Sastra dan Jalan Panjang Seorang Santri

Oleh Mahwi Air Tawar

Di dalam tubuh santri senantiasa mengalir “darah sastra”, khususnya syair. Bisakah Anda membayangkan; sedari menjelang tidur hingga bangun tidur, suara pertama yang didengar oleh santri adalah puisi. Tidak tanggung-tanggung, puisi yang didengarkan adalah puisi-puisi karya ulama klasik, di antaranya, karya Syaikh Zarnuji, Abunawas, dan lain-lain. 

Sejak belajar memakai dan melipat sarung, seorang santri tidak hanya akrab dengan puisi-puisi klasik Arab, tapi juga dengan syair-syair gubahan para wali, seperti Ilir-Ilir. Di masa lalu, syair-syair yang bersumber dari berbagai ulama Timur Tengah maupun Nusantara (baca: Indonesia) tidak hanya didengar, lalu disenandungkan secara bersama-sama, melainkan menjadi “alat” bagi para orang tua untuk mengingatkan anak-anaknya agar tidak melakukan hal-hal yang negatif. 

Muhamad Ramdon Dasuki, penulis novel “Hikayat Cinta Seorang Santri” dan “Cinta Seorang Santri di Negeri Orang” adalah alumni pesantren yang sejak usia belia akrab dengan berbagai syair, baik gubahan ulama dari Timur Tengah maupun wali-wali dan ulama Indonesia. Novel seri pertama yang berjudul “Hikayat Cinta Seorang Santri” dengan tebal 253 halaman dan seri kedua yang memiliki judul “Cinta Seorang Santri di Negeri Orang” setebal 395 halaman (boleh dibaca: di pesantren novel setebal ini cukup buat bantal tidur) merupakan salah satu bukti nyata adanya satu di antara sekian santri yang terus menggemakan syair-syair, bahkan pengalaman hidupnya selama menjadi santri hingga saat ini. 

Berikut Saya kutip syair Nusantara yang akrab dan terus berdenyut di nadi kehidupan sang novelis, Muhamad Ramdon Dasuki:

Lir-ilir, lir-ilir

Tandure wus sumilir

Tak ijo royo-royo

Tak senggo temanten anyar


Cah angon, cah angon

Penekno blimbing kuwi

Lunyu-lunyu yo penekno

Kanggo mbasuh dodotiro


Dodotiro, dodotiro

Kumitir bedhah ing pinggir

Dondomono jlumatono

Kanggo sebo mengko sore


Mumpung padhang rembulane

Mumpung jembar kalangane

Yo surako, surak hiyo


Di Jawa, menembang dan atau ditembangi bukanlah sesuatu yang asing, bahkan menjadi kewajiban bagi para orang tua ketika bermain maupun menjelang tidur. Dua novel Muhamad Ramdon Dasuki, tidak hanya mendedah bagaimana kehidupan sehari-hari para santri, tapi juga mengisahkan tentang hubungan kehidupan para santri, kiai, dan masyarakat sekitar. 

Syair atau tembang di atas sudah pasti bukan ciptaan Muhamad Ramdon Dasuki. Syair tersebut diciptakan oleh Kanjeng Sunan Bonang. Muhamad Ramdon Dasuki menuangkannya pada halaman 26 dalam novel “Hikayat Cinta Seorang Santri”. Penting diketahui, kutipan syair atau tembang di atas perlu, bahkan wajib dilakukan oleh novelis mengingat narasi dalam dua novelnya bercerita tentang perjalanan masa lalu serta latar yang melingkupinya adalah Bumi Jawa, tanah kelahiran sang novelis. 

Kita tidak dapat membayangkan alangkah berantakannya logika cerita dalam sebuah novel yang berkisah tentang kehidupan manusia generasi milineal dan generasi z yang di dalamnya terdapat kutipan tembang dan syair Jawad-an santri. Tidak masuk. Besar kemungkinan narasi yang dibangun akan terjebak seperti berbagai cerita dalam serial FTV, di mana ceritanya selalu berputar dan berulang. Misalnya, anak generasi z yang lahir dan besar di lingkungan Jakarta kemudian merantau ke desa dan bertemu calon kekasihnya di Jawa lengkap dengan pakaian belangkonnya. Logika-logika dalam narasi di atas tidak hanya kita dijumpai dalam siaran FTV, tapi juga dalam narasi para pemangku kekuasaan yang seringkali jauh api dari panggang. 

Kisah dalam novel Muhammad Ramdon berbeda dengan cerita lainnya. Dalam novelnya, Ia berhasil melepas latar belakang keilmuannya sehingga ia tidak berperan sebagai dekan yang berlatar belakang keilmuan filsafat. Dalam novel ini, ia berhasil masuk ke dalam dunia anak-anak Jawa dan kehidupan seorang santri yang kehidupannya tidak seperti digambarkan dalam seri reliji sinetron Indonesia. Dalam novel yang bentuk hurufnya sekecil kitab kuning di pesantren ini, Muhamad Ramdon Dasuki juga tidak memerankan dirinya sebagai orang yang pintar dalam berbagai ilmu agama, tidak juga memaksakan diri menggunakan kata-kata “antum, anak, ukhti, ikhwan, dan assalamualaikum” agar novelnya diakui sebagai novel islami dan berlatar belakang pesantren sebagaimana dalam beberapa novel populer Indonesia yang hanya karena menggunakan kata “antum, ana, ukhti, ana, dan assalamualaikum,” kemudian kritikus-kritikus dadakan yang tidak jelas sanadnya menyatakan bahwa karya tersebut berkategori sastra islami dan sastra pesantren. 

Dalam novel “Hikayat Cinta Seorang Santri” dan “Cinta Seorang Santri di Negeri Orang”, Muhamad Ramdon Dasuki, sebagaimana pendahulunya, KH. Saifuddin Zuhri, dalam novel “Guruku Orang-Orang Pesantren” yang terbit pertama tahun 1974, bercerita tentang kehidupan orang-orang pedesaan yang beririsan dengan para kiai dan guru-guru mengaji. Pun dalam novel yang di antaranya bercerita tentang “tokoh aku” dengan KH. Abdul Wahab Chasbullah di masa-masa menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam novelnya, KH. Saifuddin Zuhri jarang sekali menggunakan ungkapan kata yang diarab-arabkan, padahal Beliau dan Muhamad Ramdon Dasuki memiliki pengetahuan ilmu agama dengan bahasa sumber, bahasa Arab diluar kepala. Sebaliknya, keduanya menggunakan ungkapan dan idiom lokal, yang menurut kritikus sastra Indonesia, Subagiyo Sastrowardoyo adalah sastra manusia perbatasan.

Narasi dan idiom-idiom yang digunakan oleh Muhamad Ramdon Dasuki dalam dua novelnya tidak berkhianat, sekalipun ia seorang doctor. Ia tetap menggunakan kata-kata dan idiom-idiom lokal dalam kehidupan sehari-hari seorang santri. Bahkan, dalam novel kedua, ia pun membawa “tradisi” berkirim surat dengan seseorang yang istimewa, yang ketika di pesantren hanya dapat disapa melalui sepucuk surat, itu pun harus sembunyi-sembunyi agar surat rahasia, yakni surat cinta itu tidak dibacakan di hadapan ratusan, bahkan ribuan santri. 

Dalam novel “Hikayat Cinta Seorang Santri” dan “Cinta Seorang Santri di Negeri Orang”, Muhamad Ramdon Dasuki tidak hanya berhasil membawa kita masuk ke dalam dunia pedalaman, dunia yang penuh keseimbangan antara hubungan manusia dan manusia lainnya serta manusia dan alam semesta raya. Lebih jauh, Muhamad Ramdon Dasuki berhasil mengajak imajinasi kita masuk ke dalam kehidupan santri yang mencintai dan dicintai melalui jalan sunyi. Dengan demikian, meski keduanya terbentang jarak cinta tetaplah suci adanya dan luka yang menyertai menjadi tombak untuk menembus lapisan gelap langit bagi bulir-bulir doanya yang dipanjatkan di jalan panjang kerinduan. Mengutip puisi Acep Zamzam Noer, penyair Indonesia yang juga tumbuh dan besar di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung;

Setelah mencintaimu, aku pergi

Meninggalkan kotamu yang berdebu

Setelah tumpah semua rindu, semua keluhku

Engkau bersedia menampung kata-kataku yang kelu


Setelah mencintaimu, kekasihku, aku berlalu

Meninggalkanmu yang terpaku di pintu

Setelah punah segala ragu, segala yang tak menentu

Akhirnya tahu, jarak kita cuma waktu


Setelah tersedu di Stasiun Tugu

Setelah menulis sajak-sajak untukmu

Aku pun bergegas memburu kereta kumal itu

Yang akan membawaku menuju medan perburuan baru


(Acep Zamzam Noer: Menjadi Penyair Lagi) 


Penyunting: Elis Susilawati



Lebih baru Lebih lama