Integritas

 

Taufiq Wr. Hidayat


Dalam "Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma", Idrus agaknya tak terlalu menaruh hormat pada sosok yang disebut pahlawan. Dalam sastranya yang mashur, ia mengisahkan para pahlawan yang konyol, congkak, dan arogan. Idrus, sastrawan agung Indonesia itu, melihat sejarah apa adanya. Bukan pemujaan gombal yang melumpuhkan kesadaran kemanusiaan. Bukan ksatria kesiangan sebagaimana Don Quixote dalam Carventes.

Agaknya ia mengajak mencintai negeri ini dengan sikap wajar sebagai manusia, dengan segenap bakti yang jujur dan tulus bagi kehidupan.

Bukan hanya Idrus mencemooh pahlawan dalam sastranya. Dalam “Godlob”-nya, Danarto pun mengolok, bahwa perang dan politiklah yang harus---atau merasa wajib, menciptakan pahlawan yang gugur sebagai bunga bangsa. Agar kemerdekaan dapat diraih dan diwujudkan dengan gagah berani. Perang diselesaikan. Kekuasaan di atas darah dan penderitaan ditegakkan. Lalu kita memberinya nama negara. 

Kita memerlukan manusia, barangkali terserah ia bernama pahlawan atau bakul tempe. Kehebatannya terletak pada sikap dan perilakunya sebagai manusia yang kokoh dan berintegritas dalam kehidupan sehari-hari. Bukan pada nama dan posisinya.

Nama-nama pahlawan dimunculkan---meminjam istilah Bertolt Brecht, sang Marxis yang menyebut dramanya "Intrument der Aufklärung"---supaya terbangun kesadaran terhadap kehidupan. Terhadap realitas setempat. Semakin banyak pahlawan diangkat oleh kekuasaan, semakin rendah sesungguhnya kesadaran suatu bangsa. Orang memuja-muja sang pahlawan dengan romantisme yang terkesan gombal. Seraya melupakan realitas setempat "yang tak berdaya". Yang hal itu justru menjadi ironi. Orang mabuk bagai kena pengaruh alkohol. Mengharu biru. Sembari mengenang kemalangan hidup yang sukar dientaskan.

Manusia baik? Agaknya tak ada! Yang ada ialah yang menetapkan diri dalam kebaikan atau berupaya untuk itu. Tak ada pahlawan, pikir Kubrick, sang sutradara horor perfeksionis. Yang ada cuma manusia yang mempertahankan hidup, harta, dan orang-orangnya sekuat tenaga. Atau mengalami dehumanisasi karena rutinitas dan kesepian.

Dalam “The Shinning” yang mashur, tampaknya Stanley Kubrick tak percaya pada kepahlawanan. Ia memercayai yang tercampak dalam ironi. Manusia yang menganggap nilai-nilai tidak penting bukan karena ia tak "memakai" nilai, melainkan ia "si jagoan nilai" itu sendiri. 

Manusia ingin dihibur dan menghibur. Ia menyimpan kepedihan dan kesunyian diam-diam. Orang yang berbahagia, tak merampas kebahagiaan sesamanya, tak menari-nari di atas luka orang lain seperti sering didendangkan lagu dangdut. Ia hanya memerlukan nyali, sedikit keberuntungan, dan harapan. Ia pun kokoh. 

Maka kita membutuhkan integritas. Bukan sekadar pahlawan. Integritas itu melahirkan pahlawan-pahlawan sejati dalam tiap denyut hidup tanpa perlu diumum-umumkan.

Di dalam sebuah novel, dikisahkan perihal kehidupan Pablo Neruda, penyair Chile yang diasingkan di tepi pantai terpencil. Ia berbaur dengan orang-orang buta huruf. Betapa tersiksa seorang penulis yang hidup di tengah masyarakat tidak membaca.

Tetapi tidak demikian halnya yang dialami Neruda dalam novel Antonio Skarmeta itu. Orang-orang tersisih yang buta huruf menyayangi Neruda. Buku-buku puisinya dimiliki atau dibeli banyak orang yang buta huruf itu, tentu saja tidak dibaca. Melainkan dipajang di almari rumah mereka sebagai bukti kebanggaan dan rasa hormat mereka terhadap penyair yang konsisten membela kepentingan kaum tertindas itu meski harus menerima resiko politik yang sial.

Di pulau terpencil itu, Neruda menulis dan membaca. Ia menerima atau berkirim surat setiap pekan. Ia berkawan karib dengan seorang pemuda pengantar surat. Mario Jimenez namanya. Pemuda yang ingin hidup berharga. Neruda menggembleng Jimenez untuk mendapatkan perempuan pujaannya denga bahasa. Ia berhasil menaklukkan perempuan pujaannya itu. Itulah keberhasilan, lantaran Jimenez menjatuhkan hati sang pujaan selezat Jessica Alba atau Salma Hayek itu tidak dengan puisi Neruda. Neruda tertawa.

Dalam keserbasulitan dan rasa geram terhadap dunia, dalam perjalanan hidup sehari-hari, ada yang harus terus ada. Itulah apa yang disebut oleh Antonio Skarmeta sebagai "burning patience", yakni "kesabaran yang membakar/menyala". Ia membakar bukan untuk menghancurkan. Tetapi memberikan kehangatan untuk tetap bertahan, berjalan, dan tak pernah merasa kesepian. Novel Skarmeta itu kemudian dikenal dengan jejuluk "Il Postino".

Sesungguhnya yang langka dari seseorang adalah integritas. Yang bermakna keteguhan dan konsistensinya dalam kehidupan atau pilihan hidup yang dijalaninya. Kesetiaan, ujar penyair. Kejujuran dan istikomah, ujar teks-teks agama.

Betapa banyak orang hebat, hebat harta atau hebat pengetahuan dan status sosialnya. Tapi tak banyak yang memiliki integritas. Ia hidup untuk dirinya sendiri, mengingkari janji, mengkhianati komitmen. 

Kita tidak harus menyesalinya. Toh ukuran-ukuran kemanusiaan tak akan musnah di dunia ini meski dunia mengingkarinya. Bangunan dapat hancur. Ingatan tidak mungkin runtuh bersama bangunan dan benda-benda yang dibuat oleh sejarah.

Kenapa seseorang dikagumi? Bagi saya, lantaran ia punya integritas. Memiliki pengertian-pengertian kemanusiaan yang tidak belaka pengertian-pengertian. Namun menjadi sikap hidup yang konsisten. Saya rasa, seorang pendosa atau seorang yang tak pernah dikenal dunia, yang sepenuh hati konsisten menghidupi pilihan hidupnya, jauh lebih berharga daripada seorang tokoh politik, orang kaya, atau tokoh agama yang pembohong dan "memperdagangkan" nilai-nilai yang semestinya ia emban dan laksanakan dengan kesetiaan.

Kesabaran yang menyala-nyala atau yang membakar itu, membentuk kesetiaan yang kokoh dalam segala hantaman kemungkinan. Kesabaran pun menyala bersama apa yang diperjuangkan, menikmati lezatnya pilihan hidup dengan kesetiaan dalam segala keadaan.

Tembokrejo, 19-2023

Lebih baru Lebih lama