Selengkung bulan mengambang pucat di atas wuwungan.
Langkah Mat Tanjar terhenti di mulut halaman. Keraguan semakin kuat meringkusnya. Menahan geraknya. Tatapannya lurus ke depan, tak mampu menembus tirai bambu yang menutupi muka langgar, dan menyembunyikan penghuni di dalam. Samar-samar Mat Tanjar mendengar suara perempuan mengeja huruf hijaiyah. Satu-satu. Pelan-pelan.
“Alif, ba’, ta’....”
Diulangnya sekali lagi. Lagi, dan lagi. Tak terdengar suara mengiringi.
Sejak suaminya meninggal dua tahun lalu, perempuan itu hanya tinggal bersama anaknya yang saat ini mungkin berusia sekitar tiga tahunan. Orangtuanya sudah meninggal. Kabar yang tersiar, duda-duda yang datang hendak melamar dibiarkan pulang memanggul kekecewaan.
Ow, siapakah yang akan berhasil menaklukkan perempuan itu, kalau sepekan lalu juragan rokok juga pulang setelah mengalami penolakan? Padahal dia bisa mandi uang, dan tidur berkasur emas untuk sekadar jadi istri kedua.
Dia memang bukan pesolek. Kulitnya tidak sebening kulit wajah penjaga toko kosmetik. Namun kecantikannya terpancar dari cara dia bersantun, bertutur halus, tidak mudah tergoda, dan bersikap hormat pada siapa saja. Meskipun berdandan seadanya, berpakaian sewajarnya, perempuan itu tetap memesona. Wajar banyak lelaki hendak mempersunting meskipun sudah berstatus janda.
Mat Tanjar mendesah setengah putus asa.
Kalau dibandingkan, siapalah dirinya? Mat Tanjar tentu kalah jauh dibandingkan lelaki-lelaki bermodal yang datang melamar. Dengan tubuh ringkih seperti orang kurang makan, wajah berlubang-lubang dangkal bekas cacar, gigi menonjol, dan kalau tertawa akan tampaklah seluruh gusi depannya, Mat Tanjar sungguh tidak yakin perempuan itu akan tertarik meskipun dibawakan dua pasang sapi hasil taruhan. Matrah dan Dulasim sering meledeknya sebagai hasil produk gagal. Dasar murtad!
Kehidupannnya juga tidak mapan. Dulu, istrinya saja menuntut cerai, dan memilih lelaki yang lebih tampan gara-gara kalung, dan gelangnya lenyap dibuat taruhan.
Mat Tanjar menyumpah-nyumpah dalam hati. Lelaki itu mengutuk penolakan Matrah dan Dulasim untuk menjadikan pemilu bulan depan sebagai ajang taruhan.
“Siapa pun dari kita pasti akan memegang paslon pilihan Ke Madrikah, karena pilihan masyarakat pasti condong ke sana.” Tolak Dulasim.
“Betul. Suara Ke Madrikah sama saja dengan suara kemenangan. Beliau memilih paslon satu, ya masyarakat ikuti. Memilih paslon dua, masyarakat juga manut saja. Siapa yang berani melawan suara Ke Madrikah?” Dukung Matrah.
“Itu ‘kan kemenangan lokal. Kita bertaruh untuk kemenangan pusat.” Mat Tanjar bersikukuh.
“Tidak seru! Penghitungan suara tetap lebih murni di tingkat lokal, karena kita lebih mudah memantaunya untuk mencegah kecurangan!”
Dulasim mengangguk sepakat.
“Kita bertaruh untuk hal lain, yang lebih seru dan nyata.” Matrah mengembangkan senyum, memancing rasa penasaran Mat Tanjar.
“Bertaruh tentang apa?”
“Juleha!”
“Juleha?”
“Iya!”
Mat Tanjar tercekat demi mendengar penjelasan mereka selanjutnya.
Sebenarnya, bagi Mat Tanjar ini bukan hanya perkara tertarik atau tidak. Bukan perkara menang-kalah. Mat Tanjar tidak mau dibilang banci hanya gara-gara menolak tantangan dua temannya. Kejantanan akan ditakar dari seberani apa mengakui kegagalan.
Mat Tanjar sadar, Matrah dan Dulasim sedang menguji nyalinya, bukan sekadar untuk merebut kembali sapi mereka yang berhasil Mat Tanjar giring setelah calon kalebun yang mereka jagokan kalah dalam pemilihan.
Akan tetapi, ini sudah malam ketiga Mat Tanjar disergap keraguan di tempat yang sama. Langkahnya terpatri di mulut halaman rumah Juleha. Kaki Mat Tanjar seolah menjejak seember getah. Maju atau mundur sama-sama susah. Ia merasa jadi orang bodoh yang datang memikul jala besar untuk menjaring angin.
Sebentar Mat Tanjar menoleh ke belakang, seolah mendengar Matrah dan Dulasim tengah tertawa mengejek di balik punggungnya. Namun Mat Tanjar tidak melihat sesiapa. Seruas jalan sepi terselubung remang. Tidak ada orang.
Mat Tanjar terpatung sendiri. Angin berdesir membelai wajah. Selengkung bulan dikepung segerombol awan tipis. Cahayanya semakin buram.
“Kalau kau mengharapkan kemenangan dalam pertaruhan kali ini, sama saja dengan malappae mano’ ngabang(1), hahaha,” suara Matrah kembali mengusik telinga Mat Tanjar.
“Bukan! Tapi seperti Ajam tokong menta bunto’(2), ha ha ha” Dulasim menimpali, disusul tawanya yang nyaring.
“Siap-siap saja sapi-sapi yang kau giring kemarin kembali ke kandang kami,” ujar Matrah, begitu yakin.
Mat Tanjar kembali mengumpat dalam hati mengingat tantangan kedua temannya. Hatinya berang. Ia tidak tahu apakah Dulasim dan Matrah sudah menginjakkan kaki di halaman itu. Ataukah, jangan-jangan salah seorang dari mereka berhasil menaklukkan Juleha?
Meskipun suka gonta-ganti istri, dompet Dulasim memang tebal. Usahanya sebagai pamasok pasir pasirian cukup lancar. Dia juga memiliki dua dump truck yang dipasrahkan pada keponakannya. Tinggal menerima setoran.
Sementara Matrah, meskipun hidup pas-pasan, duda baru itu punya modal tampang untuk ditawarkan.
Seandainya Juleha memilih salah satu sorang dari mereka....
Puah!
Mat Tanjar meludah. Kedongkolannya membuncah.
Sementara dari langgar, suara perempuan mengeja huruf hijaiyah masih samar terdengar. Kadang terhenti di huruf Kha’, lalu diulangnya lagi dari Alif, Ba’, Ta’, meskipun tidak terdengar suara mengikuti ejaannya.
***
Mat Tanjar memerhatikan wajahnya di depan cermin. Menarik sudut bibirnya berkali-kali. Tetap saja senyum yang menggaris di bibirnya tidak menampakkan perbaikan di wajah yang terpantul dalam cermin. Justru lelipat kulit pipinya yang menunjukkan usia tak lagi muda. Giginya menyembul dari balik bibir hitam yang tertarik ke samping. Senyumnya hambar.
Mat Tanjar mendengus. Mencabut senyumnya begitu saja. Ia buru-buru berpaling, membalikkan badan, tidak peduli pada bayangan wajahnya sendiri. Diambilnya songkok yang digantung di paku dinding. Malam ini Mat Tanjar akan pergi ke rumah Ke Madrikah.
Tiga hari lalu, Mat Tanjar memutuskan untuk meminta bantuan Ke Madrikah menjadi perantara meminang Juleha untuknya. Seluruh warga tahu, barangsiapa yang meminta bantuan Kiai karismatik itu untuk meminang seseorang, selalu diterima pihak perempuan. Entah karena sungkan menolak, atau memang manjurnya sebuah doa.
Semula Mat Tanjar ragu. Selama ini, Ke Madrikah selalu dimintai bantuan untuk niat yang baik-baik, bukan taruhan. Namun apa hendak dipilih, Ia tidak ingin jadi pecundang dalam pertaruhan ini. Dengar-dengar, Dulasim sudah membelikan kalung dan gelang sekian gram untuk memikat sang incaran. Matrah sudah memilihkan baju-baju mahal dan mobil-mobilan untuk anaknya.
Mat Tanjar sendiri, selain sapi di kandang, hanya memiliki setangkai pinang yang dipanjatnya di belakang rumah. Tiga pinang berwarna senja, yang menandakan pernikahan akan segera dilangsungkan kalau memang lamaran diterima.
Mat Tanjar tidak ingin kalah. Semoga saja lamaran Ke Madrikah untuknya diterima. Janji Ke Madrikah, jawaban tersebut bisa Mat Tanjar peroleh malam ini. Selepas salat Isya, Mat Tanjar diminta datang ke kediaman Ke Madrikah.
Selesai mengoleskan minyak wangi di bagian ketiak, meminum air putih dua teguk, Mat Tanjar melangkah keluar. Setandan pisang raja yang disandarkan ke tiang beranda disambarnya.
Lenguhan panjang sepasang sapi di kandang seolah mengucap salam atas kepergian Mat Tanjar. Langkahnya lebar melintasi halaman.
***
Mat Tanjar sedikit tergagap begitu menginjak halaman rumah Ke Madrikah. Sudah ada dua tamu bersila di langgar, dan ketika Mat Tanjar menguluk salam, mereka menoleh bersamaan; Dulasim dan Matrah.
Ke Madrikah menyambut Mat Tanjar dengan senyum lebar. Mat Tanjar meletakkan setandang pisang di beranda rumah, lalu buru-buru naik ke langgar, menyalami Ke Madrikah. Secangkir kopi sudah tersedia untuknya.
Matrah dan Dulasim menggeser duduknya, memberi tempat pada Mat Tanjar. Mat Tanjar duduk bersila memendam pertanyaan-pertanyaan menggelembung di kepalanya. Tak jarang lirikan mata ketiga tamu Ke Madrikah itu saling bertabrakan.
Mat Tanjar tersenyum sinis dalam hati. Baru Ia tahu kalau Dulasim dan Matrah ternyata juga meminta bantuan Ke Madrikah.
Sebentar Ke Madrikah mendehem. Sebelum angkat bicara, Nye Madrikah datang membawakan sepiring singkong goreng yang masih mengepul. Ke Madrikah menyilakan tamunya mencicipi.
Mat Tanjar, Matrah dan Dulasim, masing-masing mengambil satu potong.
“Lamaran diterima,” ujar Ke Madrikah, tenang namun jelas.
Uhuk! Hampir saja Mat Tanjar tersedak. Sementara Dulasim menghentikan kunyahan singkongnya, menatap Ke Madrikah dengan mata bulat. Mata Matrah juga membelalak.
“Besok pagi, bawalah kemari sapi-sapi kalian. Kita sembelih bersama-sama di sini,” lanjut Ke Madrikah, tersenyum.
“Maksudnya?” Mat Tanjar tidak mengerti.
“Bukankah kalian memiliki sapi-sapi yang siap dijadikan taruhan?”
Tiga petaruh saling pandang sebentar. Lalu kepala mereka menunduk demi mendapat pertanyaan itu. Jangankan bertanya lamaran untuk siapa yang diterima, menatap wajah Ke Madrikah saja kali ini mereka tidak berani.
“Juleha menerima lamaranku untuk jadi istri kedua. Besok malam ijabqobul-nya. Sapi-sapi itu bisa kita sembelih untuk para undangan, sebagai sumbangan kalian.”
Mat Tanjar, Dulasim dan Matrah mengangkat wajah bersamaan. Mulut mereka ternganga.
Ke Madrikah tersenyum tanpa dosa, mengelus-elus jenggotnya yang hampir memutih semua.
***
Catatan Kaki:
- Malappae mano’ ngabang: membumbui burung yang terbang mengangkasa (peribahasa Madura).
- Ajam tokong menta bunto’: ayam buntung minta ekor (peribahasa Madura).
Penulis:
Nama lahir Munawaroh Masyari atau yang sering lebih dikenal sebagai Muna Masyari. Ia adalah seorang penulis, dan sastrawan Indonesia yang berasal dari Pamekasan, Madura. Salah satau tulisannya antara lain: cerpen berjudul "Kasur Tanah" terbit di koran Kompas, dan menjadi salah satu cerpen Pilihan Kompas pada tahun 2017.
Email: masyarimuna@gmail.com