Oleh Dr. Mohamad Ramdon Dasuki, Lc., MA.
Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh penulis, terutama dalam proses penulisan novel Buku Cinta Seorang Santri di Negeri Orang dan Hikayat Cinta Seorang Santri, setidaknya terdapat beberapa catatan yang penulis lakukan, antara lain: 1) tidak semata bercerita tentang diri penulis karena itu bukan buku cerita atau autobiografi, tulisan harus mengandung konflik, 2) butuh literasi yang cukup banyak, 3) butuh proses agar tidak malu jika karya penulis dibaca oleh banyak orang, 4) memperkaya diri dengan berbagai karya penulis besar dunia, 5) menganggarkan dana untuk belanja buku yang berkualitas, 6) mampu membangun alur cerita secara imajinatif, 7) sabar menulis serta menyimpan ide-ide yang muncul tak kenal tempat dan waktu.
Tidak semata bercerita tentang diri penulis karena itu bukan buku cerita atau autobiografi, tulisan harus mengandung konflik
Para penulis pemula sering kali terjebak dalam situasi awal menulis. Di tengah-tengah penulisan, penulis terbuai dengan tokoh dirinya, seseorang, atau idolanya sehingga hasilnya akan menjadi buku cerita tentang seseorang karena isinya tidak jauh berbeda dengan cerita berbagai tokoh tersebut yang tidak sama sekali memuat berbagai aspek novel. Salah satu unsur pembangun novel, yaitu adanya konflik. Keberadaan konflik dapat membuat isi novel menjadi tidak hambar karena terdapat sesuatu yang dipersoalkan. Penulis menyalurkan daya imajinasinya dengan berbagai karakter tokoh yang ia bangun serta daya kemampuan literasinya untuk diterapkan dalam setiap bagian, adegan, dialog, narasi, lika-liku cerita, dan lekuk-lekuk kata agar pembaca terhiptonis dengan alur cerita yang dibuatnya.
Butuh literasi yang cukup banyak.
Ibarat kata, tak mungkin sebatang pohon dapat berbuah jika masih muda karena ranting pohon akan mengeluarkan putik atau kembangnya ketika ia sudah cukup tua. Maksudnya, hampir mustahil bagi seorang penulis mampu menulis dengan penuh makna dan indah jika dirinya tidak memiliki referensi yang kuat dan banyak, kecuali jika dirinya memang memiliki talenta genetik bawaan lahir, seperti sebatang pohon cangkokan kecil yang mampu berbuah. Bagaimana syaraf-syaraf otaknya mampu memerintahkan tangannya untuk menulis segala sesuatu jika otaknya belum pernah menerima dan mencermati persoalan dari berbagai judul buku, hasil pengamatan, dan hasil bacaannya?
Sebagai contoh, Buya Hamka mampu menulis banyak karya karena sejak muda rajin membaca berbagai karya sastra dan disiplin ilmu lain. Selain itu, selama menetap dan mengaji di Makkah, setiap hari Ia melahap kitab-kitab milik Syeikh tuannya yang disebut sebagai ‘hidangan makanan yang sangat lezat’ karena hakikatnya makanan utama otak manusia adalah ilmu. Sama hal nya dengan Remy Sylado yang banyak menghasilkan karya. Dalam hidupnya, Remy sangat akrab dengan ribuan buku karya orang-orang hebat. Celah ruang kosong di rumahnya sulit ditemui karena selalu dipenuhi oleh buku-bukunya yang berada di mana-mana sehingga karyanya selalu lahir di bidang puisi, esai, novel, buku, lirik lagu, dan lain sebagainya. Tampaknya itu juga terjadi pada diri setiap sastrawan andal lainnya.
Butuh proses agar tidak malu jika karya penulis dibaca oleh banyak orang
Banyak orang yang tidak percaya diri, bahkan malu jika karyanya yang belum ‘jadi’ dibaca oleh orang lain untuk dikritisi, dinilai, dan diberi masukan secara langsung. Padahal, tindakan tersebut menjadi masukan yang paling berharga jika dibandingkan dengan masukan lain karena bersifat langsung kepada objeknya, baik penuturan bahasa, gaya bahasa, alur cerita, penokohan, konflik yang dimunculkan, dan lain sebagainya. Lain halnya jika Anda telah menjadi seorang penulis yang sukses dan telah menemukan karakter, gaya bahasa, dan berbagai ciri khas tersendiri yang sudah tidak terlalu membutuhkan masukan berharga dari orang lain.
Memperkaya diri dengan berbagai karya penulis besar dunia
Bagaimana mungkin diri kita dibandingkan dengan penulis besar dunia jika belum pernah membaca karya-karyanya Rabindranath Tagore, Naguib Mahfouz, Pramudya Ananta Toer, Jose Rizal, Ronggowarsito, Tolesto, al-Ghazali, Ibnu ‘Arabi, Ibnu Rusydi, Abu Nuwas, Adam Smith, Machievelli, Ibnu Khaldun, Jalaluddin al-Rumi, dan masih banyak lagi.
Jika menuliskan tentang malam, seorang Tagore nyaris tak melewatkan segala benda dan sesuatu yang Ia sebut suasana malam hari. Ia membuat narasi dengan lugas tanpa ada sekat antara dirinya dan alam semesta. Selanjutnya, bagaimana seorang Naguib Mahfouz mampu menjelaskan kondisi rakyat Mesir yang hidup di tengah perkotaan padat dan sumpek. Ia menggambarkan kota tua seperti Kairo secara detail dan jeli dengan berbagai karakter manusia yang hidup di sana. Lalu, Pramudya Ananta Toer sangat detail mengurai peristiwa yang Ia ceritakan di dalam novelnya. Meskipun Ia tinggal di pulau buru, tempat pengasingannya selama bertahun-tahun tanpa adanya bahan literasi. Pramudya mampu menulis urutan cerita yang Ia bangun secara benar dan tepat. Berikutnya, Seorang Ronggowarsito mampu dengan cerdas dan yakin dalam menulis syair-syairnya tentang dunia masa depan manusia Jawa yang akhirnya menjelma menjadi manusia Indonesia dengan fenomena zamannya yang ia sebut dengan zaman edan atau zaman gila.
Sosok al-Ghazali yang tidak terlalu tua usia hidupnya mampu menulis karya-karya fenomenal dalam bidang Teologi, Tauhid, Tasawuf, Filsafat, Fiqih, Hadis, dan Politik. Salah satu karyanya berjudul Ihya ‘Ulumuddin menjadi rujukan utama di seluruh pondok pesantren Indonesia setelah al-Quran dan al-Hadist. Lalu, kitab berjudul al-Thibru fi Nasihat al-Muluk menjadi buku mentor bagi seorang penguasa Turki Saljuk, setelah melemahnya kekuasaan imperium Bani ‘Abbasiyah, sebelum munculnya imperium Turki ‘Utsmani atau Ottoman selama 600—700 tahun. Selanjutnya, Ibnu Rusydi adalah seorang dokter spesialis istana yang sangat mahir di bidang filsafat Yunani yang nyaris melogikakan semua kajian keagamaan sebelum akhirnya Ia harus mengakui kehebatan keilmuan al-Ghazali saat debat panjang yang diabadikan dengan dua karya berupa buku Tahafutul Falasifat (Serangan terhadap kaum filsafat) yang dijawab oleh al-Ghazali dalam buku berjudul Tahafut al-Tahafut (serangan terhadap serangan) pada abad ke-12. Al-Ghazali wafat tahun 1111 M.
Bagaimana dengan Abu Nuwas yang ternyata seorang penghafal al-Quran dan al-Hadist semasa mudanya justru memilih mendalami bidang sastra. Ia harus menghafal 1000 bait syair Arab ketika meminta izin kepada gurunya agar dibolehkan mengubah atau menyusun syairnya sendiri. Setelah selesai menghafal dan diuji kualitas 1000 bait syairnya, kemudian menghapus 1000 bait yang sudah dihafalkannya dari ingatannya, barulah Ia mendapat izin dari gurunya untuk menyusun syair miliknya sendiri. Wajar jika ia mampu menciptakan syair yang terus dikenang selama ratusan tahun lamanya, bahkan hingga kini masih dilantunkan di ratusan pondok pesantren dan ribuan masjid yang berbunyi; ilahi lastu lil Firdausi ahla .. wala aqwa ‘ala nnaril jahiimi …
Berikutnya, bagaimana dengan Machievelli dengan karyanya yang berjudul The Prince, Ibnu Khaldun dengan kitab Muqaddimah-nya yang menjadi rujukan ilmu Sosiologi hingga saat ini, lalu bagaimana dengan Jalaluddin al-Rumi dengan karya besarnya berjudul Matsnawi yang hingga kini masih dieksplorasi oleh para sarjana di Timur dan Barat perihal manusia, Tuhan, cinta, hidup, kematian, dan lainnya yang tak pernah habis dibahas berkat refleksi pemahamannya secara teosofis tentang ajaran Islam.
Setidaknya, akan muncul inspirasi baru setelah membaca karya besar penulis kaliber dunia itu jika kita belum mampu menyamai apalagi menyaingi. Ide-ide besar mereka yang telah kita telaah dapat dijadikan sandaran inspirasi pemikiran atau ide ketika sedang menulis dan mengalami kebuntuan.
Menganggarkan dana untuk belanja buku yang berkualitas
Makanan dan nutrisi yang menyehatkan otak manusia adalah ilmu. Ilmu paling banyak tersimpan di buku-buku, sebagian di perpustakaan, di internet, dan di jagat raya. Sampai saat ini, yang masih diakui lewat buku lah ilmu atau pengetahuan itu dapat diakses dengan baik dan sehat.
Mampu membangun alur cerita imajinatif
Daya imajinasi atau daya khayal seorang penulis novel wajib dimiliki dan dikembangkan agar alur cerita dapat berkembang secara maksimal sehingga dapat menarik perhatian para pembacanya. Penulis novel harus sadar ketika menulis novel dirinya seakan berhadapan dengan ratusan, bahkan ribuan pembaca yang menikmati cerita imajinasi yang penulis bangun.
Daya imajinasi memiliki peran penting dalam membangun dan merekonstruksi cerita. Hal ini memungkinan adanya pembelokan pada arah cerita sehingga hasilnya tidak seliar daya imajinasi yang tak berujung, tak beretika, tak miliki visi. Karya tersebut dapat terbentuk indah dengan daya imajinasi yang futuristik, edukatif, visioner, kritis, penuh makna, filosofis, dan nilai-nilai positif lainnya.
Sabar menulis serta menyimpan ide-ide yang muncul tak kenal tempat dan waktu
Sesuatu yang paling memberatkan adalah saat ide menarik muncul sementara penulis sedang berada dalam situasi yang tidak memungkinkan, seperti tengah malam menuju tidur atau di tengah jalan menuju suatu tempat yang menyulitkannya untuk menyimpan ke dalam laptop, sehingga butuh pengorbanan lebih, baik secara tenaga maupun strategi. Oleh karena itu, penulis perlu memiliki manajemen waktu yang baik untuk menulis.
Para penulis yang memiliki banyak karya pasti ada waktu tertentu yang ia pilih untuk tidak diganggu oleh siapa pun. Walaupun demikian, terkadang ide jenius itu tetap muncul tak kenal tempat dan waktu. Penulis harus segera mengekseskusinya karena jika ditunda, maka ide itu dapat lenyap begitu saja, sekalipun tersisa, biasanya sudah tidak utuh lagi karena kepingan-kepingan kecilnya tak sanggup tersimpan lagi di benak kita.
(Penyunting: Elis Susilawati)