungan seperti itu lama-lama membosankan.
Secara
tidak sengaja, aku bertemu lelaki lain dalam sebuah festival film. Dia seorang
pekerja kantoran sepertiku. Dia datang ke festival karena diajak temannya yang
memang pecinta film, terutama Italia. Tidak terlalu menarik, memang. Pacaran
dengan sesama pekerja kantoran bukanlah impianku (kecuali dia yang kucintai
itu). Aku butuh seseorang dari dunia yang berbeda, yang lebih bebas, yang
memberiku pengalaman baru. Namun, kupikir, aku juga butuh seseorang untuk
melewati masa patah hati. Benar, aku memang tidak mencintai penyanyi kafe itu. Hanya saja, kehilangan
seseorang—tidak peduli apa aku mencintainya atau tidak—tetap saja meninggalkan
rasa kosong. Dan aku mulai tidak bisa berdamai dengan rasa seperti itu. Aku
tidak tahan berlama-lama dalam kesendirian. Aku tidak tahu kapan persisnya aku
mengalaminya. Tidak mungkin rasanya karena penyanyi kafe itu. Namun, itulah
yang telah terjadi padaku.
Pacar
baruku itu bernama Dihan, tapi dia ingin dipanggil Handi. Entah apa yang salah
dengannya. Aku mencoba memaklumi, termasuk beberapa hal tidak masuk akal
lainnya; kesukaannya pada cerita mistis, kegilaannya memaknai setiap mimpi,
ingatannya tentang masa kecilnya yang pernah tenggelam di laut selama
berhari-hari sampai seseorang menemukannya di tepi pantai dalam keadaan tidak
sadarkan diri.
“Aku
dilindungi roh ibuku,” katanya.
Setelahnya,
dia makin sering menceritakan tentang roh ibunya itu. Menurutnya, roh ibunya
selalu berada di dekatnya. Dia bahkan bisa melihat apa yang sedang dilakukan ibunya
dan kadang-kadang membalas senyuman atau berbicara beberapa kata dengan sesuatu
yang tak bisa kulihat. Kukatakan, kalau aku lebih ingin mendengar cerita
tentang ibunya saat masih hidup. Namun, dia mengatakan tak mengingat apa pun
tentang kehidupan ibunya. Dia makin banyak mengoceh tentang roh-roh. Seolah dia
telah menjadi bagian dari semua itu.
Aku
meninggalkannya. Aku tak bisa bersama orang yang sudah mati. Sepertinya aku
makin terbiasa meninggalkan seseorang. Dan tepat pada saat itu aku kembali menerima
e-mail dari lelaki yang kucintai. Dia
bertanya: apa kabarmu?
Aku
menceritakan tentang kisah cintaku yang telah berakhir, baik dengan si penyanyi
kafe maupun lelaki pemuja roh ibunya. Namun, tidak lupa, aku mengatakan kalau
aku baik-baik saja. Aku tidak mau terkesan membutuhkan bantuannya untuk
melewati saat-saat buruk dalam hidupku.
Kami
kembali saling berbalas surat seperti biasa. Bahkan aku kembali mengatakan
kalau aku mencintainya. Dia tidak membalas perasaanku, tapi menjadi lebih
perhatian. Kadang-kadang dia sengaja menelepon hanya untuk memastikan kalau aku
tidak lupa makan siang. Aku kembali banyak berbagi cerita dengannya.
Hari-hariku yang menyenangkan. Hari-hariku yang membosankan. Dia sesekali
menceritakan tentang teman kantornya yang menyebalkan.
“Kau
terlalu baik,” kataku. “Makanya temanmu berbuat seenaknya.”
“Tidak
juga,” katanya.
“Kau
harus membalasnya,” kataku. “Apa kau bisa melakukan sesuatu yang sedikit
jahat?”
Dia
tertawa. “Tidak mungkin,” katanya.
“Payah,”
kataku. “Itu karena kau terlalu baik. Tolong, jangan menjadi manusia terlalu
baik. Itu membuatku takut.”
“Tidak
juga. Aku kadang bisa jahat.”
Kami
berdua tertawa.
“Kau
betul-betul tak bisa mencintaiku ya?” tanyaku. “Kau ‘kan orang yang terlalu
baik. Seharusnya kau membalas perasaanku.”
“Tidak
tahu,” katanya.
“Kenapa
tidak tahu?”
“Ya,
mungkin tidak bisa.”
Aku terdiam. Aku
sudah biasa mendengar kalimat penolakan darinya. Tapi kali itu rasanya berbeda,
aku merasa sedikit terluka.
“Sudah ya,”
katanya.
Dia mematikan telepon.
Sering kali begitu. Dia tiba-tiba mematikan telepon jika aku membuatnya tidak
nyaman. Namun, sehari atau dua hari kami
kembali berbalas surat. Kembali sering saling menelepon. Menanyakan kabar dan
mengingatkan ini dan itu. Sampai aku bertemu dengan seseorang lagi dan dia
bertanya, apa dia lelaki yang baik? Pada saat itulah aku memutuskan untuk
benar-benar pergi dari kehidupannya. Aku mengirim surat panjang dan
mengakhirinya dengan kalimat: jangan hubungi aku lagi.
Lima tahun sudah
berlalu. Sudah banyak yang terjadi pada kami. Aku sudah berkali-kali ganti
pacar. Begitu juga dia, kukira. Dia mungkin menyukai salah satu dari kenalannya
atau gadis di dekat tempat tinggalnya atau di mana pun itu. Dia memang tidak
mengatakannya kepadaku, tapi aku tahu beberapa alasan kenapa lelaki tak bisa
menerima perasaan seorang perempuan. Karena itu pula aku meninggalkannya. Aku
memberinya kesempatan bersama orang yang benar-benar dia sukai. Namun, kini,
waktu seolah kembali melemparkanku ke titik awal begitu aku menerima e-mail itu dan sekarang aku kebingungan
sekali apakah akan menemuinya di lobi hotel atau pura-pura sudah tidur dan
besok pagi aku bisa mengirim permintaan maaf.
Aku memilih turun
ke lobi hotel. Aku tidak tahu apa itu keputusan paling tepat.
“Aku tidak akan
menikah dengannya,” katanya seakan kata-kata itu sudah membebaninya selama
berjam-jam dan dia ingin segera melepaskannya.
“Kau tidak akan
menyesalinya, kan?” kataku khawatir.
“Ayo, kita
menikah,” katanya.
Aku tidak tahu
apa yang benar-benar kuinginkan. Aku mencintainya. Aku akan terus mencintainya.
Entah berapa tahun lagi. Sekarang usianya 37 dan aku 35 dan seharusnya ini
belum terlalu terlambat jika aku benar-benar ingin menghabiskan tahun-tahun
bersamanya di kota ini. Namun, aku ingat seseorang telah berjanji akan
menungguku di bandara yang sama saat dia mengantarku tadi pagi dan aku belum
berencana mencampakkannya.
- ·
Yetti
A.KA, tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat. Salah satu kumcernya berjudul Tentang
Kita dan Laut.