Sajak Sabtu Kemarin

Oleh Eka Gilang Wicaksana Sulaeman

SANGSI
Mentari padam dari parasmu
Berganti mendung tumpahkan tangis
Duka apa yang menyelimutimu? 
Mengapa kau bermantel sangsi? 

Jalanan hening
Nada-nada cinta mentes di lingkar meja kita
Dan kata-kata gagal mengeja cinta
Di kerling matamu, kilat lelaki lain terlihat.

PANGGIL AKU ABU
Desau apa yang meradang telingaku? 
Nyanyian parau dari duka masa lalu, atau jeritan lelaki kesepian? 
Tak terelakan keduanya saling bersahutan
Seperti api diumpan angin, melahap ku, menjadikan ku sebagai abu-abu yang beterbangan tak tentu tujuannya. 

Barangkali, sebagian diriku nyangkut di kerudungmu yang lama terbengkalai. 
Kapan kau akan kembali menyambutnya? 
Atau paling tidak melihatnya, menyapaku yang ada di sana. 

Sebagian lagi mampir di motor tuaku. 
Belakangan ia bengek kedinginan, rindu akan hangatnya duburmu yang maha luas. 

Sebagian yang lain, pernah hinggap di keningmu yang bening, namun dihantam oleh liur-liur suamimu. Setelahnya, ia gugur oleh air wudhumu
Oh, malangnya diriku yang di sana. 


DI TERAS
Saat teras bermantel embun
Ku tumpahkan rentetan cinta dalam bait-bait puisi
Dari batas-batas kenyataan dan imaji
untuk mengisi hati ku yang sunyi

Harapan senantiasa mengepul dari batang rokokku
Lalu sirna tak bersisa, menyisihkan masa lalu yang melingkar cantik di dalam asbak. 
Tiada angin yang berbisik, hanya sepi tak bertepi


DI LAMPU MERAH
Merah menyala di perempatan Muncul
Pendekar jalanan menyanyikan nada sumbang
Tangannya menjelma wadah, lalu disajikan pada setiap pengendara

Tiada perak, tiada kertas
Tangannya dipenuhi kata maaf
Makan apa malam ini? 
Malam ini kita makan maaf!


Penulis Eka Gilang Wicaksana Sulaeman
Penyair, sekaligus aktor muda yang pernah terlibat dalam garapan "Manufaktur" bersama Teater Lonceng di Festival Teater Jakarta tahun 2022. Saat Ini Ia tengah bergelut dengan komunitas adakreatif menjabat sebagai Redaktur Belajar Kepada Pesohor
Lebih baru Lebih lama