Oleh Rizky Maulana Fata’ah
“Kau boleh jadi siapa saja, asalkan jangan jadi orang lain.” Ia tandai halaman tersebut kemudian menutupnya. Ia butuh waktu untuk melamunkan kalimat barusan. Beberapa bangku sudah kosong, namun kakinya bahkan terlalu sombong dan tak berselera untuk duduk. Ia memilih melihat keluar jendela untuk mengistirahatkan matanya.
Di luar sana, para pekerja sedang membongkar trotoar untuk proyek pelebaran jalan. Persimpangan jalan itu tambah macet karena razia kendaraan bermotor oleh polisi lalu lintas. Ada seorang penjual kerupuk buta sedang duduk di bawah pohon sawo sambil menatap kehampaan. Di tangannya ada botol air mineral yang telah kosong. Suara batuk salah seorang penumpang mengagetkan Pak Tua yang tidur di bangku paling pojok. Pak Tua itu hanya bangun untuk memeriksa sekeliling. Sedikit mengupil, menguap, lalu kembali diculik lelap. Tepat di bangku sebelahnya ada seorang ibu dengan barang belanjaan di dekat kakinya tengah menelepon seseorang, suaranya terdengar cukup keras. Dengan nada tingginya itu, harusnya Ia ikut ajang pencarian bakat di bidang tarik becak. Ah bukan, tarik suara maksudnya. Anehnya, tidur Pak Tua tadi sama sekali tak terganggu.
Setiap orang punya dua cara terbaik untuk menunggu. Menghidupkan waktu atau membunuh waktu. Mengisi atau membuangnya. Beberapa orang sebenarnya memilih pergi untuk melarikan diri dari mereka sendiri. Bukan untuk mencari sesuatu. Berkali-kali dan berkilo-kilo, tapi tak juga bosan.
Cuaca yang aneh. Langit sedang bingung memilih warna apa yang cocok untuk Ia kenakan di siang bolong. Desember memang sulit ditebak. Seperti nasib dan ingatan seekor ikan. Dari jendela tadi, Gopal kemudian memikirkan hal lain. Apakah Ia mampu menjadi dirinya sendiri di keramaian. Ia jadi teringat sajak dari seorang penyair, “pada akhirnya, jika kau terus sembunyi, hanya kesunyian sanggup menemukanmu.”
Gopal sadar, ia suka kesunyian. Sebab hanya di sanalah kejujuran berumah. Suci dari pura-pura. Novel yang ia bawa itu untuk membunuh waktu selama di perjalanan. Novel yang mengindarinya menatap mata orang lain. Ia takut manusia.
“...Sesaat lagi anda akan tiba di Stasiun Kalibata.” Berselang semenit pintu terbuka dan masuklah seorang wanita dengan tampilan yang sejuk dan nyaman di mata. Apakah dia Sylvia Plath? Gopal membatin. Di pintu lain terlihat seorang penumpang turun terburu-buru sambil membetulkan posisi tas ransel di punggungnya dan nyaris menabrak seorang bocah yang tengah digandeng ayahnya.
Ada lima bangku kosong dan salah satunya langsung diduduki Sylvia Plath. Gopal tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Ia buka kembali novel bersampul hijau itu dan memutuskan pergi ke dunia lain. Dunia yang sunyi dari bunyi. Tempat tinggal bagi kata-kata semata. Di tengah membaca, terdengar suara gaduh tiga remaja mengobrol tentang hasil sepakbola semalam.
“Kalau tidak dapat hadiah penalti, timmu pasti sudah tersingkir,” ucap salah seorang yang mengenakan topi. “Iya sih, tapi timku memang pantas lolos. Lihat saja statistik pertandingannya," balas temannya yang tidak terima tim favoritnya diremehkan.
“…Palmerah Station...," kalimat terakhir dari suara pemberitahuan menyela percakapan mereka.
“Sudahlah, jangan berisik. Tim kalian akan dibantai oleh timku di semifinal nanti," sambung seorang lagi sambil tertawa meledek.
Adu argumen ketiganya terus berlanjut. Gopal suka sepakbola. Ia hanya tersenyum mendengar ocehan mereka. Fokus membacanya terganggu dan berganti dengan mengingat-ingat posisi tim favoritnya di tabel klasemen sementara. Posisi ketiga. Ia berhasil mengingat setelah cukup lama menatap sepatu pria yang berdiri tepat di depannya. Pria tersebut merasa tak nyaman dan pergi ke gerbong lain.
Butuh beberapa menit untuk ia kembali berkonsentrasi dan melanjutkan membaca. Langit pelan-pelan mulai tiris. Gerimis ini mengundang sakit karena mengandung sesuatu. Seseorang sedang berduka di atas sana dan berniat berbagi kesedihan untuk orang-orang di bawahnya. Desis roda besi dan rel kembali terdengar. Kereta berhenti seperti jarum jam berjalan terbalik.
“Mas, ini rutenya ke arah mana ya?" tanya seorang wanita muda yang hendak naik.
Ia bertanya ke arah Gopal yang memang berdiri di dekat pintu. Gopal tak menjawab karena sedang berada di tempat yang jauh. Jauh sekali. Wanita itu naik setelah diberi tahu oleh penumpang lain. Gerbong hampir penuh. Ia berdiri di dekat Gopal. Wanita itu menatapnya dengan sinis. Sesekali, ia berusaha melihat judul novel yang dibaca Gopal.
Guncangan kereta membuat Gopal memutar badannya menghadap pintu dan menyandarkan bahunya pada tiang bangku. Gopal mendapat posisi ternyaman untuk membaca tanpa harus memegang sesuatu ketika terjadi guncangan lagi. Wanita itu terlihat kesal. Ia gagal melihat judul novelnya.
“...Stasiun Jurangmangu. Sebelum turun, periksa dan teliti kembali barang bawaan anda. Jangan sampai ada yang tertinggal ataupun tertukar di dalam rangkaian kereta....”
Sylvia Plath yang sejak duduk tadi sibuk bermain ponsel langsung merapikan rambutnya, bersiap turun. Langit semakin bocor. Cuaca sedang berpihak pada Gopal. Suasana yang bagus untuk tenggelam dalam bacaan. Wanita muda tadi masih di dekat Gopal. Ia sibuk melihat lantai sekarang. Cemas, kalau lantai itu berubah jadi lumpur hidup dan menelannya pelan-pelan atau takut cuaca menggagalkan urusannya hari ini. Ia gosok hidungnya yang berada di balik masker kemudian bersin dua kali, “Haatchi...hatchiii." Gopal menengok sedikit kemudian lanjut membaca.
Beberapa stasiun sudah terlewati. Tidak penting pukul berapa sekarang. Percuma. Tidak ada bedanya. Gopal memang tak pandai berenang. Ia tenggelam dalam bacaannya. Tidak ada yang bisa menariknya ke permukaan.
Udara dalam gerbong semakin dingin. Pembatas buku milik Gopal tak sengaja terjatuh. Ia membungkuk untuk mengambilnya dan tak dilihat lagi kaki-kaki bersepatu yang sejak tadi berada di depannya.
Sebelum bangun ke posisi berdiri sempurna, ia lihat sekeliling. Pak tua yang tadi tidur sudah tidak ada di bangkunya. Ibu di sebelahnya yang berbakat jadi penyanyi itu juga tidak ada. Sylvia Plath dan wanita muda yang mengajak lantai berbicara juga tak ada. Remaja-remaja komentator sepakbola tak lagi terlihat.
Ia jadi teringat larik puisi milik Aan Mansyur yang suka ia gumamkan dalam hati, “Jika aku menyukainya ia bernama kesunyian. Jika aku membencinya ia bernama kesepian.” Hampir semua bangku telah kosong. Ia tarik nafas panjang lalu menghembuskannya lewat mulut. Kembali ia mengarungi lautan kata-kata dari novelnya, masih sambil berdiri.
Di luar sudah gelap. Gopal tidak mau tahu. Suasana dalam gerbong sangat tenang. Tak ada lagi guncangan. Yang terdengar hanya suara iklan dari layar yang tersedia di bagian atas tiap-tiap gerbong. Gopal menjeda bacaannya sebentar untuk mengucak matanya. Ia terkejut melihat cipratan air yang berada hampir di sepanjang gerbong. Kereta ini bocor pikirnya. Di dekat kakinya ia lihat benda seperti puluhan sumbu kompor minyak bergerak-gerak ingin mematuk sepatunya. Ia semakin kaget. Ia tutup novel tanpa menandai halamannya.
“Permisi mas." ucap seorang dengan seragam kuning.
Di belakangnya, berdiri seorang lagi dengan seragam yang sama tengah menyemprotkan cairan pembersih lantai. Gopal bergerak pindah dan bersandar ke pintu di sisi kiri kereta. Kedua petugas kebersihan itu mengobrol dalam bahasa daerah sambil berjalan ke gerbong berikutnya. Gopal lanjutkan mencari halaman yang lupa ia tandai tadi. Ia membaca ditemani aroma cairan pembersih lantai. Ini aroma apel atau lavender? Gopal sibuk menebak dalam hati.
Gubraakkk!!! Semua orang di sekitar situ termasuk Gopal, kaget. Seorang pemuda jatuh terduduk dengan kaki kanannya tersangkut di celah peron stasiun. Sontak petugas keamanan yang berjaga tak jauh dari situ langsung berlari menghampiri pemuda itu.
“Mas, jangan gerak dulu. Biar saya bantu”, ucap petugas tersebut sambil ngos-ngosan.
“Aduuuh, perih," erang si pemuda.
“Tenang mas, tidak apa-apa. Nanti kami obati.”
Datang petugas keamanan lain membantu mengeluarkan kaki pemuda itu dari celah peron. Pemuda nahas itu ditandu menuju ruang kesehatan.
Sudah tidak turun hujan lagi. Tapi sisanya mengubah malam ini menjadi terlalu dingin. Suasana stasiun itu juga tidak ramai. Hanya ada sekitar tiga orang penumpang yang berjalan menuju pintu keluar.
Gopal mengeluarkan ponsel dari kantung celananya dan melihat ada delapan panggilan tak terjawab. Tujuh dari Nizar dan satu dari ibunya. Ia usap layar ponselnya keatas dan menemukan pesan Whatsapp dari Nizar. Diketuknya pesan itu untuk dibaca.
“Oke, setelah zuhur saya berangkat.”
“Nanti saya jemput di depan warteg stasiun Serpong saja ya.”
“Sudah sampai dimana Pal?”
“P”
“P”
“Ini saya sudah di depan warteg”
“Balas Pal !!”
“Keburu sore Pal.”
Gopal tidak membalas pesan dari Nizar. Ia telungkupkan ponsel di dada lalu memejamkan matanya. Aroma yang ia kenal di ruangan itu membuatnya membuka mata kembali. "Sudah kuduga. Ini aroma apel," ucapnya sambil keringat memenuhi wajahnya.
Seorang petugas di ruangan itu permisi sebentar untuk mengambil kain perban tambahan. Gopal mengangguk sambil memegangi kakinya.
"...Selamat datang. Anda telah tiba di stasiun Rangkasbitung. Terima kasih telah menggunakan jasa layanan Commuter Line Indonesia. Selamat jalan, selamat sampai di tujuan."
Lewoleba, 2021