Eits... Etika!

Oleh Mahwi Air Tawar


Hari-hari ini ramai dibicarakan tentang etika. Kata etika menjadi sesuatu yang seksi, bahkan, ada yang berkesimpulan, dengan (ber) etika pintu segala pintu dari segala urusan, tidak terkecuali urusan memimpin negeri ini akan mudah digapai. Kata etika terus digaungkan di panggung, di acara-acara debat --tidak jarang-- kata etika pun dilontarkan sambil memaku pohon dan memasang spanduk calon legeslatif (caleg) dan calon preside (capres). 

Tidak penting amat, apakah kata etika itu hanya sebagai idiom dan kata-kata belaka yang akan segera menguap di udara hampa. Atau, syukur-syukur, etika menyatu dalam laku. Masalahnya adalah, kata etika yang santer terdengar bahkan jauh memasuki ruang privasi, terkadang disampaikan tanpa melibatkan pikiran. Di hadapan kata etika, logika dasar dan sederhana tenggelam. Maka tidak heran, bila kata etika disampaikan sambil kentut dan mungkin juga, kata etika disampaikan sambil membabat dahan pohon demi memasang spanduk caleg dan capres.

Seketika, kata etika menjadi mantradiguna mengecoh pikiran logis menjadi tidak logis. Lihatlah, tidak sedikit di antara politikus dan calon pemimpin ketika menyampaikan sebuah gagasan dengan manis dan renyah, namun disaat bersamaan mengabaikan etika, menyerang dan nyinyir pun terselip di antara kata sakti, "etika politik!". 

Atau, jauh di jalanan, seseorang yang sedang asik memasang spanduk salah satu jagoannya di pohon dengan kelebaran menjorok ke tengah jalan, tiba-tiba berteriak saat ada petugas kebersihan dan petugas taman memintanya agar spanduk tidak dipaku di pohon. Tidak terima ditegur oleh petugas kebersihan kota dan taman, si pemasang spanduk dengan gambar caleg dan capres jagoannya langsung murka, "dasar kalian, tidak punya etika. Spanduk yang saya pasang ini spanduk calon pemimpin kita. Pemimpinmu juga, Jaga etika!" 

Petugas kebersihan dan taman kota sudah pasti bingung dengan pernyataan pemasang spanduk, "Jaga etika," bentaknya sembari memaku pohon. Oleh karena kata etika sering digaungkan di sembarang tempat bahkan mengabaikan etika terhadap lawan bicara, wabilkhusus etika kepada pohon, akhirnya, etika yang sejatinya memiliki peran penting dalam segala hal dan urusan menjadi tidak bertaji. Sebaliknya, kata etika menjadi kata paling ampuh memprovokasi untuk membenci orang yang secara logika sudah bertindak benar dan beretika: agar pohon tidak dipaku.

Dalam konteks tersebut, petugas kebersihan taman kota ketika menegur, secara tidak langsung menunjukkan perilaku yang berlandaskan etika. Yang sering disalahpahami oleh sebagian dari kita bahwa, "etika" hanya berlaku antara manusia satu dengan manusia lainnya. Sementara, pada saat bersamaan kita lupa "etika" berperilaku kepada pohon bahkan lupa "etika" berkomunikasi, baik dalam debat maupun dalam konteks mengingatkan seseorang. 

Beretika tidak hanya penting dalam memahami laku hidup. Dalam keilmuan, ada banyak cabang  tentang etika untuk kita telaah dan terapkan dalam kehidupan yang, hari-hari ini penuh dengan dengungan-dengungan kata etika, di antaranya; etika diskriptif, etika komparatif, etika normatif, dan etika terapan. 

Dalam esai ini, saya tidak akan membahas secara detail tentang cabang-cabang etika sebagaimana disebutkan. Hanya saja, secara garis besar, dasar dari pada cabang etika di atas tidak bisa lepas dari kesadaran dalam berperilaku dan kesadaran berpikir logis. Memaku pohon demi sebuah dukungan terhadap salah satu caleg dan capres hingga spanduk menjorok ke tengah jalan tentu bukanlah perilaku proporsional dan tidak logis yang akan berakibat fatal dalam menjalin hubungan baik antara manusia dan lingkungan, tidak kecuali dengan pohon, maupun menjaga perilaku terhadap sesama. 

Bagi seorang pencari ilmu, khususnya, santri di pesantren, etika (adab) jauh lebih penting ketimbang ilmu pengetahuan itu sendiri. Di lingkungan pesantren, etika bukan hanya semata-mata kata, tapi etika menjadi laku dan wajib diutamakan bagi semua kalangan; sikap santri kepada ustaz, pun sebaliknya. Sikap santri kepada kiai, pun demikian sebaliknya, kiai kepada santri.

Di pesantren, etika sudah menjadi laku, maka ustaz apalagi kiai atau pengasuh pesantren merasa tidak perlu menghimbau apalagi mendiskusikannya. Sebagaimana disampaikan di atas, etika tidak untuk diperdebatkan, etika bagian penting dari laku hidup yang mesti dijunjung tinggi dan dijalankan, suka atau tidak suka. 

Dalam hidup bersosial akan lebih indah jika diiringi dengan etika; etika berkomunikasi, etika hadir dalam sebuah pertemuan/majelis dan etika mengemukakan pendapat. Namun, etika itu tidak akan berarti apa-apa tanpa didasari oleh kibijakan berpikir dan bertindak, dan keduanya bisa terjadi bila kita senantiasa melibatkan pikiran setiap hendak melakukan sesuatu. 

Dalam bersosial, berbangsa dan bernegara, terkadang kita berkoar-koar tentang etika namun pada saat bersamaan kita lupa, bahwa tidak semua tentang kebajikan disampaikan di tempat sembarangan. Kita pun lupa, bahwa kata-kata --sekali oun berisi kata bijak-- akan sia-sia belaka bila disampaikan di tempat yang tidak tepat, termasuk saya karena ketika membuka dan menutup tulisan ini tanpa salam, salam pembuka salam penutup. 

Pondok Cabe, 2024


Mahwi Air Tawar
Redaktur Kelas Menulis
Penulis Buku Kumpulan Puisi Mata Blater

Lebih baru Lebih lama