Oleh A. Muttaqin
Malam itu, Pardi dan Paimo berdebat perihal bentuk hidung yang paling bagus. Menurut Pardi, hidung yang bagus adalah yang mancung. Namun Paimo tetap teguh dengan pendapatnya, bahwa hidung yang bagus adalah yang sedang, yang tengah-tengah, tidak mancung dan tidak pula pesek.
“Semprul! Biar Sampean ajukan 1001 alasan, tetap tak bisa membantah bahwa hidung mancung tetap yang terbaik.” kata Pardi.
“Gak bisa dong. Jika begitu, hidung yang paling bagus adalah hidung gajah. Sebab gajahlah yang paling mancung hidungnya.” bantah Paimo.
Perdebatan mereka tak menemukan jalan tengah. Macet.
Paimo lalu meninggalkan rumah Pardi tanpa permisi. Kopi yang tadi dihidangkan istri Pardi masih penuh. Pisang goreng dan kacang rebus juga tak disentuh. Paimo jengkel betul dengan Pardi, sebab kawan kentalnya itu seperti terang-terangan menghina dirinya yang memang sejak lahir dikaruniai hidung tumbes.
Sementara itu, Pardi yang ditinggal Paimo begitu saja tanpa permisi, jadi tak enak hati.
Pardi sadar bahwa temannya itu tersinggung. Ia menyesal sekali. Tapi apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur. Dan bubur tak bisa menjadi beras lagi. Malam itu, Pardi mencoba melupakan percekcokan itu dengan mandi. Untuk itu, ia nekat melawan dingin, menggerojok sekujur tubuhnya agar segar kembali.
Tanpa ragu lagi, Pardi pun mengambil handuk dan melesat ke kamar mandi. Ia buka shower dan mulai membasuh telapak kaki. Ketahuilah, Pardi memang biasa mengawali mandi dengan membasuh telapak kaki terlebih dahulu. Setelah membasuh kaki, Pardi baru membasahi betis, paha, dada, punggung, dan pundak. Setelah kaki sampai pundak basah, Pardi menunggu beberapa saat, merasakan hangat turun dari ubun-ubunnya, baru Ia membasahi kepalanya.
Itu mungkin teknik mandi yang bertele-tele. Tapi seperti itulah Pardi mandi setiap hari. Pardi percaya bahwa itulah cara mandi yang betul. Dari bawah ke atas. Sebab bila Ia langsung mengguyur kepalanya, bisa jadi kepalanya belum siap, seperti bohlam panas yang pecah karena kena air tiba-tiba. Itulah yang menurut Pardi, penyebab kepala pening. Pardi tak tahu dari mana Ia mendapat “ilmu mandi” itu pertama kali. Yang jelas, kebiasaan ini telah Ia lakukan sejak Ia kecil, tepatnya sejak Ia kuat menimbah air di sumur di belakang rumahnya dan mandi di sana.
Anehnya, malam itu, setelah mandi, hidung Pardi langsung tersumbat.
Pardi tak tahu persis, ini akibat mandi terlalu malam atau karena kualat, sebab Ia—walau tanpa terang-terangan—telah menghina hidung Paimo. Pardi berkeras mencoba untuk bernafas, tapi dua lubang hidungnya seperti tersumbat batu.
Karena hidungnya tak bisa menghirup udara, Pardi mencoba mendorong keluar udara yang dihirup dari mulutnya, keluar melalui hidung. Namun usaha Pardi ini sia-sia belaka. Dan, ketika Ia mencoba mendorong sekuat tenaga, darah kental malah keluar dari hidungnya.
Lantaran tak ingin membangukan istrinya yang tengah tertidur, pelan-pelan Pardi masuk ke kamarnya dan mengambil balsam. Ia mengoleskan sedikit balsam ke lubang hidungnya dan mencoba bernafas, merasakan udara hangat bercampur balsam masuk ke hidungnya. Tapi usaha ini juga percuma. Kedua lubang hidungnya itu tetap mampet, buntu. Pardi menjadi jengkel. Sekali lagi Ia mengambil nafas melewati mulut dan mendorong keras-keras keluar melalui hidung.
Darah kental kembali menyembul dari hidungnya.
Pardi menjadi marah.
Sambil mengusap darah dengan lengan bajunya, Ia berjalan ke dapur. Di dapur, Ia mengambil sebilah pisau daging dan langsung memotong hidungnya. Dalam sekejap pisau itu telah memisahkan batang hidung dari wajah Pardi. Darah segar pun mengalir menuruni bibirnya, membasahi bajunya. Walau sekuat tenaga Ia mencoba menahan sakitnya, namun Ia paling tak sanggup menahan tatkala matanya mengeluarkan air mata.
Pardi lalu berlari menuju wastafel.
Ia melihat wajahnya di kaca tanpa batang hidung lagi.
Tanpa batang hidung, tentu wajah Pardi jadi tampak lucu. Tapi Pardi tak bisa tertawa. Tanpa sadar, matanya juga masih mengeluarkan air mata. Pardi terus memerhatikan wajahnya di kaca. Dan Ia seolah tak mengenali dirinya. Wajahnya telah berubah. Betul-betul berubah.
Menatap wajahnya, Pardi teringat Paimo, kawan kentalnya yang mengatakan bahwa hidung yang baik adalah hidung yang sedang. Tengah-tengah. Tidak terlalu mancung dan tidak terlalu pesek. Namun Pardi tetap tak bisa menjadi “yang-tengah-tengah.” Sebelum dipotong, hidung Pardi terlalu mancung. Dan kini hidungnya jadi terlalu pesek.
Sekali lagi Pardi melihat hidungnya di kaca, kemudian memikirkan pendapat Paimo, kemudian melihat hidungnya lagi, memikirkan pendapat Paimo lagi, lalu memikirkan istri dan anaknya yang akan pingsan melihat Pardi tak berbatang hidung lagi.
Rupanya, pikiran yang berganti-ganti itu seperti mencairkan batu yang tadi menyumbat hidung Pardi. Kini lubang hidungnya yang tanpa batang hidung itu pelan-pelan bisa menghirup nafas kembali dan Pardi tak perlu lagi mendorong kuat-kuat udara yang Ia hirup dari mulut keluar melaluai hidungnya.
Setelah sekian lama berdiri di depan kaca dengan pikiran yang berganti-ganti, pelan-pelan, reda pula rasa sakit pada bekas irisan hidungnya. Pardi lalu membuang batang hidungnya yang tanpa sadar masih Ia pegang itu ke keranjang sampah. Kini batang hidungnya memang telah tak ada lagi. Namun Ia tetap bersyukur sebab tak merasakan sakitnya lagi.
Pardi jadi tak peduli.
Sambil tersenyum, Pardi lalu pergi ke kamar anaknya. Ia kemudian mendekat ke keranjang mainan anaknya dan mengambil hidung palsu dari sebuah topeng yang berbahan plastik. Pardi mencabut hidung plastik dari topeng itu dan memasangkan ke wajahnya.
Setelah hidung palsu itu terpasang betul di wajahnya, Pardi melihat kaca dan bergumam: “Ahamhuhihah!!! Boheh huha…”
Ia mendengar suaranya berubah.
Sekejap Pardi tertawa, lalu menyusul istrinya ke ranjang dan mencoba tidur dengan tenang.
A. Muttaqin, menulis puisi dan cerita pendek. Selain menulis, ia juga tekun merawat bonsai, perkutut, dan kura-kura.