Raja Ali Haji: Tonggak Bahasa Melayu

 

Oleh Angin Kamajaya


Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad bin Raja Ali Haji Fisabilillah bin Daeng Celak bin Upu Tenribong Daeng Rilaka) atau yang lebih dikenal dengan panggilan Raja Ali Haji adalah seorang sejarawan, penyair, sarjana, dan ulama keturunan Bugis-Melayu. Ia lahir pada abad ke-19 (1808) di Penyengat yang sekarang menjadi bagian dari Kepulauan Riau.  

Raja Ali Haji dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2004.  Karyanya yang terkenal juga sudah diakui dan terverifikasi sebagai Warisan Budaya Tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Ia juga dikenal sebagai ‘Bapak Bahasa Indonesia’ karena pengaruhnya yang besar dalam perkembangan awal bahasa Indonesia.

Raja Ali Haji secara etnis berasal dari suku Bugis melalui garis keturunan ayah dan ibu. Ayahnya, Raja Haji Ahmad, adalah putra dari Raja Ali Haji Fisabilillah bin Daeng Celak yang merupakan seorang pejuang Bugis dari Sulawesi Selatan. Ibunya, Hamidah binti Malik, adalah sepupu dari ayahnya yang juga keturunan Bugis.

Mahakarya Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas yang diterbitkan pada tahun 1847 menjadi pembaharu arah aliran kesusastraan pada zamannya. Meski ia mempelajari bahasa Arab dan keilmuan Islam, penulisan syair dan karyanya masih menggunakan bahasa Melayu Klasik yang banyak dipengaruhi oleh kosakata dari bahasa Arab, termasuk penggunaan struktur bahasa Arab. 

Mulai tahun 1822, Raja Ali Haji sering dibawa Ayahnya ke Batavia atau Betawi yang sekarang disebut dengan Jakarta untuk menjadi asistennya, khususnya mencatat peristiwa perjalanan Ayahnya. Saat itu, Raja Haji Ahmad menjadi utusan Riau untuk menjumpai Gabenor Jeneral Baron van der Capellen. Karena seringnya Raja Haji Ahmad menjadi utusan kerajaan Riau ke Jawa, Raja Ali Haji menggunakan kesempatan tersebut untuk menemui banyak ulama dan memperdalam ilmu pengetahuan Islamnya, terutama ilmu fiqh. Di Antara ulama Betawi yang sering dikunjunginya adalah Saiyid Abdur Rahman al-Mashri. Raja Ali Haji sempat belajar ilmu falak kepadanya. 

Selain mendalami ilmu keislaman, Raja Ali Haji juga memperoleh banyak pengalaman dan pengetahuan hasil pergaulan dengan sarjana-sarjana kebudayaan Belanda seperti T. Roode dan Von Der Waal yang kemudian menjadi sahabatnya.

Kira-kira pada tahun 1827/1243H, Raja Ali Haji ikut Raja Haji Ahmad pergi ke Makkah al-Mukarramah. Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji adalah di antara anak Raja Riau pertama yang menunaikan ibadah haji ketika itu. 

Raja Ali Haji tinggal dan belajar di Makkah dalam jangka waktu yang cukup lama. Ketika berada di Makkah, Raja Ali Haji sempat bergaul dengan Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani. Ia belajar beberapa bidang keislaman dan ilmu bahasa Arab kepada Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani yang ketika itu menjadi Ketua Syekh Haji dan sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Melayu di Makkah. 

Raja Ali Haji bersahabat dengan salah seorang anak Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, yaitu Syekh Syihabuddin bin Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Barangkali ketika itulah Raja Ali Haji mengundang ulama yang berasal dari Banjar itu supaya datang ke Riau, dan jika ulama tersebut setuju datang, maka ulama itu akan dijadikan Mufti di kerajaan Riau. Pada perjalanannya menuju Mekah, Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji juga menyempatkan berkunjung ke Kaherah (Mesir). Setelah itu, mereka kembali ke tanah kelahirannya di Pulau Penyengat, Riau.

Pada zaman dahulu, kerajaan Johor-Riau memiliki banyak ulama, di antaranya Habib Syaikh keturunan as-Saqaf, Syekh Ahmad Jabarti, Syekh Ismail bin Abdullah al-Minkabawi, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas al-Manduri, dan masih banyak lagi. Selain itu, saudara sepupu Raja Ali Haji yang bernama Raja Ali bin Raja Ja’far menjadi Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau VIII (tahun 1845—1857) menggantikan saudaranya, Raja Abdurrahman bin Raja Haji Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau VII (tahun 1833—1845). 

Ketika Raja Ali Haji pulang dari Makkah, ia diminta oleh saudara sepupunya itu untuk mengajar agama Islam. Raja Ali bin Raja Ja’far juga ikut belajar kepada Raja Ali Haji. Setelah sekian lama mengajar, Raja Ali Haji disebutkan telah mengajar Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Fiqih, Ilmu Tasawuf, dan lain-lain. Raja Ali Haji mempunyai kepakaran yang tinggi dalam ilmu pengetahuan Islam, bahkan ia menjadi seorang ulama besar pada zamannya.

Banyak murid-murid Raja Ali Haji yang menjadi tokoh terkemuka, di antaranya adalah Raja Haji Abdullah yang kemudian menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IX tahun 1857—1858. Kemudian, Sayyid Syaikh bin Ahmad al-Hadi.

Pada keilmuan syariat, Raja Ali Haji bermazhabkan Syafie. Dalam iktikad, ia berpegang pada faham Syekh Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Sementara dalam amalan tasauf, ia adalah seorang penganut Tarekat Naqsyabandiyah dan mengamalkan selawat Dalail al-Khairat yang dinasabkan kepada Sayyid Sulaiman al-Jazuli, yang diamalkan secara beruntun sejak datuk-datuknya, terutama Raja Haji as-Syahidu fi Sabilillah. Menurut cerita, Raji Haji Fisabillah masih tetap memegang kitab solawat tersebut di tangannya, sementara pedang terhunus di tangan lainnya ketika akan meninggal.

Buku Raja Ali Haji yang berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa merupakan kamus bahasa Melayu Johor-Pahang-Riau-Lingga bagian pertama serta kamus ekabahasa yang pertama di Nusantara. Beliau juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, serta Syair Sultan Abdul Muluk

Di Melayu, khususnya Malaysia, Raja Ali Haji perlu diberikan penghargaan kerana penulisan sejarah Melayu dalam bukunya yang berjudul Tuhfat al-Nafis ("Bingkisan Berharga" tentang sejarah Melayu). Walaupun terbilang sangat lemah dari segi penulisan sejarah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, tetapi masih dapat dianggap sebagai suatu penggambaran peristiwa-peristiwa bersejarah Melayu yang lengkap. Ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa Tuhfat ditulis lebih awal oleh ayahnya, yakni Raja Ahmad yang juga sastrawan, kemudian Raja Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. 

Dalam bidang ketatanegaraan dan undang-undang, Raja Ali Haji juga menulis Mukaddimah fi Intizam (undang-undang dan politik). Hal itu sangat wajar karena Raja Ali Haji juga pernah menjabat sebagai penasihat kerajaan.

Raja Ali Haji meninggal pada tahun 1872 di kampung halamannya, Pulau Penyengat (bagian dari Kepulauan Riau), namun tanggal pasti kematiannya masih diperdebatkan. Di antara bukti yang paling dikenal adalah surat yang ditulis pada tahun 1872 ketika Raja Ali Haji menulis surat kepada Herman Von Der Wall, seorang sarjana budaya Belanda, yang kemudian meninggal di Tanjung Pinang pada tahun 1873.

Berikut ini contoh gurindam 12 yang ditulis dalam tulisan Arab Jawi dan Latin,

GURINDAM V

Ini gurindam pasal yang kelima:

Jika hendak mengenal orang berbangsa,

lihat kepada budi dan bahasa.


Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,

sangat memeliharakan yang sia-sia.


Jika hendak mengenal orang mulia,

lihatlah kepada kelakuan dia.

    

Jika hendak mengenal orang yang berilmu,

bertanya dan belajar tiadalah jemu.


Jika hendak mengenal orang yang berakal,

di dalam dunia mengambil bekal.


Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,

Iihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.


Tulisan Arab jadi dikutip dari Mengenal Tulisan Arab Melayu oleh M.Irfan Shofwani hal. 46


Jika kita mengamati Gurindam 12 dari segi struktur, kita akan menjumpai banyak kemiripan dengan syair-syair atau puisi-puisi dari Arab, baik dengan pola ghazal, ataupun dengan pola couplet. Selain urusan rima akhir yang terpola, pada beberapa baris nampak juga melakukan pola penyamaan suku kata dan penyamaan jumlah kata seperti yang sering kita jumpai dalam syair-syair Arab yang banyak menggunakan pola wazan.

Jika menyelami kedalaman maknanya, kita seperti sedang membaca aporisma, yakni ungkapan atau pernyataan singkat tentang prinsip atau kebenaran umum yang mudah diterima dan disampaikan dengan bahasa yang khas agar mudah diingat. Dengan kata lain, Gurindam 12 merupakan pepatah untuk siapapun yang membacanya. Ia mudah diingat dan isinya adalah pepatah yang kebenarannya bisa diterima dengan mudah oleh umum.

Berbeda dengan Gurindam 12, Raja Ali Haji, menggunakan pola Gazal atau Syair empat baris dalam Syair Abdul Muluk. Selain itu, rima pada Syair Abdul Muluk juga ketat, begitu juga dengan usaha penggunaan pola penghitungan suku kata dan jumlah kata pada setiap baris, nampak lebih kuat daripada Gurindam 12.

Perhatikan teks di samping yang diambil dari Syair Abdul Muluk bagian 1. Selain yang sudah disebutkan di atas, bahasa Melayu yang digunakan juga banyak mengandung kosakata serapan dari Arab yang kemudian menjadi kata serapan umum dalam bahasa Indonesia kini. 

Daftar Karya Raja Ali Haji, antara lain, Silsilah Melayu dan Bugis (1890); Tuhfat al-Nafis (1865); Bustanul-Katibin; Kitab Pengetahuan Bahasa; Gurindam Dua Belas; Syair Siti Shianah; Syair Suluh Pegawai; Syair Hukum Nikah; dan Syair Sultan Abdul Muluk. (Penyunting: Elis Susilawati)


  • Disarikan dari berbagai sumber oleh Angin Kamajaya untuk Semaan Puisi Episode 7. 


Lebih baru Lebih lama