Oleh Jufri Zaituna
BLUTO, 11 MARET
kutemukan
senyuman
bertaut ucap kata sayang
bertahan walau
terpaan badai
angin ribut robohkan tebing jalan
sawo matang jatuh dari tangkai
pekat Jumat manis mencair
kurenungkan
hari esok
lahir pendar cahaya terang
menyulam alam
impian
dari bibir
tipis yang kau gigit
melipat hati untuk terbang
menggapai titik
hujan jatuh perlahan
pada celah rimbun pepohonan
jalan setapak
menggaris waktu
membayangkan bulan jatuh di
pundak
bersandar pada
dinding malam
agar mimpi indah terus terulang
pandangan sulit
dipertemukan
alamat hati tersembunyi
dalam angka
kalender Masehi
kecamuk dada penguasa hati
percakapan men enggelamkan
sunyi
engkau ada di sampingku
walau raga terpisah jauh
kupegang
bayangan semu
seolah wajah berseri-seri
mengingat
tempias gerimis
membasuh lembut dingin pipi
2022
KOSONG
kulakukan segala yang bisa
agar ketidakmampuan
bertanya
kupikirkan segala yang buta
supaya yang
terlihat seperti tak ada
kurenungkan segala yang tiada
biar adamu
sempurna
kosong dalam
kosong
dalam kosong kutemukan kedalaman
kosong dan
kosong
dan kosong menyambung perpisahan
kosong segala
kosong
segala yang kosong hanya dirimu
kosong dengan
kosong
dengan kosong kesendirian menyapa
kosong sudah
kosong
sudah kosong belum tentu tiada
kemarin sudah tidak mungkin
esok lusa
kupasrahkan
pada hari ini penuh kosong
aku tenggelam dalam kosong
agar terisi
penuh dengan kosong
meluap-luap sampai cangkir retak
tak kuat
menampung kosong
kosong mengubur kosong
saat kukosongkan diri.
2022
JALAN
Kita percaya untuk terus melangkah
Tak putus-putus
membaca takdir
Walau mata tertutup selembar kain
Menerka-nerka segala kemungkinan
Sampai tak ada celah cahaya menerawang
Hati terus memandang angan
Memutar tubuh
sampai dunia bergoyang
Melintasi dua beringin kurung
Mengingat sejarah yang tak habisnya
Hadirkan getar getir ketakutan
Keraguan membayang
Pada kaki sempoyongan
Ubun-ubun sedingin embun
Pada sehelai rerumputan
Meraba-raba
keagungan
Menyemai berjuta harap
Walau senyum
terseok-seok,
Hantu-hantu keindahan tampak
Menghantui
semua yang kelak lenyap
Ditelan mulut-mulut maut
Sebab keindahan
tak selamanya
Kita namai jalan pulang
Untuk segera
sampai di ujung pembebasan
Walau deru kebencian masih tersimpan
Dalam relung paling kelam
2022
PAJAK
Orang bijak mengarang
sajak
Sajak tidak bisa dikalkulasi
Anggaran
membengkak sana-sini
Seberapa jauh kata-kata berpijak
Pada sajak yang
tak akan
taat pajak
Mengapa sajak harus kena pajak?
Makna seakan
terinjak-injak
Sajak hanya taat pada hati nurani
Tidak pada
tirani
Pemerintah tak memberikan apa-apa
Pada penyair
yang terus bergolak
Mungkin hanya marah dan putus asa
Kesejahteraan
omong kosong belaka
Sajak tak berpihak pada siapa-siapa
Mungkin hanya
penjilat pantat kursi
Lupa bila di meja ada sajak membara
Menyulut dasi menjulur lidah berbisa
2022
BENDERA
Kukibarkan bendera kecilku
Dengan tangan
berlumur debu
Seusai pulang
sekolah
Kutanyakan pada ibu:
“Bu, Indonesia
sudah merdeka?
Di luar orang-orang menyanyikan
Lagu
kebangsaan.”
“Sekarang kamu
boleh mengatakan
merdeka, tapi
jangan lebih
Dari satu kali.
Baru sudah pintar,
menyejahterakan
keluarga,
Boleh kamu
minta bendera
yang lebih
besar dari pada
yang ada di
tangan,”
jawab
ibu,
sambil menjahit
bendera
dari sisa
seragam sekolahku.
Lalu air mataku jatuh di pangkuannya
Kubasuh telapak kaki ibu
Untuk kuminum
sebagai bekal
Dahaga semangatku.
2022
BRAGUNG, 15 JULI
Lahir penuh
kudis
Ketiak lengket nanah panas
Pantat luka
sampai pangkal paha
Dikerubungi perih tak terkira
Nama baru
disematkan
Agar penyakit lenyap dari badan
Gendongan basah
air mata
Pantat tertusuk duri jeruk juga
Bapak memberi
jam tangan
Waktu
mendorongku dewasa
Sajadah merah terhampar
Aku berdiri
untuk menghadap Tuhan
Ibu menjemur
gerabah di halaman
Tangis pecah di emperan
Adik perempuan
kularang
Melihat dangdutan menjelang malam
Bisik kusut
tetangga
Seperti mulut busuk comberan
Tersangkut
bangkai fitnah dusta
Mengundang benalu saja
Anak pertama
punggung keluarga
Kucari jalan menemukan bahagia
Walau sering
terimpit batu
Kuikati erat perut dengan buku
Agar pikiran
merangkum pilu
Menajamkan hati untuk bertemu
Getir menunggu
kepastian datang
Membawa kabar bahagia
Bila gerak tak
seiring doa
Karena nasib setiap orang beda
Walau orang
sering kali mengerdilkan
Cita-cita agung di bukit kiasan
2022
Tentang Penulis
Jufri Zaituna,
lahir di Bragung, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura pada 15 Juli 1987. Buku
pertamanya yang telah terbit berjudul Dalam Bingkai Dunia oleh penerbit Ganding
Pustaka tahun 2022.