Cerpen: Malam pada Sebuah Meja Makan

Oleh Taufiq Wr. Hidayat

UNTUNGNYA dunia tak hanya cerita perihal politik. Masih ada yang bukan politik. Ada tubuh-tubuh artis porno, kelamin, dan dada yang tersengal. Untungnya dunia tak hanya perang. Masih ada orang yang mencemaskan hari berlibur dan memperdebatkan ketiak seksi artis ibu kota. Atau masih ada pula orang yang memikirkan akhirat, suatu keadaan kekal sesudah kematian.

“Tapi kenapa orang gemar memikirkan akhirat?” tanya Hans.

“Ketakberdayaan. Mungkin hidup yang tak punya jalan keluar. Tapi ingat! Orang yang tak hanya mikir akhirat, juga tak pernah punya jalan keluar, kecuali pikiran pintas yang mbulet. Jadi tak perlu merendahkan mereka yang hanya mikir dan ngejar-ngejar akhirat, toh yang mikir dunia pun terjebak di dalam dunia itu sendiri. Keduanya memang selalu ribut kayak kucing dan anjing. Dunia dan akhirat sama-sama sebuah jebakan, dan selalu terperangkap omong kosong sosial-politik yang juga tak pernah punya jalan keluar. Maka sudahilah!” ujar seseorang yang bernama Pak Cokri.

“Kenalkan, nama saya Pak. Cokri. Orang kaya. Gemar memberi hadiah sepeda. Orang miskin perlu sepeda. Kalau ke pasar tidak susah,” ujar Pak. Cokri.

Hans diam saja melihat wajah Pak. Cokri yang lugu dan tampak bodoh. Tapi sebenarnya penjahat.

“Bagaimana kau tahu kalau Pak. Cokri sebenarnya penjahat?” tanya saya.

“Sudah saya buktikan sendiri. Pak. Cokri itu tukang peras. Dan menjual obat terlarang,” jawab Hans berbisik pelan. Ia merasa takut pembicaraannya perihal Pak. Cokri didengar orang lain.

“Awas! Pak. Cokri punya banyak mata-mata!” bisik Hans waspada.

“Ceritakan padaku perihal perjamuan makan yang super mewah itu. Bukankah kata orang, tak pernah ada makan siang gratis?” kataku pada Hans.

“Baiklah,” ujar Hans menahan tawa pada bibirnya.

Pertemuan itu menggetarkan, mencipta gempa dalam dada. Setidaknya, jika pertemuan membangkitkan suatu ingatan. Denting gelas, bunyi anggur dituangkan, musik. Lampu-lampu. Rindu menyusun rencana perihal dada dan kelamin yang purba.

Begitu cerita Labudah. Cerita Labudah diceritakan ulang oleh orang yang bernama Hans kepadaku.

"Apakah makan siang itu melibatkan orang bernama Jamalut?" tanyaku.

"Labudah tak menyebut Jamalut dalam ceritanya. Ia cuma menyebut nama perempuan, namanya... Tak jelas!" jawab Hans tak berhasil menghadirkan nama perempuan yang disebutkan Labudah dalam ingatannya.

***

DALAM perjamuan itu, ada meja panjang dipenuhi binatang laut, binatang ternak, dan apel. Irisan bawang, wortel, dan bayam. Kuah dengan warna kecokelatan, dan potongan-potongan kaki ayam, kaki sapi, dan kijang. Di atas meja itu pula, jutaan hektar hutan ditebang demi sepiring menu makan seorang kepala negara. Yang dalam kepalanya berdiri megah ibu kota yang dibangun dengan corcoran dan lonjoran-lonjoran besi.

Lalu lilin dinyalakan agar makanan tak dihinggapi lalat. Orang-orang berdiri di antara meja, sebelum makan. Tangan-tangan empuk berkuku bening memegang gelas. Gelas-gelas berisi anggur berwarna merah darah. Mereka membalut tubuh dengan jas mahal, dan di antara mereka, ada juga orang yang berjenggot itu. Dan panggung. Orang-orang tiba-tiba merasa gagah, bagai seorang sutradara yang mengatur bencana, memerintahkan petugas lampu menyorotkan lampu ke atas panggung, dan menciptakan patung protagonis yang pasrah dari tubuh dan nasib manusia, membangun sandiwara di atas sandiwara¹).

Di panggung, orang-orang berjoget. Dengan dansa, pesta pora, dan festival-festival, segala urusan kemiskinan dan keadilan selesai! Dan seorang pemimpin akan dicintai seluruh rakyatnya²). Orang tak perlu lagi menunggu berabad-abad di depan pintu keadilan yang dijaga petugas bersenjata, yang pintu keadilan itu menyimpan ribuan pintu lagi di dalamnya, ribuan lorong berliku dan panjang, ribuan laci, jutaan berkas yang menumpuk³). Kata seseorang dalam perjamuan makan itu, entah siapa.

Dan kota-kota terbenam, tatkala malam dalam lampu-lampunya yang muram. Hidup bagai pedih patah hati yang mustahil disembuhkan lagi. Kenangan suram puluhan tahun silam, kembali hadir perlahan dalam ingatan, diam-diam menjelma dalam kenyataan. Perihal malam yang dijilat lidah orang-orang terbuang, penguasaan, bunyi-bunyi senjata, silang merah, dan jalan-jalan yang terbenam.

Labudah diminta menyampaikan salam pembuka sebelum acara perjamuan makan yang mengesankan itu dimulai. Pada jas Labudah, aroma malam masih lengket dan kental. Seperti membisikkan kegelapan. Dan di dalam kepalanya, kata-kata sibuk menata retorika.

Labudah orang besar, orang kecil pasti takut padanya. Ia didampingi empat orang pengawal. Dan seorang perempuan. Perempuan muda, janda. Dulu perempuan itu kekasih Labudah.

Labudah selalu membutuhkan arloji. Matanya selalu melirik arloji dan belahan dada mantan kekasihnya. Ia mengenang suatu pengkhianatan cinta. Pengkhianatan dan pengkhianat cinta yang kejam, bangsat, dan sampah. Terkutuk! Bisik Labudah pada dirinya sendiri. Tapi di dunia ini, siapa yang bukan pengkhianat? Siapa yang masih menjunjung kesetiaan setinggi langit? Kesetiaan itu omong kosong! Tiap orang yang ingin melanjutkan hidup, nyaman, dan gagah, pasti berkhianat. Tinggal siapa mengkhianati siapa. Dan tinggal siapa yang lebih dahulu berkhianat. Tinggal kapan, kau akhirnya menjadi pengkhianat juga. Di situ, kalah dan menang hanya perjudian. Seperti politik. Begitu pikir Labudah.

Bangsat! Entah kata siapa.

Labudah diam-diam menikmati tubuh ranum mantan kekasihnya dengan lirikan-lirikan bernafsu tepat di belahan dada yang sedikit terbuka. Labudah bagai berada di masa lalu, masa ketika perempuan itu membisikkan lagu cinta di telinganya. Sebelum sega-galanya dihancurkan oleh suatu pengkhianatan keji dan menyakitkan hati.

Tapi Labudah bukan orang biasa. Ia manusia super. Manusia super yang takut hantu. Manusia yang begitu rapi, santun, dan baik hati di tempat ramai. Tapi ganas dan bejat di tempat sepi. Ia tak ingin kedoknya terbongkar, sehingga selalu sibuk mengerahkan orang-orang bersenjata guna menjaga kerahasiaan dirinya yang ganas dan bernafsu bejat di tempat sepi, ketika tak dilihat siapa-siapa. Segala nafsu dan muslihat, segala ingatan dan penyelewengan, harus dikunci di dalam pintu baja, dijaga dengan senjata dan nyawa manusia. Labudah menyebutnya Rahasia Negara. Jari-jari Labudah bagai potongan-potongan besi. Matanya mengandung kompor gas, dan nyawa orang-orang yang dihilangkan. Dan asap dari jutaan hektar hutan yang ditebang.

"Aromamu wangi siang ini," bisik Labudah tepat pada lobang telinga perempuan itu.

Perempuan itu tersenyum geli. Senyum yang tidak terjelaskan, seperti dongeng yang panjang.

Labudah membuka perjamuan makan orang-orang besar itu.

"Salam bahagia, orang-orang besar yang terhormat. Selamat datang dalam perjamuan makan yang mengesankan. Perjamuan makan yang menghabiskan tenaga listrik luar biasa untuk menyalakan AC, kulkas, dan lampu-lampu besar agar ruangan agung ini terang benderang. Maka nikmatilah santapan di meja. Selamat berbahagia. Dan mulai hari ini, orang-orang kecil tak perlu kelaparan lagi, negara menyediakan makan. Makan. Dan makan. Tapi negara punya hak untuk meminta laporan. Negara tak akan jalan tanpa laporan. Laporan. Laporkan. Dan melaporkan. Atau segera melapor. Itu penting!" ucap Labudah.

“Lapor!”
“Laporan diterima!”
“Laksanakan!”

Labudah memungkasi pidato yang gelombang suaranya sampai keluar jendela, pada kota yang tak pernah selesai ditelan ketaksanggupan pada nasib, panas, dan gas. Kota yang terus menyimpan kekumuhan, meski telah berabad-abad negara berganti kepala dan mengorbankan kepala-kepala, menghajar para penggembira, dan mencaci-maki keadilan.

Orang-orang besar tertawa senang pada perjamuan makan itu. Itu bukan perjamuan makan orang-orang kecil yang tak butuh energi listrik negara. Tapi itulah jamuan makan orang-orang besar yang menyedot tenaga listrik jutaan Vol. Energi besar dan mutakhir. Seperti nuklir.

***

"SIAPA Labudah dalam jamuan makan mewah yang menyedot listrik negara itu?" tanyaku.
"Sebagai pembuka acara, mewakili tuan rumah," jawab Hans.
“Apa yang dibahas dalam jamuan makan itu?"
"Ramah tamah dan jabat tangan. Pertemuan hebat penuh orang-orang besar. Tak ada orang-orang kecil. Di situ hanya orang-orang besar yang gemar berjabat tangan dan cuci tangan.”

***

DALAM pertemuan itu, seorang berkepala botak mengamati gerak-gerik Labudah dari jauh. Orang itu bukan Jamalut. Labudah sadar dirinya diamati.

Labudah tertawa-tawa bersama perempuan itu. Labudah berkhayal dua istri dan puluhan simpanan. Orang berkepala botak yang bukan Jamalut mengamati Labudah. Dia perhatikan bekas goresan di bawah bibir Labudah. Di saku jas orang berkepala botak, ada pisau tajam. Ia akan menikam atau mengiris sesuatu.

Labudah sadar dirinya diperhatikan. Tapi Ia terus tertawa bersama perempuan itu dan orang-orang besar lainnya.

Androrid Labudah berbunyi. Nomor asing!
"Halo?"
"Halo! Tuan Labudah, negara sedang tak membutuhkan meja makan!
“halo?”
"Ini siapa? Halo? Halo?"

Telepon terputus. Labudah tak hendak menelepon balik. Tapi orang berkepala botak terus mengamati Labudah dengan seksama dan hati yang geram.

Menurut Hans, sebagaimana diceritakan Labudah kepadanya, perjamuan makan orang-orang besar berjalan baik. Artis-artis cantik tingkat nasional dan dua perempuan bintang porno datang meramaikan pesta dansa dalam jamuan makan tersebut, kulit mereka berkilau, belahan-belahan dada di bawah lampu terang yang menyedot tenaga listrik negara. Dan paha yang berkilau-kilau. Di sana dada, di mana-mana dada, paha, dan pinggul yang bergoyang. Dalam perjamuan makan itu, Labudah diminta berdoa suci di antara dada dan parfum yang wangi. Labudah berdoa, dia pandai memanjatkan doa sampai tinggi sekali.

Tapi suara ganjil dari android Labudah selalu mengusik pikirannya. Suara aneh, orang berkepala botak misterius yang mengamati Labudah dengan mata tajam dan geram. Ingatan itu terus mendiami kepala Labudah, menciptakan jalan gelap dalam otaknya. Dan orang-orang yang kebingungan.

Suara dari android itu membuntuti telinga Labudah: negara sedang tak membutuhkan meja makan, Tuan!

Hans menutup ceritanya. Petang. Mulut Hans meminta tembakau yang harus dinyalakan dengan korek api. Dan segelas kopi.

Stasiun Rogojampi, 2016-2024

cerita ini seharusnya memang tak pernah ada dalam kenyataan.

Catatan:

1). Kisah tragis ini diceritakan dalam drama berjudul “CATASTROPHE”, karya SAMUEL BECKETT, 1982. Karya drama ini ia tulis buat Václav Havel, politikus dan dramawan Ceko.  Václav Havel adalah Presiden Republik Ceko yang pertama, Presiden Cekoslovakia ke-10. Beckett adalah sastrawan agung dari Irlandi, ia menulis dalam Bahasa Inggris dan Prancis. Karyanya yang termashur adalah “Waiting for Godot”.

2). Julius Caesar pernah mengatakan, jika seorang pemimpin ingin dicintai rakyat, kuncinya dua: kasih roti dan sirkus.

3). Kisah tragis dan pahit itu adalah cerita mashur Kafka, sebuah cerita pendek berjudul “Di Penjelang Hukum” (Before The Law/Vor Dem Gesetz), 1915.


Lebih baru Lebih lama