Oleh Sirar Hendrawan (Notulen Acara Belajar Kepada Pesohor) |
Pemateri : Dr. Zulfardi Darussalam, M.Pd.
Moderator : Khardi Ansyah
Materi : Belajar kepada Jacques Derrida
Derrida menawarkan untuk lakukan sesuatu secara tidak biasa, kalau itu memang memberikan suatu kemungkinan makna yang lebih jelas, tegas, dan sempurna. Karena menurut Derrida kehadiran teks baik itu teks lisan maupun tulisan dihadapan kita, sering kali teks itu mendustai kita.
Pendustaan teks itu terhadap kita menyuruh kita untuk mencari kebenaran di balik teks yang ada. Saat kita ingin mencari kebenaran itu, mungkin kita berada di sisi lain dari teks yang ada. Mungkin kita tidak harus struktur dan linier dari halaman satu ke halaman dua, bab 1 ke bab 2, bab 2 ke bab 3, dan seterusnya. Bisa saja kita membalik dari kesimpulan kita lihat lagi, apa si cara berpikir yang dilakukan penulis kok kesimpulannya seperti ini?. Derrida memberikan pintu, yaitu cemburuilah suatu kebenaran yang Anda dapatkan secara linier. Mencemburui kebenaran itu, yaitu mencari kebenaran yang hakiki dibalik apa yang kita temukan saat itu.
Seiring dengan pertanyaan moderator. Budaya Patriarki menempati perempuan berada pada posisi yang lemah karena laki-laki memiliki kekuasaan yang lebih dalam mengambil keputusan, membuat aturan, mencari kebenaran, atau membuat pembenaran itu sendiri. Dan inilah yang diungkap oleh Derrida karena di dalam prinsipnya tidak ada semacam penomorduaan, tidak ada semacam linier, dan tidak ada semacam oposisi, apabila manusia berada di samping manusia.
Jenis kelamin adalah sebuah harkat karena perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Tidak akan ada keturunan kalau tidak ada laki-laki dan perempuan. Jadi, keberadaan perempuan dan laki-laki itu sama. Persamaan itu adalah sebuah keniscayaan, tetapi kenapa ada perempuan yang merasa dinomorduakan?. Budayakan sebagai kesepakatan, budayakan sebuah hasil dari interpretasi manusia terhadap apa yang dia butuhkan. Kalau kita melihat dari satu sisi bahwa perempuan dinomorduakan, apakah itu di sistem budaya patriarki atau matrilinear ataupun budaya lain. Sebenarnya itu bukalah sebuah kesalahan, tetapi Pak Zoel melihatnya dari satu sisi ada aspek lain yang belum terungkapkan secara maksimal dan optimal disaat perempuan harus menyetarakan yang dalam arti berada pada posisi yang sama untuk menyampaikan, memberikan, membenarkan, atau mengatakan bahwa hal itu sama.
Adanya kuota 30% untuk caleg perempuan yang diterapkan di dalam prinsip pemilu di Indonesia adalah cara pemerintah menjawab bahwa menegasikan tentang penomorduaan perempuan. Kalau kita lihat, begitu reformasi masuk di dalam sistem demokrasi Indonesia dan munculnya presiden wanita pertama di Indonesia, presiden ke lima Megawati, itu juga menjawab bagaimana kegamangan dan kengamangan kita memikirkan bahwa perempuan diletakkan diposisi yang dinomorduakan.
Kenyataan-kenyataan yang kita lihat dalam praktik apakah itu bidang hukum, sosial, dan budaya; ada usaha ke arah sana untuk memakai konsep-konsep pemikiran Derrida. Pak Zoel menyampaikan bahwa Megawati itu presiden pertama di era demokrasi dan di beberapa negara yang sensib dengan Indonesia, dia mampu memberikan sebuah warna baru terhadap demokrasi Indonesia. Dan dia memang sekarang pemegang kekuasaan terlama di dalam pimpinan partai politik besar di dunia. Dan itu diakui oleh dunia. Dan secara individual, dia menjawab apa yang dikemukakan oleh Derrida bahwa perempuan itu tidak harus nomor dua. Kemudian ada semacam penindasan, ada semacam pendeskriminasian. Aspek-aspek sosial yang terjadi saat ini membuat para pemikir dan para pengguna kekuasaan banyak yang menggunakan prinsip Derrida untuk menjawab kegamangan-kegamangan itu.
Seberapa banyak kita lihat di era reformasi itu, kepala sekolah SLD, SLTP, SLTA, yang dulu SLTP dan SLTA (SMP dan SMA) negeri, itu didonimasi oleh kaum laki-laki. "Seumuran saya, waktu saya SMP tidak ditemukan kepala sekolah itu seorang perempuan dan sekarang berapa banyak". Orang-orang yang menganut "paham Derrida", yang dia keluar dari lembaga pendidikan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri yang mereka menebarkan cara berpikir yang selerti itu. Katanya berpikir Derrida itu berpikir yang terbalik. Terbalik dalam artian bahwa mencari sebuah kebenaran itu tidak harus berawal dari pendahuluan ke penitup. Bisa saja kita melihat dari catatan kaki. Dengan catatan kaki kita bisa menyimpulkan bahwa orang ini berpikir tentang aspek yang dia pikirkan itu dari segi mana.
Dominasi laki-laki terhadap perempuan itu tergantung kontruksi sosial. Setiap zaman relatif berubah. Contohnya suku Minangkabau yang tidak kenal matrilinear. Munculnya matrilinear itu karena adanya kisah "Bundokanduang", tetapi dalam kisah itu tidak pernah diceritakan bapakanduang, karena dia tidak punya bapakanduang. Cerita bapakanduang disitu tidak ada. Lalu muncul sebuah pertanyaan seorang bundokanduang yang bapakanduang tidak ada. Nah, sengaja ditampilkan bundokanduang untuk mencerminkan sebuah aspek bahwa minangkabau yang matrilinear itu, perempuan memiliki kekuasaan yang besar terhadap sistem keturunan dan perempuan menguasai. Artinya disitu penguasaan terhadap warisan karena kalau moderator ibunya orang pada bapaknya orang sunda maka ia akan memperolah warisan juga dari padang karena di Minangkabau warisan itu turun dari perempuan ke anak. Tidak dari bapak ke anak.
Jadi, "Kaba" dalam sastra lama berarti kisah yang telah memberikan sebuah ruang di dalam alam minagkabau. Budaya minagkabau itu, menempatkan perempuan lebih dari laki-laki. Melalui dari satu sisi, yaitu penguasaan harta warisan dan gelar kebangsaan (suku) misal, mempunyai ibu yang bersuku kumbang, maka dibelakang namanya disertakan "si kumbang".
Sesi diskusi
Bagaimana peranan dekonstruksi dalam analisis karya sastra?
Jawabannya di awali dengan pembacaan cerpen "Warung Penajem" karya Ahmad Tohari. Jum dan Kartawi sepasang suami istri yang berjuang hidup untuk meningkatkan ekonominkeluatha. Ada peran di dalamnya. Kartawi seorang petani yang ke sawah dan ladang. Sementara Jum membantu meningkatkan ekonomi rumah tangga dengan berdagang. Dan ada usaha yang dia lakukan. Kata kuncinya terdapat pada paragraf 2 "apa saja dia lakukan agar warungnya laris".
Jum orang desa yang memiliki cita-cita sederhanya ingin mempunyai rumah batu, televisi, dan honda bebek. Jum tidak minta yang lain. Ekonomi itu meningkat terus merupakan sebuah keniscayaan siapa saja hidup di atas dunia.
Jum sudah melakukan segalanya dengan baik, dengan menata kehidupan itu sehingga dia bisa meraih segala impiannya. Pergi ke dukun bagi orang di desa biasa saja. Terlepas kita mau atau tidak itu ada. Di sini tokoh Jum memberikan sebuah perenungan kepada kita bahwa dia telah berusaha. Jum melakukan sesuatu yang sudah melampaui di atas kemampuan jum-jum yang lain di desa itu. Jum seorang istri dalam melakukan sesuatu, biasa saja bagi dia. Apapun jalan dia tempuh agar warungnya laris. Dan menjadi gunjingan setiap hari.
Nah, di sini nampak seorang istri mempunyai kekuatan yang lebih dari suaminya. Kertawi percaya dan meyakini bahwa istrinya setia tapi dibalik kesetiaannya itu seorang istri adalah seorang indivisual, seorang manusia yang punya kehendak sendiri dan ingin mewujudkan keinginan batin dan keheroan seorang istri. Mak, Jum tidak meminta izin karena jika izin pastri dibetulkan. Jum melakukan itu tahu bahwa dikampunya bayak dukun, tapi dia memilih Pak Koyor karena gratis.
Keheroan Jum telah mengalahkan kondisi anatra Jum dengan suaminya. Kertawi berada pada posisi bukan yang dikalahkan, tetapi membuka hati untuk menerima. Jum dengan kertawi itu 11 12 artinya mau pergi ke dukun minta penglaris atau penajem sekalipun Kertawi tetap setuju. Tapi, dalam pikiran Kertawi masih tidak membenarkan tindakan yang dilakukan Jum dan Pak Koyor.
Nah, kita dapat melihat bahwa mendekontruksi sebuah teks, kita mencari makna yang sengaja didustakan oleh teks itu atau sengaja disembunyikan oleh teks. Karena teks sastra bukan media khutbah dan bukan teks sejarah. Teks sastra adalah teks interpretatif. Bagaimana menginterpretasi sebuah konteks di dalam teks sehingga kita bisa mencari kekosongan-kekosongan makna yang ada.
Dalam mendekonstruksi teks, kita mencari posisibiner. Oposisi biner adalah hal-hal yang tidak diungkapkan secara jelas di dalam teks, tapi dia merupakan sebuah dialog antara teks dengan kita. Yang dibangun oleh dialog warung penajem dengan kita ada apa paragraf akhir "peningkatan ekonomi keluarga itu ternyata telah menuntut pengorbanan yang luar bisa dan mahal." Yang dilakukan Jum untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Banyak penderitaan yang harus ditanggungkan baik itu individu maupun keluarga untuk peningkatan ekonomi. Tokoh Jum mewakili orang-orang yang berada di lini kiri untuk mencapai keuntungan. Tetapi, syukur-syukur Jum yang seperti itu karena tidak berurusan dengan polisi, kpk, dan penjara. Jum dipenjara oleh dirinya sendiri.
Budaya itu, bagaimana manusia merepresentasikan diri di dalam kelompoknya. Tetapi, mungin secara umum yang dilihat bahwa dalam tataran-tataran struktural yang linieritas munculah laki-laki, sperti iman di masjid, pemimpin pesantren, pemimpin rapat, ketua organisasi, jadi walikota, dan bupati. Tapi, di akar rumput kita lihat patriarki kadang-kadang laki-laki dikalahkan oleh perempuan. Lihat saja sekarang di lingkungan, kalau ada masalah dengan tetangga ibu-ibu sering muncul duluan dan bapak-bapak sembunyi di pos ronda. Dekonstruksi bukan barang baru, tapi derrida mengungkapkan sesuatu yang akar rumputnya sudah terjadi. Di lini-lini kehidupan dan kelompok-kelompok, kebiasaan itu sebenarnya terjadi, tapi seringkali terlupakan. Itu untuk hal-hal yang bersifat gender dan hal-hal yang bersifat lain seperti oposisibiner, pada satu sisi ketidakbiasaan itu yang menjadi jalan keluar. Deskontruksi melihat konteks-konteks yang tersembunyi dalam teks. Cara mencari teks yang tersembunyi hubungkan dengan agama, budaya, ekonomi, dan lain-lain. Maka akan ketemulah kebenaran yang hakiki dari teks itu.
Setiap teks mempunyai konteks masing-masing. Teks tidak dilihat dari individualitasnya. Teks itu, selalu berada dalam jaringan terbuka yang merupakan invinitas tertinggi dan terstrutur. Contohnya, kalau kita ke Semarang, kita ke lawang sewu. Rumah yang memiliki seribu pintu. Katanya kalau masuk pintu yang satu tidak bisa keluar karena yidak tau pintu masuk yang mana. Jadi, teks sastra itu begitu. Dia memberikan pintu keluar masuk yang kita bebas memilih, kita mau masuk me pintu yang mana.
Lalu teks telah berdialog dengan realitas yang menyebabkan terjadinya perubahan makna. Begitu, teks itu ada, teks itu dia berdialog dengan siapa saja dan dengan individu mana saja. Hari ini kita baca Warung Penajem. Inilah tafsiran kita hari ini. Besok ada lagi yang baca Warung Penajem inilah tafsiran dia besok.
Teks sastra itu adalah teks yang merekonstruksi budaya. Tidak ada teks sastra yang tidak merekonstruksi budaya. Kehadiran teks sastra karena menyampaikan konteks di dalamnya. Konteks yang disampaikan adalah konteks budaya.
Teks yang sedang dibaca adalah suatu korpus yang bersifat terbuka, teks mengatakan tentang sesuatu, teks mengungkapkan tentang sesuatu, dan teks itu memberikan sesuatu untuk dipikirkan. Jadi, teks bukan hanya sebatas teks. Teks ini ada karena ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada kita. Begitu juga dengan cerita warung penajem yang bukan hanya sebatas Jum pergi ke pak dukun, tapi Jum adalah pahlawan ekonomi. Jum telah melakukan segala macam bentuk usaha untuk bisa meningkatkan ekonomi. Jum membantu kerja keras suaminya di ladang karena dia tau berapa hasil ladang kalau kemarau datang dan bisa saja hujan turun selama sekian bulan. Apa yang akan diharapkan dari tanah yang kerontang. Maka, Jum memiliki satu cara berpikir yang sangat realistis didirikannya warung.
Apakah mungkin si penulis ini sebenarnya kemungkinan besar sudah tahu soal deskontruksi. Kemudian dia menyampaikannya dalam sebuah narasi cerita. Apakah menjadi sah ketika teks (warung penajem) ini dibaca dengan sudut pandang yang lain yang bukan deskontruksi?
Jawaban:
Kalau bicara tentang sebuah pendekatan. Kalau misalnya kita bicara sebuah teks dan mau dibahas dari sisi deskontruksinya ya tidak masalah kalau itu memang tepat. Tapi, bisa juga sebuah teks itu dilakukan pendekatan dengan teori lain, atau yang sering saya bicarakan dengan Pak Zul itu, kemarin terkait dengan pembacaan sejarah heuristik, kemudian dimaknai secara hermeneutik. Jadi, kalau bicara terkait dengan teks itu, kalau misalnya tadi Mas Yus menanyakan apakah ada pendekatan lain. Ya, bisa saja digunakan pendekatan ataupun teori pembacaan heuristik kemudian teks itu dimaknai secara hermeneutik. Sehingga penfsirannya antara pembaca satu dengan yang lain tentunya mempunyai historis masing-masing.
Jawaban Pak Zul
Saya tidak mengatakam bahwa teks "Warung Penajem" harus kita lihat secara deskontruksi. Tapi, deskontruksi hisa masuk dalam teks ini. Saya memberikan media teks ini kepada kita, jemaah yang hadir pada hari ini karena dalam teks "Warong Penajem" ada ruang oposisibiner yang bisa kita ungkap secara deskontruksi. Seperti tadi, yang lertama bahwa Jum di samping dia melakukan perbuatan menyimpang, terlarang, Di luar aturan, di luar norma dengan sang dukun. Itu kan pilihannya Jum. Mungkin tadi, disampaikan Mas Yus karena tingkat libidonya jum, tingkat kebutuhan seksual Jum itu melebihi dari layanan yang diterimanya dari Kartawi karena Kartawi sudah cape dari ladang setiap hari cangkul, di rumah cangkul lagi. Pemenuhan itu jum cari lewat jalan lain yaitu dengan Pak Koyor. Jadi, sah-sah saja jika teks tersebut dibaca dengan sudut pandang lain karena itu merupakan sebuah dinamika dan konsesus pembentukkan orang dengan kepentingan kondisi itu. Maka saya sengaja menghadirkan teks "Warung Penajem" itu bukan satu-satunya bisa dilihat dengan pandangan deskontruksi. Stilistika masuk, semiotik masuk, sosiologi masuk, apapun bisa masuk. Karena teks itu punya seribu satu pintu. Silakan masuk dari mana saja asalkan tau tempat keluar. Kalau tidak tahu tempat keluar tentu interpretasinya akan berbeda. Karena tidak ada teks sastra tanpa interpretasi.
Bagaimana cara mendekonstruksi teks sastra yang rumit?
Jawaban:
Teks sastra dalam bentuk puisi contohnya puisi dengan judul malam “malam peluklah aku bersama mimpimu”
Cara mendekonstruksinya: apa si malam? Malam itu kan identik dengan kedamaian, ketenangan, dan waktu istirahat. Kalau siang hari kita mencurahkan tenaga, maka malam kita mencurahkan batin. Kalau siang hari kita berdialog dengan pejabat, atasan, teman, bawahan, dan rekanan. Maka, malam kita berdialog dengan diri kita sendiri. Kalau siang hari kita mengenal tuan, malam kita kembali ke Tuhan. Apakah semua orang mampu seperti itu di malam hari? Tidak. Ada malam hari itu, saatnya dia menghindari malam itu. Begotu malah hadir dia sedih, lemah, sepi, dan matanya berkaca-kaca. Dia ingin menghindari malam itu karena dia tidak bisa berteman dengan malam itu. Karena ada yang tidak bisa membawanya untuk ia bisa berteman dengan malam ktu secara utuh. Maka, ia mengadu kepada itu malam "malam peluklah aku bersama mimpimu" bukan mimpi "dia". "aku" di sina sama dengan aku lirik "mu" sama dengan engkau lirik, "mu" sama dengan kembali ke judul, judulnya malam. Jadi, malam itu banyak peristiwa di dalamnya. Nah, mendekonstruksi teks, mencari ruang-ruang tersembunyi di dalam teks untuk kita bisa hadir dan "bersetubuh" dengan teks, kita kawini teks itu, kita gauli dia dengan seutuhnha sehingga kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh teks itu yang kita rasakan.
Yang dipahami dalam teori deskontruksi ini kan lebih kepada metodologi membaca. Tetapi, Jacques Derrida justru menyangkal pernyataan tersebut. Dia menyatakan bahwa deskontruksi bukanlah merupakan suatu analisa, dekonstruksi bukanlah merupakan suatu kritik apalagi metodologi. Tetapi, melainkan sebuah peristiwa yang datang tanpa direncanakan artinya perubahan itu terjadi secara terus menerus. Nah, yang menjadi pertanyaan, bagaimana tanggapan pak zul, apakah pak zul selaku pembaca deskontruksi Derrida akan mengkritik Derrida seperti halnya Derrida mengkritik Sausure dalam logosentris dan polisentrisnya?
Jawaban:
Derrida memang berseberangan dengan filsuf-filsuf modern, salah satunya Ferdinan de Sauruse. Sauruse hanya mengatakan ada dan tiada, benar dan salah. Kalau kita sebut lawan makna. Maka, Derrida mengubah ini supaya makna itu memang benar-benar didapat bukan karena benar atau salah tadi karena pandangannya berbeda. Makanya deskontruksi pada analisis tadi, pak zul menyebutkan langkahnya itu adalah kita harus tahu dulu teksnya. Tapi, bukan hanya sekadar memasukkan kata-kata kemudian jadi makna. Tetapi, dilihat secara keseluruhan dan detail. Yang selama ini salah adalah deskontruksinya hanya sekadar menambahkan kemudian memaknai begitu saja. Padahal ada historis yang harus dilihat.
Jadi, ada sesuatu kenikmatan itu bisa kita pahami secara lengkap apabila kenikmatan itu kita bisa baca. Membagi kenikmatan adlaah hakikat dari merasakan dari nikmatnya itu. Jadi, mau nikmat sendiri itu kan solo ya. Jadi, bagaimana kita bisa menyertai kenikmatan itu kita bersama. Jadi begini Gilang, di dalam puisi itu pada poinnya begini. Isi komunikasi antara komunikan dengan komunikator, yaitu teks. Isi komunikasi kita terhadap teks itu adalah sesuatu yang harus dan terus menerus di eksplorasi ketika membaca teks itu. Jadi, sesuai dengan apa yang Gilang tanyakan tadi, mendekonstruksi teks bukan kita mengkritik Derrida karena saya sadar, saya belum memiliki semacam tabungan yang cukup untuk saya menjadi seorang kritikus terhadap Derrida. Tetapi, saya menyarankan di sini untuk kita dapat memahami teks secara dekonstruksi dengan apa yang disampaikan oleh Derrida, kita berulang-ulang berkomunikasi dengan teks. Derrida menyuruh kita liar berpikiran supaya tidak tertutup kepada satu sains, satu langkah, dan satu cara, seperti semantik, sintaksis, struktural, dan feminisme. Jadi, keliaran tadi sesuai dengan sejauh mana kita berkomunikasi dengan teks itu sejauh mana kita busa masuk ke dalam teks itu, menggauli teks itu, dan bersetubuh dengan teks itu sehingga kita merasakan kenikmatan-kenikmatan lain setelah kenikmatan ini kita dapatkan. Kenikmatan dalam arti kenikmatan mendapatkan makna-makna sehingga untuk mendapatkan sekian banyak makna itu kita tidak berhenti untuk bergaul dengan makna itu.