Oleh Mahwi Air Tawar
Dalam berbagai literatur, memuliakan tamu memiliki makna dan tempat istimewa bagi si penerima. Dalam Islam, Mmisalnya, menyambut dan menerima tamu dengan baik merupakan cerminan dari keimanan seseorang. Dengan bertamu dan menyambut tamu, maka secara tidak langsung terjalin silaturahmi.
Intinya, ketika bertamu atau sebaliknya sejatinya kita sedang diingatkan bahwa kita sebagai "manusia utusan" yang keberadaannya tidak bisa dapat hidup seorang diri, juga sebagai "makhluk sosial" mesti berinteraksi antara yang satu dengan yang lain.
Tamu tidak hanya sekadar memiliki arti sebagaimana termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni, orang yang datang berkunjung (melawat dan sebagainya) ke tempat orang lain atau ke perjamuan. Lebih luas, seorang tamu adalah ia yang sengaja bertandang untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang kedatangannya dapat membawa dampak positif, juga negatif.
Sebetulnya, seorang tamu adalah "seorang utusan" dan tuan rumah adalah "manusia pilihan". Mungkin, pilihan kata "seorang utusan" berlebihan. Saya rasa dalam konteks saat ini, sesuatu yang berlebihan terkadang lebih seksi dan banyak digandrungi, bahkan seorang pejabat dengan sengaja seorang pejabat orang melakukannya, misalnyaseperti, "berlebihan" saat memutuskan suatu perkara, "berlebihan" saat ingin berkuasa, dan "berlebihan" saat dalam bermain proyek anggaran. Maka, penggunaan idiom "seorang utusan" saya rasa bisa dapat dimaklumi.
"Seorang utusan" dalam konteks tulisan ini adalah merujuk pada ia yang datang, baik sebagai utusan oleh dan atau digerakkan hati yang tulus hati yang, kedatangannya semata-mata hendakdengan niat bersilaturrahmi, atau kedatangannya dengan didasari kepentingan-kepentingan lain, dalam rangka inginseperti mendapatkan simpati dan tambahan suara dalam pemilihan presiden 2024, misalnya.
Sedangkan Sementara itu, idiom "manusia pilihan" tidak lebih dan tidak kurang, karena sejatinya, setiap manusia memiliki keistimewaannya-keistimewaan tersendiri. Artinya, dalam konteks ini, seseorang tidak mungkin datang (bertamu) jika orang yang didatangi tersebut tidak memiliki kapasitas, kemampuan, dan mungkin juga relasi, maka kecil kemungkinan kecil seseorang atau bahkan keluarga bertamu jika apabila yang akan didatangi tidak memiliki salah satu dari tiga hal sebagaimana disebutkan di atas.
Tidak sedikit di antara kita datang bahkan dengan segala penghormatan yang lebih ketika sedang membutuhkan sesuatu dan akan segera berlalu begitu saja ketika apa yang kita dibutuhkan terwujud. Kemudian, menganggap orang yang kita datangi sebagai angin lalu. Tentu saja hal demikian boleh, sah, dan tidak dilarang. Hanya saja, hal demikian tersebut terlampau receh untuk kita terapkan dalam kehidupan yang penuh makna.
Terkait dengan keistimewaan tamu, dalam salah satu puisinya, penyair Jalaluddin Rumi, dalam puisinya menulis kan sebagai berikutbegini:
Manusia ibarat suatu persanggrahan. Setiap pagi selalu saja ada tamu yang datang: kegembiraan, kesedihan, atau pun keburukan; lalu kesadaran sesaat datang sebagai seorang tamu yang tak diduga. Sambut dan hibur mereka semua, sekali pun mereka semua hanya membawa dukacita. Sambut dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua dengan kasar menyapu dan mengosongkan isi rumahmu. Perlakukan setiap tamu dengan hormat, sebab mereka semua mungkin adalah para utusan Tuhan yang akan mengisi rumahmu dengan beberapa kesenangan baru. Jika kau bertemu dengan pikiran yang gelap atau kedengkian atau beberapa prasangka yang memalukan, maka tertawalah bersama mereka dan undanglah mereka semua ke dalam rumahmu. Berterimakasihlah untuk setiap tamu yang datang ke rumahmu, sebab mereka telah dikirim oleh-Nya sebagai pemandu.
(Penyunting: Elis Susilawati)
Mahwi Air Tawar Redaktur Kelas Menulis Penulis Buku Kumpulan Puisi Mata Blater |