Mahwi Air Tawar
Keunikan, keuletan, dan kelucuan “manusia Madura” senantiasa menjadi buah bibir. Tanpa “manusia Madura”, Indonesia seakan kehilangan bahan untuk tersenyum dan tertawa. Dan memang, keunikan tidak hanya membuat kita sejenak berhenti berpikir linier tapi juga dengan “unik” sudut pandang yang baru terhadap sesuatu akan lahir, bahasa kerennya, out of the box.
Sudah barang tentu, keunikan tidak akan pernah lahir dari pikiran orang-orang yang tidak ulet, tidak teguh, dan berpikir konvensional. Contoh paling nyata, saat orang-orang berpikir dan bersiap-siap pulang kampung dalam rangka merayakan hari lebaran idul fitri, tidak demikian dengan “manusia Madura”, mereka akan memilih tetap tinggal di rantau dan tetap berdagang. Barangkali, karena hal yang tidak biasa dilakukan orang-orang umum inilah, “manusia Madura” dianggap dan dipandang lucu.
Siapa yang berpikir bahwa barang-barang bekas seperti botol, kertas dari bekas bungkusan makanan maupun skripsi dan buku pelajaran yang tidak terpakai lagi bisa dijadikan sumber ekonomi? Siapa pula berpikir besi tua bisa menjadi sumber pundi-pundi keuangan? Barangkali, selain “manusia Madura” ada juga yang melakukannya, tapi lucunya, hanya “manusia Madura” yang lebih dikenal? out of the box.
Mari bayangkan, betapa sumpeknya rumah-rumah yang penuh dengan perabotan, dan kemana mereka akan membuangnya ketika ruangan rumah sudah penuh sesak? Bayangkan pula, jalan-jalan dipenuhi sampah. Beruntunglah, “manusia Madura” hadir menawar barang-barang bekas, baik barang dari inventaris perkantoran yang tak lagi dipakai maupun perabotan rumah tangga yang akan segera diganti dengan perabotan baru. Di tangan “manusia Madura”, hal-hal mubazir menjadi berguna dan bermanfaat. Jangan-jangan, karena “manusia Madura” pula lah, polusi udara perkotaan yang disebabkan tumpukan sampah sedikit berkurang.
Namun demikian, apa yang “manusia Madura” lakukan dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih hanya sekadar ikhtiar sebagai seorang hamba, seorang manusia yang lemah tanpa dorongan dan kekutan doa dari orang-orang yang mereka hormati, khususnya kedua orang tua dan guru. Selain doa dari orang tua dan guru, “manusia Madura” juga sangat percaya dengan kekuatan mantra. Maka tidak heran, bila mereka hendak merantau senantiasa sangat berhati-hati, kapan dan jam berapa keluar dari rumah.
Mantra sebagai bagian dari sastra lisan tidak sekadar bertumpu pada kekuatan bunyi: rima, irama, dan metrum, mantra juga memiliki kekuatan magis. Mantra dalam masyarakat tradisional, tidak terkecuali “manusia Madura”, tidak hanya menjadi bagian penting yang terus dipegang teguh dan diamalkan hingga saat ini.
Dalam sastra, mantra adalah jenis sastra lisan yang pada masanya, sangat digemari meski tidak semua orang boleh mengucapkannya, dan tak bisa dibaca di semebarang tempat. Namun pada tahun 1970-an, kata “mantra” begitu popular dalam perpuisian Indonesia, khususnya ketika membicarakan puisi-puisi penyair Sutardji Calzum Bachri. Dengan kredo keluar dari makna, Sutardji Calzum Backri keluar berhasil menjadikan puisi bebas dari “beban” kata dan makna, puisi-puisinya —sepenuhnya— bertumpu kepada kekuatan bunyi, meski secara harfiah, dalam puisi mantra tradisional kekuatan rima, irama dan metrum menjadi salah satu piranti puitika penting untuk menghasilkan bunyi. Dan dari “bunyilah” kekuatan puisi dapat terlepas dari beban dan pengertian puisi yang senantiasa bermuara pada pesan-pesan dari balik kata-kata di dalamnya.
Baru-baru ini, penyair perempuan, Maftuhah Jakfar, lewat buku terbarunya “Surat Jibril” (2023), lewat puisi-puisi yang terhimpun di dalam buku tersebut seakan menghadirkan kembali puisi-puisi yang bertumpu pada kekuatan mantra tanpa meninggalkan unsur-unsur mantra dalam puisi-puisi lama yang, di antaranya, di dalamnya terdapat kekuatan rima, irama, dan metrum.
Dalam buku kumplan puisi “Surat Jibril” (2023), karya Maftuhah Jakfar, mantra tidak hanya dihadirkan seperti bentuk dan pengertian harfiah mantra itu sendiri, yang di antaranya, terdapat rima, irama, dan metrum, tapi lebih jauh penyair kelahiran Madura ini menghadirkan teks-teks mantra sebagai alat jelajah estetika dalam puisi-puisinya. Unsur-unsur mantra bisa dengan mudah kita jumpai dalam puisi-puisinya. Dalam puisi Bila Kata Jadi Mantra, misalnya:
Duhai angin timur
Bismillah
Lapis-berlapis mata ‘ain
Lahawla wa la quwwata illa billah
Kuasamu pecahkan batu
Pecah, pecah, pecah
Laut terbelah, darah terbelah
……
***
Mantra yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Madura, tidak terkecuali penyair, tampaknya tidak hanya menjadi pegangan untuk berjaga-jaga, membentengi diri dari serangan-serangan secara gaib, tapi mantra dalam teks puisi-puisi Maftuhah Jakfar melebur antara teks, bentuk, dan perilaku “manusia Madura” yang, betapa hati-hati dalam menjalani laku sehari-hari, berhati-hati dalam memutuskan suatu perkara.
Kehadiran puisi-puisi Maftuhah Jakfar yang terhimpun dalam buku kumpulan puisi “Surat Jibril” tidak hanya berhasil menghadirkan mantra yang bertumpu pada kekuatan bunyi, tapi ia juga berhasil menjelejahi teks sebagai bangunan estetika puitika. Tapi juga menjadi sebuah jawaban bagi sebagian “kalangan sastrawan” non “manusia Madura”, yang selama ini bertanya, “kenapa puisi-puisi pada penyair-penyair baru di Madura selalu bertumbuh dan tidak pernah kering.
Tanpa melebih-lebihkan, sebab dari bertumbuhnya penyair-penyair baru di tanah Madura, bisa jadi, karena sejak bayi “manusia-manusia Madura” sudah lekat dan tidak berjarak dengan mantra sebagai puisi lisan. Hal ini juga berlaku bagi “manusia Madura” pada umumnya, mantra (baca: puisi) yang dalam momen-momen tertentu dalam obrolan santai celetukan-celetukan dengan ungkapan metaforik terucapkan, sengaja atau tidak.
Maftuhah Jakfar tidak hanya lahir dan besar di lingkungan yang sarat dengan manta/puisi lisan, tapi ia juga hidup dan besar di lingkungan pesantren yang hampir setiap saat menyenandungkan syair-syair. Maka, tidak heran bila dalam puisi-puisi yang terhimpun dalam buku “Surat Jibril” ia seakan mengajak pembaca kembali menjelajahi estetika sastra, puisi khususnya, yang terus bertumbuh dan bahkan terus dipertahankan hingga saat ini, tidak terkecuali oleh “manusia Madura” yang hidup di luar lingkungan sastra namun laku dan bahasa-bahasa yang diucapkan terkadang, lebih puitis ketimbang puisi, bahkan lebih unik ketimbang keunikan “manusia Madura” itu sendiri.
Jakarta, 2023
Mahwi Air Tawar, menulis puisi, cerpen dan esai.
Mahwi Air Tawar Redaktur Kelas Menulis Penulis Buku Kumpulan Puisi Mata Blater |