Oleh Eka Gilang Wicaksana Sulaeman
Sakri seorang Detektif swasta yang beroperasi di daerah Jakarta. Pagi ini ia mendapat kabar baik setelah membaca pesan dari kantor. Pesannya berisi permintaan untuk menangani kasus tentang kematian seorang lelaki berusia 30 tahun yang tewas dikamar tidurnya. Sakri menyambut berita tersebut dengan gembira, sebab sudah 2 bulan lamanya dirinya menganggur. Setelah membaca surat tawaran tersebut, Sakri bergegas menuju kantor polisi setempat untuk meminta surat perintah penanganan kasus tersebut.
Sakri tiba di Kantor Polisi menjelang zuhur, ia langsung menuju ruang kepala kepolisian untuk mengambil surat perintah. Setelah mendapat surat perintah yang dimaksud, Sakri menuju lokasi TKP berada untuk menindak lanjuti kasus. Sakri tiba di TKP pada pukul 14.00 sebab, dalam perjalanannya ia terjebak macet.
Di lokasi TKP, Sakri mengamati kondisi rumah korban. Sakri merasa heran dengan kondisi rumah yang sangat berantakan, masalahnya ini bukan kondisi yang diakibatkan oleh perampokan atau sebagainya, tetapi lebih seperti kondisi rumah yang memang sengaja tidak dirawat oleh penghuninya. Sakri meneliti lebih dalam terkait kondisi rumah korban, ia menemukan pintu rumah dalam kondisi terkunci rapat dan jendela yang juga terkunci. Sakri semakin merasa, bahwa ini sepertinya bukan diakibatkan oleh penyusupan atau perampokan.
Sakri menemukan beberapa barang berharga yang masih tersimpan, seperti: HP, laptop, surat tanah, dan sebagainya. Tidak ada yang mencurigakan. Sakri menatap langit-langit rumah, barangkali ada yang mencurigakan. Nihil, semua keadaan rumah dalam kondisi tidak mencurigakan. Kemudian Sakri mendekati mayat korban yang terduduk di pojok kasurnya. Rupanya mayat itu sempat memuntahkan darah dan sisa makanan yang belum sempat dicerna sempurna sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Di samping kanan mayat itu terdapat sepucuk surat yang ditulis dengan cara diketik. Sebelum membaca surat itu, ia menggunakan sarung tangan untuk melindungi barang bukti agar tidak tercemar dengan sidik jarinya. Sakri membaca surat tersebut dengan sangat teliti, selama membaca Sakri tak menyadari bahwa dirinya pelan-pelan meneteskan air mata.
***
“Untuk Levi Ferliani,
Hari ini aku akan menjadi setitik oksigen di langit. Aku akan datang kepadamu, menemuimu, dan hinggap di paru-parumu, di hatimu, dan di jantungmu. Levi ku yang baik, aku minta maaf karena aku tak datang di pesta pernikahanmu. Apa keadaanmu baik? Semoga saja! Aku dengar kau sudah menimang putra, apakah dia tampan? Ah, aku rasa dia akan lebih tampan bila wajahnya mirip denganku hehe.. Levi ku tersayang, sepertinya memang ini jalannya, bila saja bukan karena Papamu, mungkin saja kita akan bersama, menanam bunga, memasak, berdansa, menonton film, dan … Levi, kemarin kamu berulang tahun ya? Maaf, aku tidak mengucapkannya, aku harap kamu sehat dan bahagia selalu!
Levi ku tersayang, belakangan ini sakitku semakin menjadi, sudah sekitar 3 tahun aku selalu muntah darah. Jika kamu bertanya, mengapa aku tidak ke Dokter? Tentu saja jawabanku tidak! Apalah arti hidupku ini bila tak bisa bersamamu? Sepertinya aku memang tidak bisa hidup tanpamu. Aku sudah beberapa kali menjemput kematian, namun aku tak pernah benar-benar sampai padanya. Aku jalani hari-hari yang hampa, rasanya seperti hidup dalam mati dan mati dalam hidup. Aku senang akhirnya kematianlah yang akan menjemputku, meskipun perlu dibujuk lebih. Beberapa pelayan Firdaus sudah tiba mengelilingiku, mengenakan jubah putih dan bersih, dan menggenggam sabit yang tajam dan menyala.
Jika kamu ingin pulang, pulanglah ke sini! Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu, kamu selalu diterima di sini. Maaf, bila agak berantakan! Aku memang tak pandai soal kebersihan. Levi ku tersayang, sepertinya beberapa saat lagi aku akan berangkat. Para pelayan sudah menunggu dengan sabar. Bahagialah dalam hidup, sebab Tuhan benci kesedihan. Akan kukirimkan salam mu padanya, agar diringankan dari segala dosa. Tenang saja, sebab aku akan berkunjung dan menjaga malammu hingga fajar tiba.
Dekap aku dalam mimpimu!
Dari saya, Kekasih mu”
***
Keadaan hening dan kering, hanya pipi Sakri yang basah. Entah itu karena sebal, haru, atau menyesal, yang pasti Sakri menangis sesenggukan. Polisi yang berjaga di luar curiga, mengapa Sakri begitu lama berada di dalam TKP? Polisi itu pun nekat masuk ke TKP, meskipun Polisi itu tau aturannya kalau ia tak boleh memasuki TKP saat investigasi sedang berlangsung. Di dalam ruangan, Polisi itu semakin keheranan dengan Sakri yang malah menangis di sana, bukannya menginvestigasi. Polisi itu pun bertanya:
“Pak, ada apa?” tanya pak Polisi
Mendapati dirinya kepergok menangis, Sakri menyapu air matanya dengan terburu-buru, alhasil wajahnya menjadi sangat merah karena gesekan yang terlalu keras saat menyapu air matanya.
“Sampaikan ini pada istri saya, dan katakan padanya saya akan pergi dalam waktu yang lama” pinta Sakri pada Polisi sambil menyerahkan sepucuk surat.
“Loh, bagaimana dengan kasusnya?”
“Kasus sudah selesai, itu hasilnya” kata Sakri sambil menunjuk surat yang sudah digenggam Polisi itu.
Sakri melangkah pergi, meninggalkan Polisi tersebut sendirian di dalam TKP.