Hidup Kok Taksi-Taksi Amat

 


Oleh M. Yus Yunus

Dahulu begitu elegan, sekarang hampir hilang.
Dahulu lebih privasi, sekarang sudah mulai main buka-bukaan soal ekonomi.

Zaman semakin berubah seiring kebutuhan manusia yang selalu bertambah. Tidak terlepas dengan jasa transportasi masal yang terus berevolusi menjawab kebutuhan dari generasi ke generasi.

Tentunya telah sama-sama kita tahu, Jabodetabek sekrang terlihat lebih hijau. Bukan karena keberhasilan penghijauan, tetapi karena memang ulah Si Mas Nadim sebelum jadi bapak menteri pendidikan.

Di era masa Orde Baru hingga munculnya Reformasi sebelum tahun 2000an, para pengemudi Taksi mangkal atau Taksi panggilan hanya menggunakan daya insting dan nalarnya saat mencari lokasi tujuan.

Keahlian menghafal jalan raya dan intuisi mereka untuk menganalisa situasi kemacetan yang kemungkinan bakal terjadi adalah sebuah anugerah yang didapatkan bukan dengan cara gampang. Perlu adanya jam terbang yang super tinggi dan keberanian untuk bertualang. Secara kontan menjadi sebuah keharusan dalam lowongan pekerjaan jasa supir angkutan.

Pada era 2000an hingga tahun 2005an jasa angkutan ini menjadi salah satu yang paling dianggap elegan oleh kaum kalangan menengah ke atas. Selain dilengkapi AC yang super sejuk dan dingin, kendaraan ini juga cocok untuk para pekerja kantoran dengan alasan kenyamanan.

Namun pelan-pelan pilihan warga kota mulai beralih menuju alat transportasi masal lainnya yang tidak kalah nyaman, meskipun harus berdesakan. Sebut saja Transjakarta yang sudah genap berusia 17 tahun. Ada banyak sekali cara dan monopoli jasa angkutan masal yang baru saja menginjak usia remaja ini.

Jika berbicara soal privasi atau gengsi seolah-olah selera kaum metropolis kini menurun dengan adanya kendaraan ini. Yang semula satu angkutan digunakan untuk satu orang sewa, kini satu kendaraan umum digunakan melebih dari sepuluh orang sewa.

Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kendaraan angkutan umum lainnya seperti Metro Mini atau Kopaja, ketiganya sama-sama menampung jumlah penumpang lebih dari lima, bahkan sepuluh untuk Metro Mini dan Kopaja. Padahal jika berbicara soal kelas, angkutan umum seperti Taksi jauh lebih berkelas dan lebih privasi, katanya.

Jawaban dari semua persepsi kemodernan, kenyamanan, dan privasi adalah sebuah kebutuhan yang relevan dengan kecukupan isi dompet. Perkembangan zaman menuntut jasa angkutan umum yang lebih efesien, dan ekonomis telah terjawab dengan munculnya Transjakarta.

Bayangkan saja berapa waktu yang harus ditempuh oleh pengguna Metro dan Kopaja untuk mendapatkan kedua kendaraan itu. Belum lagi mereka suka berhenti seenaknya dan mengulur waktu keberangkatan demi mendapatkan penumpang lebih banyak.

Pada dasarnya baik Metro atau Kopaja adalah sebuah kendaraan yang mewajibkan sopirnya untuk mendayagunakan intuisi saat mengarungi derasnya hilir mudik kota. Mereka juga memiliki kemampuan yang diperoleh sopir taksi, namun tidak seelegan sopir Taksi yang tidak hanya menyetir tetapi juga harus punya ketrampilan lain dalam hal pelayanan. Tentu saja baik sopir Metro maupun Kopaja tidak memiliki ketrampilan ini, kemampuan lain di berikan kepada kenek untuk berteriak memanggil penumpang tanpa mengedepankan ramah-tamah.

Sebagai seorang sopir Taksi, keramahan merupakan kail yang siap memancing ikan di sebuah danau perkotaan. Kail itu akan dengan mudah menjerat mangsanya, dan menambah pemasukan dikemudian hari. Sebab dengan kemampuan itu, tidak jarang sopir Taksi menerima pesanan langsung dari pelanggannya melalui telepon. Tidak jarang pula para pelanggan yang merasa cocok bersedia untuk menyewa jasanya berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mengantar kemana saja.

Munculnya Transjakarta berarti adanya gagasan bahwa ketrampilan yang dimiliki oleh seorang sopir Taksi tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan warga kota. Yang jelas sebenarnya warga kota tidak elegan-elegan amat, mereka juga kaum urban yang suka kepepet dan tidak jarang terserang penyakit migren dadakan kalau tagihan sewa kos, atau cicilan Iphone-nya sudah diujung tanduk.

Untuk dapat mencukupi kebutuhan, membayar kamar kos tepat waku, dan agar selalu dapat berselancar di dalam swapstories melalui smartphone mereka dengan biaya paket seluler yang sudah dikondisikan, Transjakarta adalah satu cara membuat pengeluaran mereka seefisien mungkin. Tentunya karena biaya yang murah dan AC yang dingin.

Seperti itulah kiranya keadaan warga kota yang sedemikian rupa mengolah pengeluaran menjadi sesuatu yang membahagiakan. Semakin efisien dan ekonomis, maka akan semakin menguntungkan.

Padahal tidak untung-untung amat selagi tagihan Iphone-nya belum selesai. Asalkan kehidupan dunia maya mereka masih dapat berjalan. Mencirikan bahwa warga kota adalah mahluk individualis yang tidak suka menyapa satu sama lain.

Secara kontan pula menunjukkan bahwa privasi yang dibangun oleh jasa angkutan umum seperti Taksi, tidak cocok dengan keadaan warga kota saat ini yang tidak hanya suka berhemat untuk kepuasan lebih, mereka juga pandai memposting sesuatu agar terlihat tetap keren pada media maya.

Angkutan Taksi barangkali tengah diujung ajal. Perlahan namun pasti, bukannya memperbaiki posisi karena banyaknya persaing malah menuju deretan panjang bangkus kosong. Kemunculan jasa Ojek Online membuat mereka kembali kesulitan mencari rezeki.

Pasalnya selain Ojol mudah untuk dipesan, Ia pun tergolong kendaraan yang memiliki efisiensi dalam hal waktu dan sekaligus ekonomis. Maraknya promo spektakuler yang ditawarkan oleh jasa Ojol membuat kecemburuan tersendiri di kalangan para sopir Taksi.

Selain memberikan pelayanan yang cepat dan ramah, Ojol tidak perlu menguasai jalan raya dengan sederet jam terbang seperti sopir Taksi. Ojol hanya membutuhkan smarphone untuk memandu perjalanan tanpa perlu banyak tanya kepada warga yang kongko di bahu jalan. Apalagi kemunculan car online juga menambak deretan panjang pesaing jalanan. Kalau sudah begini bukan hanya sopir Taksi saja yang mendapatkan kekalahan, Metro dan Kopaja pun bakalan ikut-ikutan cemburu melihat kemampuan teknologi mereka dalam menggaet penumpang.

Mau tidak mau, suka tidak suka, baik Metro, Kopaja, dan Taksi perlahan namun pasti akan menyusul saudara tuanya. Ia akan berdiri kokoh di sebelah Bemo, dan Oplet. Tetapi hal itu tidak akan terjadi, jika Taksi meberlakukan hal yang sama seperti Gojek atau Grab itu. Kalau memang harus bersaing dengan teknologi ya maka bersaing saja. Masa lalu, dan kejayaan Taksi yang lebih elegan dan privasi sebenarnya masih bisa menjaring kelas-kelas atas. Eh, ngomong-ngomong bagaimana dengan keadaan Bajaj ya? Apakah juga memiliki unek-unek yang sama, tentu saja iya. Tapi saya sudah tidak tega untuk membahasnya.

M. Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus atau M. Yus Yunus
Redaktur Website adakreatif.id 
Penulis Esai Ada Tea, Terminallogi
Lebih baru Lebih lama