Cerpen: Wulandari

Oleh M. Yus Yunus

Kesibukan membawa hari-hari yang tidak biasa menjadi amat sangat biasa. Dengan bantuan nyalanya lampu yang redup, aku bergegas memburu waktu. Tapi bisikan jarum jam di muka dinding sana terus saja melipat masalah. Berat sekujur badan dipenuhi keringat. Berkas berserakan membawa kesibukan yang entah kepan ujungnya, di meja, di pundak dan di kepala.

Remang sekali kamarku diterpa malam yang penuh hitungan. Banyak sekali angka-angka pada berkas-berkas sialan itu. Ada urusan apa aku dengan mereka, kenapa tulisan-tulisan dan nominal-nominal itu berpengaruh dalam hidupku. Lihatlah, bukankah mereka hanyalah titik hitam yang menempel dalam layar kaca.

Sesungguhnya aku sudah sangat bosan mendengar kata-kata bijak kepala cabang. Karena aku tahu, semua yang ku hadapi ini untuk apa. Angka rupiah dalam slip gaji tidak boleh berkurang. Demi menjawab pertanyaan orang tua itu.

Dalam jamuan malam itu, aku duduk di ruang tamu menghadap wajahnya yang enggan melihat keberadaanku. Matanya menatap tajam ke langit-langit, entah apa yang diperhatikannya. Sepertinya orang tua itu terpaksa meluangkan waktu demi anaknya. Sementara Wulandari duduk disebelahnya, menatap kedua sepatu hitamku yang sudah lama kusam tanpa perawatan. Suasana di ruangan itu semakin tidak mengindahkan kehadiran tubuh ini sesaat setelah mulut bapaknya berkata. "Jadi adik ini seorang administrasi?" Jawabku mengangguk saja. Kembali beliau melempar pertanyaan baru yang sama artinya dengan keragu-raguan, "saran bapak sih, jangan terlalu lama pacarannya. Dan sebenarnya bapak tidak mau menjodohkan anak bapak dengan lain orang, kecuali jika adik gagal!

Tik! Tok! Tik! Tok!

Detik waktu terus berputar, merambat naik tanpa pelabuhan. Tanganku semakin terpacu untuk menyelesaikan perdebatan. Tugas harian dan mingguan semakin mencekik leherku.

Negeri yang subur dan makmur, seketika mitos itu luntur di depan mataku. Di dalam berkas-berkas itu, terselip kemiskinan yang entah apa sebutannya. Banyak orang-orang yang sengaja meminjam uang untuk modal usaha. Bahkan ada yang senagaja meminjam uang untuk modal pernikahan. Apakah tuntutan pernikahan sebesar itu. Atau mungkin memang tidak ada jalan terbaik. Perusahanku memang terlihat baik bagi orang yang membutuhkan jasanya. Tapi malang sekali nasib mereka, setiap bulan harus membayar lebih. Ah, untuk apa aku peduli dengan mereka. Aku hanyalah seorang administrasi, sudah menjadi tugasku untuk mencatat nama-nama mereka dalam daftar. Dan untuk yang satu itu, aku tidak akan melakukan perbuatan yang sama.

Memang banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat hajatan pernikahan. Meminjam uang pada bank, sungguh aku tidak sampai memikirkannya. Seperti janjikku kepada Wulandari, pria ini akan mengusahakan semua anggaran dengan dompetnya sendiri, bukan menggunakan jasa pemodal.

Malam semakin larut dalam keheningan. Tapi di dalam kamar yang sumpek aku masih belum berdamai dengan ranjang. Biarkan aku menyelesaikan semua urusan pekerjaan, baru kemudian membelaimu wahai bantal yang tak pernah mengeluh sesak napas, yang senantiasa berbagi keringat dan lelap.

Tik! Tok! Tik! Tok!

Sialan, aku belum juga selesai. Bak rusa yang kelelahan berlari di atas tanah kosong tanpa hijaunya rumput, aku diburu dari kesungguhan yang kian lama merenggut kelapangan pikiran.

Map-map berwarna kuning telah menunggu isinya. Sementara berkas di dalam layar belum juga dapat aku cetak. Seperti janjiku kepadanya, yang kian lama justru membuat hatinya bimbang. Kalau saja kau tahu apa yang aku kerjakan, tapi mungkinkah kau tahu.

Tik! Tok! Tik! Tok!

Waktu semakin cepat saja larinya. Tinggal beberapa berkas lagi. Seperti harimau yang tengah kelaparan, keberadaan jam dinding itu bagaikan aungan srigala dalam kegelapan. Semakin ku tatap, semakin terasa menyeramkan taring-taringnya. Kalau saja aku punya alat untuk menghentikan waktu. Sudah pasti aku akan menggunakannya dan memperuntungkan alat itu untuk apa saja. Termasuk untuk membalikan hubungan kita Wulandari. Tapi duniaku ini bukan cerita fantasi yang bisa mengeluarkan alat untuk melawan hukum fisika.

Tik! Tok! Tik! Tok!

Aku sudah mengantuk, lelah sekali rasanya. Oh, manisku Wulandari. Berdoalah engkau dalam syukurmu. Mintalah kepada Tuhan, agar bala bantuan datang merasuk tubuhku. Tinggal sedikit lagi. Semua yang ku kerjakan adalah caraku menunaikan cinta kita. Termasuk pekerjaan ini. Tidak boleh sampai terlewat apa lagi gagal menyelesaikannya. Aku tidak mau kena teguran lagi untuk yang ketiga kalinya. Apa lagi sampai diputus kontrak. Gawat! Sudah mulai ngawur pikiranku. Aku harus tenang, harus! Tenang! Dan selesaikan!

Cahay layar monitor mulai meredup. Kedua tanganku bergegas mencari sumber listrik. Setelah kehidupan kembali tersambung, tangan kananku menekan tombol pada kepala tikus. "Simpan berkasnya jangan sampai lupa," bisik pikiranku yang entah bagaimana instruksinya. Tapi layar monitor menunjukan sesuatu yang ganjil. Tiba-tiba saja muncul peringatan bertanda seru dengan bahasa Inggris yang kurang aku pahami. Ah, kenapa dahulu aku tidak mengambil kursus kelas bahasa. Apa lagi bahasa asing itu kerap muncul di mana-mana. Masalah kembali meringis di depanku. Untung ada beberapa kosa kata yang aku pahami. Layar monitor kembali memberikan peringatan saat aku menekan tombol simpan berkas dengan kepala tikus. Tidak ada respon katanya. Celaka sekali, sudah pukul tiga dini hari.

Tik! Tok! Tik! Tok!

Bunyi jam lagi, lagi-lagi bunyi menyebalkan itu bergema di telingaku. Bersabarlah wahai jam dinding, sebentar lagi.

Kurang ngajar sekali benda modern itu. Ia tidak mengerti keadaanku. Masih belum mau menurut, layar monitor kembali mengeluarkan suara, "tidak ada respon". Apa yang harus aku perbuat, waktu istirahat ku semakin ludes dimakan benda peradaban yang membangkang. Seketika alat pemindai kehadiran di muka dinding sana menghantui kepala. Jangan sampai telat, jangan sampai terlambat. Aku harus menyelesaikannya dan tidur sesaat itu juga. Aku tidak mau mesin kehadiran itu memotong jumlah upahku. Apa kata calon mertuaku nanti.

Layar monitor seketika mati, entah apa penyebabnya. Aku ambil tombol pada kepala tikus dan menekannya, tapi keadaan masih gelap gulita. Kepalaku terasa semakin berat, pegal di pundak, dan di dalam dadaku yang lelah memelihara kesabaran.

Wulandari gadisku, malang sekali malam ini. Sungguh jumlah undangan dan makanan bakal tamu telah aku pikirkan matang-matang. Tapi semua itu gaji yang menentukan. Aku butuh keajaiban datang di hadapanku.

Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok!

Suara subuh telah tiba dan aku masih belum juga menemukan kesalahan yang terjadi di depan mata. Kenapa tidak bisa disimpan berkas itu. Setelah menenangkan diri beberapa detik baru aku menemukan solusinya. Meskipun agak terlambat dan mungkin akan menghabiskan banyak waktu, setidaknya aku menemukan jalan penyelesaian. Aku cetak saja semuanya tanpa perlu menyimpan, bodoh memang terang bodohnya aku ini. Kenapa tidak aku lakukan dari tadi saja.

Cahaya fajar mulai menunjukan kehangatannya, pada jendela itu alam terlihat memesona dengan garis warna cerah yang bersinggungan. Saat tangan tengah menekan tombol cetak dengan bantuan kepala tikus aku baru menyadari sesuatu, celaka pekikku. Kenapa aku sampai lupa membawa kertas-kertas berlogo perusahaan itu. Jelas berbeda dari kertas yang biasa ku pakai. Oh, kekasihku Wulandari.

Ponselku berdering hebat ketika seluruh tubuhku terpaku menangkap kekosongan waktu. Sementara cahaya pagi yang begitu manis menyalak di luar sana. Bagaikan komedi cinta yang tidak pernah mengharapkan tangis. Tawaku adalah kebahagian melepas jeratan keadaan. Ku angkat panggilan itu dengan keikhlasan.

Ia berbicara dalam ponselku. "Halo Pak. Sudah pukul berapa sekarang? Di mana berkas-berkas itu? Sudahkah bapak mengerjakannya? ... Halo Pak! Anda dengar suara saya?! Halo!"
Aku jawab saja. "Saya sudah selesai Pak."

Lebih baru Lebih lama