Oleh: Elis Susilawati
Aroma hujan masuk ke dalam indra penciuman Oka. Kakinya berjalan menyusuri jejak tanah merah di atas granit putih. Air wajahnya tegang. Matanya memicing pada setiap benda rusak hingga akhirnya ia tersadar dengan gebrakan pintu yang tertutup akibat angin kencang dari luar. “Apa yang kau cari, Ka? Lebih baik kita keluar. Aku takut ada di sini!” celoteh Nur dengan suara bergetar. Dirinya sudah tidak tahan lagi untuk mengikuti temannya yang terus melangkah lebih jauh.
Oka tidak menghiraukan keberadaan Nur. Ia menyingkap terpal putih berlumur debu, lalu menemukan kursi dan meja kayu yang saling tumpuk. Dahinya mengerut. Ia membungkukkan badan sambil mengarahkan cahaya ponsel ke setiap sudut.
Brakkk
Pintu terbuka bersamaan dengan lampu yang menyala.
“Kalian lagi apa?” tanya petugas keamanan sekolah dari ambang pintu.
Oka berdiri tegap di samping Nur, lalu menjawab, “Saya lagi cari kucing, Pak.”
“Kucing apa? Nggak ada kucing di sini!” tegasnya.
“Ada. Saya ke sini karena jejak kaki kucing,” ucapnya dengan mata yang masih terus menjelajah pada setiap sudut ruangan.
Petugas itu mengerutkan dahinya, lalu memandang Nur, “Sudahlah. Kalian harus keluar dari sini. Sudah jam lima. Pintunya mau saya kunci.”
“Iya, Pak,” ucap Nur sambil menarik tangan Oka.
Keduanya pergi meninggalkan petugas keamanan. Hawa dingin terasa menusuk hingga ke ulu hati. Oka dan Nur berjalan menuju tas yang mereka tinggalkan di kursi panjang lorong kelas 12.
“Kenapa diam?” tanya Nur sambil berkacak pinggang.
“Aneh. Ini benar-benar aneh!” gerutu Oka dengan langkah lebih cepat.
Dahi Nur berkerut. Dirinya bingung dan tidak mengerti dengan segala tindakan yang Oka lakukan sejak awal, “Apanya yang aneh? Kamu yang aneh! Aku takut tahu ngikutin kamu!”
Oka menghentikan langkahnya.
“Tadi, kamu langsung melesat pergi ke ruang kosong yang katanya angker. Nggak bilang apa-apa. Hawanya aja udah nggak enak. Ini malah masuk buat nyariin kucing,” ucap Nur tajam.
“Aku nggak nyariin kucing, tapi kucing hitam berbadan gempal dengan bulu yang sedikit kotor berjalan di depan kita. Memangnya kamu nggak lihat? Kamu kan pencinta kucing,” Oka menatap Nur penuh harap.
Nur menggelengkan kepalanya sambil kembali berjalan, “Aku sama sekali nggak melihat kucing.”
“Kalau jejak kaki kucing di ruangan tadi?” tanya Oka membuntuti.
“Jejak kaki kucing? Aku nggak lihat. Lantai di ruangan tadi cukup bersih.”
Oka tidak membalas pernyataan Nur. Ia tidak merasa salah lihat. Langkah kucing gemuk itu membuatnya terus terbayang-bayang.
Nur memesan taksi online dari ponselnya. Keduanya akan pergi ke tempat les untuk konsultasi ujian akhir. Titik air masih terus menerjang bumi hingga kendaraan yang mereka tunggu, tiba di halaman sekolah. Oka dan Nur menutupi kepalanya dengan tas, lalu bergegas duduk di bangku belakang. Mobil hitam yang mereka tumpangi menembus ribuan rintik hujan.
***
Sore itu, jalanan cukup lenggang. Oka memandang syahdu titik air yang berkerumun di luar jendela. Pandangannya panas kala melihat orang-orang berteduh di rumah toko pinggir jalan, mulai dari anak kecil, remaja, dan dewasa. Di samping itu, ada air yang tergenang akibat dari gumpalan sampah dan juga kucing???
“Nur, itu mirip sama kucing tadi!” pekik Oka sambil menunjuk ke luar.
Sopir taksi online menegakkan tubuhnya, lalu memandang Oka melalui kaca tengah. Dengan cepat, Nur mengalihkan penglihatannya pada apa yang ditunjuk oleh Oka. “Mana?” tanyanya dengan badan yang sedikit condong ke arah kaca.
“Ituu,” sekarang Oka menunjuk ke kaca belakang.
“Yah, nggak lihat. Lagian, kenapa terus-terusan membahas kucing? Udah gitu, setiap kamu lihat, aku nggak lihat,” tutur Nur.
“Hari ini berbeda. Aku terus melihat kucing yang sama pada setiap tempat,” bisik Oka.
“Yaa, populasi kucing kan memang banyak,” decak Nur.
“Memangg… Tapi, aku terus melihat kucing dengan besar dan warna yang sama,” ucap Oka dengan pasrah sambil mengacak-acak rambut panjangnya.
“Aku rasa, itu cuma bayangan kamu deh. Udahlah, bisa-bisa kamu dianggap gila.” Nur kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi sambil memainkan ponsel.
***
Beberapa menit kemudian, Oka dan Nur tiba di tempat les. Keduanya langsung menuju ruang belajar konsultasi karena sudah memiliki janji. Sembari menunggu pengajar, Oka membuka halaman demi halaman buku paket. Ia sudah menandai materi yang tidak dimengerti untuk ditanyakan kepada pengajar.
Tiba-tiba, Oka mencium aroma busuk yang tak tertahankan hingga membuat dirinya ingin mengeluarkan seluruh isi perut. Ia meninggalkan barang-barangnya sambil berlalu menuju toilet. Nur yang baru saja menorehkan pena di atas kertas segera mengikuti langkah Oka.
Nur melihat Oka berdiri di depan wastafel sambil menghentakkan dadanya dengan keras. Ia memijat tengkuk Oka agar temannya itu merasa lebih baik.
“Kamu kenapa, Ka?” tanya Nur dengan penuh rasa khawatir. Tangan kirinya menahan rambut Oka yang panjang.
“Bau. Kamu nggak cium bau itu?” ungkap Oka sambil menunjuk ke arah luar.
Nur mengerutkan dahi karena kebingungan, “Bau apa?”
“Bau busuk.”
“Nggak. Aku nggak mencium bau apapun. Kamu tunggu di sini dulu. Biar aku ambilkan minyak,” ucap Nur, lalu pergi meninggalkan Oka.
Oka mengatur nafasnya hingga kembali normal. Ia memandang pantulan dirinya di depan cermin. Beberapa orang yang datang melihat dirinya dengan tatapan aneh. Ia mengamati sekeliling hingga lagi-lagi melihat kucing yang sama dengan yang ia lihat sebelumnya di atas dinding bilik pertama.
Tubuh Oka bergidik. Ia mengusap kedua matanya dengan gemetar. Melalui pantulan cermin, ia melihat kucing tersebut masih berada dalam posisi yang sama. Oka membasuh wajahnya dengan air hingga membasahi kerah baju.
“Oka?!” pekik Nur sambil menahan tangan temannya.
“Ii..iittt..uuuu kucing tadii” gagap Oka sambil menunjuk bilik pertama.
Nur mengalihkan pandangannya. “Gak ada apa-apa, Ka,” ucap Nur khawatir.
Oka terus menggeleng-gelengkan kepalanya. Akhirnya, Nur memutuskan untuk memapah Oka keluar dari toilet dan mengajaknya duduk di sofa.
“Ada yang mau diceritain?” tanya Nur lembut sambil mengusapkan minyak di tengkuk Oka.
Pandangan Oka lurus ke lantai. Dirinya merasa benar-benar tidak karuan, bahkan kepalanya semakin menunduk.
“Ada apa, Ka? Kamu yang hari ini berbeda dari biasanya loh,” tutur Nur.
“Aku…” ucap Oka dengan memberikan jeda. “Kemarin nabrak kucing,” ungkapnya parau.
Mata Nur membelalak, bahkan tangannya sampai berhenti memijat tengkuk temannya itu, “Kok bisa?”
“Kemarin malam, aku pergi naik motor. Di perjalanan, aku melewati rumah yang dikenal seram sama orang sekitar, makanya aku ngebut. Saat melewati rumah itu, aku merasa menabrak sesuatu. Tapi, karena aku takut, aku lanjutkan perjalanan saja,” ucapnya. “Soalnya, jalanan sepi.”
“Terus?”
Oka menunduk, “Pas pulang, aku lihat kucing hitam tergeletak dengan penuh darah di tengah jalan yang aku lewati.”
“Kamu nggak tanggung jawab?” tanya Nur dengan penuh curiga.
Oka menitikkan air mata, “Aku sendirian, Nur. Takut dan bingung harus ngelakuin apa.”
Nur merasa tidak tega dengan Oka meski dirinya tahu bahwa temannya itu melakukan suatu kesalahan. “Oka, aku rasa kamu harus jujur kalau kamu salah. Tindakan kamu nggak bisa dibenarkan. Mungkin, bayangan kamu soal kucing hari ini adalah buah dari perbuatan kamu kemarin.”
Oka terdiam, lalu memeluk temannya itu dengan erat tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Pandangannya redup.