Kesetiaan Itu

 

Oleh Taufiq Wr. Hidayat

Harapan membedakan manusia dengan ayam. Ayam tak pernah berharap anak-anaknya kelak kalau sudah dewasa, jadi seekor singa. Tetapi manusia punya harapan, anaknya jadi anak pintar atau sehebat artis India. Sesuatu yang sesungguhnya tiada atau belum ada. Tetapi harapan membawa pada keyakinan akan pasti adanya yang tiada atau yang belum ada itu.

Dalam sebuah kisah pada kitab kuno, dikisahkan Puntadewa yang telah tiba di pintu surga. Dewa Narada penuh suka cita menyambutnya.

"Selamat datang, anakku, Puntadewa," sambut Dewa Narada bahagia.

Puntadewa menghatur sembah. Dewa Narada merasa ada yang ganjil. Dewa Narada heran, Puntadewa tiba di pintu surga bersama seekor anjing.

"Tunggu, anakku! Engkau berhak atas surga. Tapi maaf, surga tidak untuk seekor anjing. Surga ini suci. Tidak boleh dimasuki anjing. Dilarang membawa anjing ke dalam surga! Tinggalkanlah anjingmu!" tutur Dewa Narada.

Puntadewa terperanjat. Ia belum tahu peraturan surga, yang tidak boleh dimasuki anjing. Dengan wajah surgawi yang agung berseri-seri, Puntadewa kembali menghatur sembah sepenuh kerendahan hati.

"Ampun, Dewa Narada yang agung. Lebih baik hamba tak masuk surga, jika harus meninggalkan anjing hamba di luar surga. Hamba tak mungkin mengkhianati anjing hamba cuma demi surga. Anjing ini tak pernah meninggalkan hamba dalam suka dan duka meski dalam marabahaya. Anjing ini bersedia mati demi tetap mendampingi hamba, di dalam kesempitan dan kelapangan. Ia telah berkorban jiwa-raga buat hamba, sehingga mustahil bagi hamba meninggalkannya cuma demi surga," ujar Puntadewa.

Dewa Narada tak sanggup menjawab. Ia terdiam lama, bergulat dahsyat dengan keagungannya sendiri. Datanglah Dewa Dharma, Ia memeluk Puntadewa.

"Engkau telah melewati suatu ujian dahsyat, anakku, Puntadewa. Suatu ujian sangat berat, ujian yang banyak menjatuhkan orang-orang agung, bahkan ujian yang seringkali menjerumuskan bajingan atau orang suci dalam nasib buruk yang hina. Itulah ujian kesetiaan. Engkau telah mendarah-dagingkan dan merohanikan kesetiaan, yakni kesetiaan yang kau peroleh dari keberhikmatanmu pada seekor anjing. Itu telah membuatmu mendapatkan anugerah nilai yang sesungguhnya lebih agung dan lebih suci dari surga itu sendiri," kata Dewa Dharma memberi berkah.

Walau tiba lebih awal di pintu surga, Puntadewa masuk surga paling akhir lantaran tertahan di pintu masuk karena anjingnya. Dalam surga, Puntadewa bertemu saudara-saudaranya, Para Dewa, dan Sang Permaisuri. Semua tersipu malu terutama Sang Permaisuri, terhadap kesetiaan Puntadewa, sikap agung yang nilai dan kelezatannya melampaui surga.

Kesetiaan itu barangkali bagi Puntadewa dan anjingnya, mencerminkan pribadi yang tidak “plintat-plintut” kata orang Jawa. Yang tak bertentangan antara kata dan perbuatan, antara janji dan kenyataan, dan tak mematahkan harapan. Kesetiaan sosial yang luntur, berakibat pada kesenjangan yang tiada habisnya. Pengkhianatan nilai dan hukum memorak-porandakan sebuah bangsa. Orang tak dapat belajar pada kesetiaan seekor anjing. Melainkan justru menjadi anjing, yang hanya berkaing-kaing, menjilat-jilat, dan memakan tulang belulang.

Manusia pun menghadapi dirinya sendiri, yang hal itu ditandai dengan dunia dan orang-orang dekatnya. Kesetiaan adalah nilai kemanusiaan yang dalam hidup merupakan upaya pada manfaat sejati, yakni arti dirinya bagi yang lain. Yang menyelamatkannya dari absurditas, ketakbermaknaan sebagaimana Sisifus dalam Camus.

Lantaran manusia tak belaka di dalam dunia. Tetapi Ia dunia itu sendiri.

Dalam "The Visible and The Invisible" yang mashur, Merleau Ponty melihat ketumpangtindihan antara persepsi, tubuh, dunia. Persepsi senantiasa berdasar tubuh di tengah sebuah wilayah atau keadaan (dunia). Pada mulanya, Ia menyebut itu "phenomenology of perception". Manusia mempunyai sebentuk pengalaman perseptualistik lewat tubuhnya, ada spontanitas atau ketaksengajaan persinggungan di tengah aktivitas bersentuhan dengan dunia. Realitas dengan realitas. Pada sisi ini, sebenarnya manusia (persepsi dan tubuh) adalah dunia itu sendiri. Sebab tubuh adalah daging (organ) yang tak punya kesadaran. Namun tubuh itu, ialah landasan dari persepsi-persepsi.

Dalam sebuah cerita “ar-Rojul al-Wahid”, Naguib Mahfouz mengisahkan seorang laki-laki yang membuat iblis tak dapat mengganggunya.

Sahdan tersebutlah seorang laki-laki yang berprofesi sebagai hakim. Ia hakim yang jujur. Segala putusan Ia pertimbangkan dengan benar, memegang teguh keadilan, dan menegakkan sikap yang bersih. Kesucian sang hakim, membuat Iblis tertantang untuk menjatuhkannya.

Maka datanglah Iblis.

Mula-mula Iblis meneliti keseharian Sang Hakim. Sebagai manusia biasa, Sang Hakim memiliki anak dan istri. Hidupnya sederhana. Tidak boros. Itu ditetapkan Sang Hakim sebagai aturan yang harus dipatuhi oleh keluarganya. Tetapi di situ Iblis melihat keganjilan. Kepatuhan anak dan istri Sang Hakim pada kesederhanaan hidup, kejujuran, dan keadilan dengan hidup tidak boros, diam-diam menyimpan yang lain, yakni keterpaksaan.

Sang istri menjalani hidup sederhana sebagaimana yang dicintai suaminya, dengan jengkel. Begitu pula anak-anaknya. Mereka jengkel mengikuti kehidupan yang bersahaja seperti yang selalu disyukuri oleh bapaknya, seorang hakim agung dengan kejujuran dan kesucian. Rumahnya sederhana. Bukan rumah megah.

Agaknya gambaran hakim-hakim jujur dalam cerita Naguib Mahfouz, ialah hakim-hakim miskin dan tak berdaya menghadapi kebutuhan-kebutuhan hidup keluarganya, bingung menjawab desakan-desakan angsuran hutang tiap minggu atau bulan. Sehingga jika hakim itu kaya, seolah dilihat oleh Mahfouz sebagai hakim yang tidak jujur.

Tapi itu pandangan dunia yang Ia kritik dalam sastra Arab-nya yang mashur itu. Pandangan dunia atau pandangan publik terhadap hakim: jujur berarti melarat. Busuk dan bersedia “menjual keadilan”, maka kaya.

Melihat kenyataan keluarga Sang Hakim yang jujur tersebut, Iblis yang mulanya bersemangat menjatuhkan Sang Hakim dalam kehinaan, mundur. Iblis sengaja membiarkan Sang Hakim disiksa oleh segala kebutuhan hidupnya sehari-hari, dipusingkan cicilan-cicilan hutangnya, digoda anak-anaknya yang mendendam kemegahan, dan istrinya yang terus menerus menyimpan kejengkelan dan pengkhianatan terhadap kesucian suaminya.

Agaknya Mahfouz hendak mengisyaratkan, dibandingkan semua godaan orang-orang dekat Sang Hakim, yakni istri, anak-anak, serta kebutuhan-kebutuhan hidup yang mendesak tiap saat, juga cicilan-cicilan hutang yang entah kapan akan lunas, kehebatan Iblis yang telah berpengalaman berabad-abad menjerumuskan manusia jadi tak ada apa-apanya.

Tembokrejo, 21-2023

Lebih baru Lebih lama