Oleh Mahwi Air Tawar
Di ujung tahun 2019 hampir semua orang di dunia dihantui rasa was-was dan takut. Rasa was-was dan takut itu dirasakan oleh hampir semua kalangan, tak terkecuali oleh orang-orang yang secara ekonomi mapan yang, sekilas, seakan pikiran dan batinnya tidak akan goyah oleh situasi apapun, termasuk oleh guncangan peristiwa yang datang di penghujung tahun 2019, pandemi.
Dari peristiwa yang kemudian populer dengan istilah Covid 19 itulah, hampir semua orang larut dan tenggelam di lautan doa, di deras arus harapan, dan keputusasaan. Kemudian merelakan pikirannya dipaksa pasrah saat gelombang pandemi pasang, dan menjadikan dirinya larut di kedalaman lautan maut.
Sungguh, tidak ada yang menjamin bahwa kita benar-benar aman. Hampir setiap manusia berada di pusaran ancaman antara kebangkrutan dan kematian. Namun demikian, di saat bersamaan, saya menyaksikan api semangat dinyalakan oleh pekerja-pekerja harian, oleh kuli-kuli di sepanjang jembatan layang Gaplek, Jalan Ciputat-Parung. Mereka, para kuli jalanan itu tertawa di bawah terik matahari, meski, dalam hatinya, barangkali berharap perih; "semoga nasib segera membaik." Saya pun pergi ke pusat-pusat toko grosir sembako, di mana, penjual eceran berjubel di dalamnya, tidak peduli anjuran pemerintah, "jaga jarak, cegah covid 19". Jarang saya ketahui, sirine-sirine mobil ambulan berhenti di depan toko-toko kelontong, di dekat-dekat jembatan Gaplek, yang sedang dibangun, membawa pedagang kelontong atau kuli harian terkena covid 19. Dari peristiwa di atas itulah, cerpen dengan judul Mat rangrang dan cerpen Dua Teman Lama dalam buku "Musyawarah Para Pencuri" saya tulis.
Saya, barangkali juga hadirin, senantiasa tergoda menilai seseorang dari luar, klise! Mereka yang berpakaian minur dan berada dalam lingkungan prostitusi akan dipandang miring, lebih keras lagi tak bermoral dan tak punya harga diri. Begitulah kita, sebagai manusia yang senantiasa memposisikan diri sebagai makhluk paling sempurna dan bebas menilai apapun, siapapun. Celakanya, kita begitu lemah menilai dan bertanya-tanya; siapa si diri kita.
Untungnya, ide-ide dalam karya-karya sastra dilahirkan dan dituliskan bukan untuk menilai apalagi mengadili sifat dan sikap seseorang, karya sastra yang lahir dari renungan-renungan baik dari hasil bacaan maupun dari pengamatan peristiwa-peristiwa sehari-hari tidak mengizinkan penulisnya menjadi seorang hakim yang dengan bebas memutuskan sebuah putusan, dan atau karya sastra tak mengizinkan penulisnya menjadi penceramah sekaligus.
Sebagaimana dalam kisah-kisah masa lalu (foklor), kandungan nilai-nilai senantiasa tersirat bukan hanya dalam narasi, tapi nilai-nilai kebenaran itu tercermin dalam laku hidup. Unsur dalam pribahasa (baca; puisi) misalnya, saloka, peribahasa, dan pantun.
Musyawarah Para Pencuri, tidak bermaksud mengajari pembaca untuk menjadi pencuri atau ngajarin pembaca menyusun trik dan apalagi bikin tutorial mencuri agar tidak ketahuan. Tapi, dalam cerpen Musyawarah Para Pencuri yang ingin saya sampaikan adalah, bagaimana kita menyelami lautan makna dari gelombang peristiwa.
Bagi saya, karya sastra seperti halnya filsafat sifatnya, reflektif, dan dalam karya sastra lah “setelah realitas sehari-hari” kita dapat menggali dan menemukan kebenaran sekali pun kebenaran itu datang dari tokoh jahat. Dalam karya sastra, kita menemukan suara-suara kebenaran sekali pun suara itu terdengar lirih.
Cerpen dengan judul Mat Rangrang, misalnya, dari cerpen yang saya tulis di tengah arus gelombang pandemi itu, kita dapat belajar kebajikan kepada seorang pelacur, pada saat bersamaan pula, kita dapat belajar kerapuhan manusia pada seorang penjaga kubur. Sayangnya, sejak mula pikiran kita dibekali dengan doktrin ini benar, itu salah. Diam-diam kita nyaris lupa bahwa salah satu unsur daripada kebahahigian adalah ketika kita lepas menilai laku dan sifat seseorang dari permukaan.
Tokoh-tokoh dalam cerpen Mat Rangrang yang survive dan terus bertahan di tengah arus gelombangan larangan-larangan bekerja di ruang-ruang publik, Si Pelacur harus ekstra bekerja dan kreatif agar tak diusir dari rumah petak yang tempati bersama 10 anak jalanan itu. Pun demikian dengan penggali dan penjaga kuburan, yang harus patuh pada intruksi baik kepada atasannya ataupun kepada pemesan kapling tanah kuburan, sehingga ketika salah satu dari anak jalanan yang diasuh oleh palacur meninggal, Si Penjaga makam tidak berani dan bahkan mengusir anak-anak jalanan saat menggali tanah untuk mengubur seorang temannya yang sudah meninggal.
Demikian juga dalam cerpen Musyawarah Para Pencuri yang kemudian saya pilih menjadi judul dari buku kumpulan cerpen ini. Gelombang pandemi berikut peraturan-peraturan yang disertakan oleh pemerintah di dalamnya tidak lantas membuat orang-orang benar-benar berhenti --bermain hati-- meminjam lirik lagu andra personel band dewa 19 dan bertanya, --jangan-jangan Tuhan telah bosan dengan apa yang kita perbuat-- sambung Ebid G. Ade. Semestinya, saat musibah membuat kita merenung, bila perlu berhenti sejenak berpikir. Kenyataannya, pandemi membuat sebagian orang mencari keuntungan dengan aneka macam alasan dan dalil, sehingga nilai-nilai kemanusiaan menjadi bias dibuatnya.
Musyawarah Para Pencuri adalah refleksi dari sebagian orang yang pandai memainkan musibah menjadi sumber keberuntungan pribadi, baik oleh tokoh-tokoh agama yang lebih sering tampil di layar telivisi lengkap dengan pakaian kebesaran, sorban dan baju koko atau gamis yang memang menjadi identitas maupun oleh pencuri ulung. Namun sebagai karya sastra, tentu saja saya tidak tertarik menarasikan peristiwa--peristiwa besar dengan berbagai alasan, di antaranya, sastra lahir bukan karena narasi-narasi besar seperti, misalnya, kasus korupsi anggaran pandemi. Karya sastra yang baik justru sebaliknya. Ia lahir dari tema dan narasi kecil, hanya saja, bagaimana kemudian kita memberinya daya sehingga menjadi sajian menarik. Dan, untuk menulis cerita yang menarik saya tidak perlalu terbebani apalagi merasa was-was dan takut --kalau-kalau, tema-tema yang saya tulis dalam cerpen tidak menarik karena yang ditulis bukanlah tema-tema besar, seperti penyalahgunaan uang bantuan covid 19, kasus korupsi, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, was-was dan takut itulah soalnya, maka tulislah jawabannya.
Perbatasan, Depok-Tangerang Selatan, pp. 17 Novembee 2023.