Menulis untuk Mengubah Nasib?

Oleh Eka Budianta

Kolom saya di majalah Trubus bertajuk Seputar Agribisnis. Pertama kali muncul pada bulan Nopember 2001. Jadi genap 22 tahun saya mengisinya secara rutin. Pada suatu hari saya ditelpon oleh seorang konglomerat. “Saya tertarik pada tulisan Anda tentang pelestarian burung,” katanya.

“Tolong akhir pekan depan ikut kami ke Pulau Seribu,” begitu pintanya. Tugas saya sederhana, menikmati akhir pekan di pulau kesayangannya. Ada tiga atau empat pulau sudah dibeli oleh konglomerat itu. Saya diantar dengan kapal pesiar, menginap di villa yang bagus, dan ditanya: Bagaimana cara meningkatkan populasi burung di pulaunya.

“Saya ingin, kalau membuka jendela di pagi hari, selalu melihat burung. Bisa berkicau atau sekadar lari-lari kian kemari.” Begitu pesannya. Tentu saya segera memutar otak. Beberapa usul saya siapkan. Pertama, bisa dibangun sebuah aviary yang besar. Kedua, bisa dilatih asisten rumah-tangga yang memasok makanan burung setiap hari.

Sejenak saya tergoda. Bagaimana kalau saya tinggal di pulau yang indah, dengan kapal pesiar yang mewah itu? Apakah populasi burung di Kepulauan Seribu bisa ditingkatkan? Berapa biayanya? Bagaimana caranya? Siapa yang akan membiayai, apa manfaatnya, dan 1001 pertanyaan lain bermunculan.

Rachel Carson dan Beecher Stowe

Saya mengisi rubrik Seputar Agribisnis karena yakin tulisan bisa membawa perubahan. Awalnya antara 1984 hingga 1986, saya suka menulis cerpen bertema social. Di antaranya tentang pembunuhan orang bertato. Tidak lama kemudian saya dipanggil oleh Wimar Witoelar (alm) dan ditanya: “Anda berkantor di mana?”

“Di mana saya berada di situ kantor saya!” Begitu jawab saya sekenanya.

Ternyata jawaban itu membuat saya diangkat jadi Fellow Ashoka. Kebetulan ada mantan Menteri lingkungan hidup pada masa Pemerintahan Jimmy Carter, di Amerika Serikat. Namanya William Drayton, tinggal di Arlington, Virginia. Dia membuat yayasan yang mencari dan membiayai para “change maker” di India, Nigeria, dan Indonesia. Teorinya, di antara 10 juta warga negara, tentu ada seorang yang bisa dihargai sebagai “pembawa perubahan”.

Saya pun terpilih di antara 20 teman Ashoka Fellow dari Indonesia – yang saat itu berpenduduk sekitar 200 juta jiwa. Setiap awal bulan saya cukup stor muka dan mengambil stipendium yang besarnya Rp150.000,- Angka itu ternyata tiga kali lebih besar dari gaji isteri saya, seorang dosen, pegawai negeri dengan pangkat 3A.

Yang lebih menarik, pada 1987 saya sudah diundang ke Washington DC, dan mengunjungi rumah William Drayton itu. Ada satu menara menghadap pemakaman Arlington, yang luas. Salah satu yang dimakamkan di sana adalah mendiang Presiden John F. Kennedy. Makamnya mudah ditandai karena dilengkapi dengan obor yang apinya tidak kunjung padam.

Dari Amerika inilah sebetulnya saya mendapat inspirasi, bagaimana menulis bisa membawa perubahan. Pertama penulis Harriet Beecher Stowe (1811-1896) dengan novelnya berjudul Gubuk Paman Tom (Uncle Tom’s Cabin) sudah saya baca di masa kecil. Kedua, buku Silent Spring karya Rachel Carson (1907-1964). Novel Beecher Stowe mendobrak diskriminasi rasial. Sedangkan pemikiran Rachel Carson menyadarkan pentingnya mencintai lingkungan. Tidak terbayang musim semi yang senyap, kalau semua serangga tewas akibat insektisida dan pestisida.

Perubahan Nasib

Pada bulan Desember 1974, saya berangkat ke Jakarta. Awalnya saya mendaftar ke Jurusan Teater Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang sekarang menjadi Institut Kesenian Jakarta. Saya mengikuti pekan orientasi studi mahasiswa, berkat bantuan seorang sutradara, Nurhadi Irawan (Alm). Dia juga membayar uang pendaftaran dan biaya orientasi itu, sebanyak Rp75,000,-. Maklum, uang saya – hasil penjualan gelang Ibu Rp60,000,- sudah habis untuk mendaftar ke Universitas Indonesia (UI).

Saya khawatir kalau tidak diterima di UI, bagaimana? Jadi saya mendaftar ke LPKJ jurusan teater itu. Untunglah, mulai Februari 1975 saya menjadi mahasiswa seksi Jepang, Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Rawamangun, Jakarta Timur. Ayah mengirimi uang Rp10.000,- setiap bulan. Mungkin dengan susah payah dan menekan belanja rumah tangga kami di Malang, Jawa Timur. Pada waktu itulah saya mulai belajar menulis untuk Harian Kompas. Artikel pertama yang diterima berjudul Kamelia Emas, sebuah cerita anak-anak di Kompas Minggu.

Honorariumnya bagus, bisa untuk mencicil hutang di warung makan sebelah asrama. Saya tinggal di Asrama Mahasiswa Daksinapati yang dibangun Bung Karno pada 1953. Bukan sebagai penghuni resmi, tapi saya merasa cukup terlindungi. Saya menumpang di Kamar 80, berkat bantuan Pamusuk Eneste. Kalau dia kuliah, mesin tiknya boleh saya pakai untuk mengarang. Ketua Asrama waktu itu bernama Lamudin Finoza – mahasiswa asli Aceh di jurusan Sastra Indonesia. Iuran asrama kami cukup seribu rupiah per bulan.

Honor satu judul puisi Rp500,- dan artikel Rp2500,- sampai Rp 5000,-. Tulisan saya mulai bertaburan mengisi surat kabar: Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, koran mingguan berbahasa Jawa, Kumandang; majalah sastra Horison, Basis dan Semangat di Yogya; bahkan majalah Mastika di Malaysia. Di kampus saya ikut menulis untuk bulletin Corat-Coret dan koran mahasiswa Salemba. Saya menjadi pemimpin redaksi bulletin itu mulai 1977 sampai digantikan oleh Linda Djalil pada 1979.

Pada awal 1980, saya menulis surat kepada Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi Majalah Tempo. “Umur saya akan genap 24 tahun pada 1 Februari nanti. Kalau Tempo memberi hadiah, saya akan memberi imbalan seorang wartawan handal.” Saya dipanggil, disuruh ikut tes dan diterima. Tugas pertama saya meliput wafatnya Bung Hatta, 14 Maret 1980. Di dalam bus menuju ke TPU Tanah Kusir, saya duduk di sebelah Menteri Emil Salim.

Berkah terpenting dari menulis adalah mendapatkan pekerjaan. Dengan menulis kita menyibukkan diri sendiri, mencari bahan dan mewawancarai banyak orang. Dalam kesibukan melayat Bung Hatta itu, saya sempat berbicara dengan Buya Hamka – Haji Abdul Malik Karim Amarulah (Alm) yang sangat terkenal. Saya juga dikenalkan pada sekretaris Bung Hatta, alm. Pak Iding Wangsawidjaja.

Mengapa saya ditugaskan meliput wafat dan pemakaman Bung Hatta? Sebab saya mengenal puteri bungsunya, Halida Hatta dan pernah ikut kuliah puteri sulungnya, Meutia Hatta. Beliau asisten bapak antropologi Indonesia, Koentjaraningrat. Setelah gagal di jurusan Japanologi, saya minta pindah ke jurusan Sejarah. Mahasiswa jurusan ini boleh mengikuti kuliah pengantar (wajib universitas) di Fakultas Hukum (FH) dan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial (FIIS). Semula jurusan Antropologi termasuk di Fakultas Sastra dan Filsafat, tapi akhirnya berpindah ke FIIS.

Berkah Teman

Berkah terpenting kedua, selain memberi kesibukan, dengan menulis kita mendapat banyak teman. Dulu sangat terasa bahwa setiap penulis di bumi ini seakan-akan bersaudara. Hal itu saya alami ketika Taufiq Ismail dan Satyagraha Hoerip (Alm) mengusulkan agar saya mengikuti Program Penulisan Internasional di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Saya berangkat bulan Agustus 1987 dan pulang bulan Desember tahun itu.

Di Universitas Iowa, saya berbagi dapur dengan Dan Tsalka, seorang penulis dari Israel. Teman-teman kami datang dari Asia: China, India, Korea Selatan; dari Afrika: Tanzania, Burkina Faso, Nigeria, dan negeri-negeri Amerika Latin: Peru, Brazil, Argentina, dll. Tentu dari Eropa juga: Honggaria, Bulgaria, Russia, dst. Sekitar 40 negara yang diundang, termasuk beberapa pemenang hadiah Nobel untuk kesusasteraan.

Setelah bekerja untuk majalah Tempo (1980-1983) saya pindah ke harian Yomiuri Shimbun, sebagai koresponden (1984-1986) dan menjadi penyiar Radio BBC di London, Inggris,1988-1991. Sayangnya saya tidak sabar dan cepat merasa bosan, sehingga ingin berpindah-pindah tempat kerja. Pada saat itulah, saya merasa mendapat sahabat yang sejati. Bambang Budjono dan Palupi (kemudian menikah dengan Andy F. Noya) mendatangi saya di Rawamangun. Mereka menasihati agar tidak keluar dari Tempo.

“Majalah Tempo adalah tempat terbaik untuk para pengarang Indonesia,” kata Bambang. Sampai sekarang pun saya tetap mengakui hal itu, dan masih berhubungan baik dengan teman-teman alumni. Teristimewa dengan pemimpin umumnya, Pak Harjoko Trisnadi. Sesudah saya keluar pun, beliau mengajak saya menulis buku Sejarah Rumah Sakit Husada, yang dulu terkenal dengan nama Jang Seng Ie – (Merawat Kehidupan).

Dari BBC London, saya mendapat teman yang akrab luar biasa, yaitu (Alm.) Colin Wild, kepala seksi Indonesia. Beberapa kali dia menginap di rumah kami, kalau berkunjung ke Indonesia. Memang sangat beruntung kalau merasa dekat dengan boss sendiri. Ada Yoshiharu Hara – ketika saya bekerja di Yomiuri Shimbun; ada Paul N. Engle saat saya mengikuti program penulisan di Universitas Iowa. Paul wafat dalam perjalanan ke Cekoslovakia, memenuhi undangan Presiden Vaclav Havel, yang juga seorang penulis.

Pada tahun 2021 saya menerima penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) setelah diwawancara secara daring oleh Jaya Suprana. Waktu itu musim pandemi Covid 19 merebak di seluruh bumi. Saya mendapat penghargaan berkat Kumpulan visiografi yang telah terbit pada 2006, atau 15 tahun sebelumnya. Acaranya bersamaan dengan penghargaan untuk Dara Puspita yang mashur di bidang musik. Rekamannya masih dapat ditonton dalam saluran Jaya Suprana Show, sampai sekarang.

Tahun berikutnya, 2022 saya menerima Hadiah sebagai penulis berdedikasi untuk bidang fiksi dari Satupena – organisasi penulis Indonesia. Penerima untuk bidang non-fiksi adalah Prof. Dr. Musdah Mulia, yang sudah menulis lebih dari 30 judul buku. Kami masing-masing diberi piagam dan uang sebesar tigapuluh lima juta rupiah. Terima kasih, sudah membayarkan pajak penghasilan kami sebagai pengarang.

Oh ya, berkat menulis pula saya pernah mendapatkan beasiswa dan mengunjungi beberapa negara. Satu di antaranya adalah beasiswa LEAD International dari Yayasan Rockefeller di New York. Dengan beasiswa itu saya mengikuti pelatihan di bidang lingkungan dan Pembangunan selama dua tahun. Mengapa? Karena saya menjabat Direktur Eksekutif Dana Mitra Lingkungan (1992-1997) dan diwajibkan belajar di Costa Rica (Amerika Tengah), Okinawa (Jepang), serta lulus di Harare, ibukota Zimbabwe (Afrika Tengah) pada 1997.

Saya ingat, dan berterima kasih kepada Muchtadi Sjadzali yang telah mendaftarkan nama saya sebagai peserta program itu. Kunjungan lainnya ke 3 negara: Yordania, Suriah dan Lebanon di Timur Tengah pada 2010. Kebetulan saya terpilih sebagai pembicara kunci (key note speaker) pada perayaan menghormati Kahlil Gibran. Termasuk kunjungan ke desa kelahiran dan makamnya di Besharee, Lebanon. Biaya perjalanan dan penginapannya ditanggung oleh Balai Pustaka, sebuah penerbit legendaris di Jakarta.

Penerbit Balai Pustaka – milik pemerintah RI, pernah mencetak Kumpulan puisi saya Cerita di Kebun Kopi sebanyak 83.000 eksemplar. Buku itu terpilih bacaan Inpres (Instruksi Presiden) untuk bacaan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di seluruh Tanah Air Indonesia. Honorariumnya cukup untuk membeli sebidang kebun di Depok, Jawa Barat.

Tentu, ada kunjungan lain ke negara-negara ASEAN. Misalnya ke Baguio City, Filipina bersama Mochtar Lubis pada 1983, dan ke Kunming, China yang disponsori oleh Yin Hua – perkumpulan penulis berbahasa Mandarin di Indonesia. Sebelum wabah Covid 19, saya datang bersama Medy Loekito, penyair kelahiran Surabaya. Ada juga undangan langsung ke Universitas Hankuk di Korea Selatan, dan ke Universitat Wolfgang Goethe di Frankfurt, Jerman juga pernah saya terima. Semuanya itu terjadi karena saya suka menulis, puisi khususnya. ***

________________________________

*) Eka Budianta, penulis buku biografi. Di antara karyanya Mendengar Pramoedya, Disentuh Emil Salim, Iskandar Alisjahbana: Teknopreneur Indonesia; Belajar Dari Idjah dan Otto Soemarwoto; Bertemu Sajogya, Mazmur Ismawan, Manyar Putih dari Muntilan, dll. 

Lebih baru Lebih lama