Oleh M. Yus Yunus
Belakangan ini banyak sekali pengamen dan pengemis bermunculan di jalan raya. Tidak hanya manusia silver dan ondel-ondel saja yang tiba-tiba menjamur di seluruh penjuru kota. Para badut yang tidak seperti badut-badut amat bahkan juga tidak melucu, turut mengambil bagian. Pasti ada alasan mengapa mereka bermunculan. Tentunya memberikan gambaran bahwa keadaan manusia di negeri ini sedang tidak baik-baik saja.
Umumnya orang meminta-minta adalah menjual kesedihan, kemelaratan, ketidak berdayaan, dan kemalangan yang lain. Mereka menadah, meminta belas kasihan dari para pejalan kaki yang hilir mudik kesana-kemari. Tubuh atau panca indra mereka yang tidak lengkap menjadi harga jual untuk mendapatkan belas kasihan. Orang-orang baik memberikan mereka recehan, sesekali ada pula yang memberi makan. Mungkin mereka tahu aktivitas semacam itu telah menghinakan dirinya. Akan tetapi bagi mereka tidak ada jalan lain untuk mencari sesuap nasi, selain harus meminta.
Para budayawan tidak perlu gusar lantaran produk-produk budaya banyak digunakan untuk mencari recehan oleh mereka yang terpinggirkan. Mereka yang mengaku budayawan dapat menganalisa kejadian ini bukan sebagai penyalah gunaan produk budaya, akan tetapi sebagai bentuk adanya kesenjangan sosial. Sekali waktu budayawan juga perlu bernalar menyimpang, tidak lurus-lurus seperti yang kebanyakan. Sekali waktu melakukan studi dengan orang-orang yang terpinggirkan. Ajak mereka diskusi, dan tawari mereka kopi. Karena jalanan hari ini menggambarkan banyak hal. Maka belajarlah dari setiap perjalanan.
Seperti perjalanan yang akan diceritakan melalui tulisan ini. Di suatu lampu merah di jalanan Jakarta, seorang anak tengah bersabar duduk memperhatikan setiap kendaraan yang melintas. Di tangannya terlihat sebuah buku kecil dalam jumlah yang banyak. Buku-buku itu diikat dengan karet gelang, memunculkan kemisteriusan tesendiri bagi siapapun yang melihatnya. Kenapa sebuah buku ada di tangan bocah gelandangan? Kenapa Ia tidak membacanya? Mungkin saja Ia menjualnya?
Bocah itu nampak khatam dengan kondisi jalan. Sesekali Ia melirik ke nyalanya lampu untuk memastikan kapan Ia harus bergerak. Saat lampu hijau berubah menjadi merah, saat itu juga Ia mulai membagikan sebuah buku kecil yang misterius itu kepada para pengendara. Tidak ada satu pengendara yang luput oleh bocah itu. Betul, Ia memang menjual sebuah buku. Dan pastinya buku itu sangat berharga. Sebab kalau tidak, mana mungkin ada orang yang mau menjualnya.
Benar saja, buku yang misterius bagi siapaun yang melihatnya kini tidak misterius lagi. Buku kumpulan doa salat, dan berbagai doa-doa yang lain itu seharga sepuluh ribu rupiah. Seketika yang misterius tadi tampak biasa-biasa saja, seolah-olah semua orang tidak memutuhkannya. Anda mungkin tidak tercengang melhat kejadian itu. Mungkin bagi Anda aktivitas jual beli buku semacam itu adalah hal yang biasa dan wajar. Tapi kenyataanya adalah Anda tidak mendapatkan keresahan mana kala sebuah buku kumpulan doa-doa datang. Bukannya gelisah Anda justru malah mengabaikannya.
Barang kali kita tidak merasa resah dengan buku kumpulan doa-doa itu. Hal yang menjadi kerasaan bagi kita adalah bagai mana kemunculan bocah kecil penjual buku kumpul doa. Mungkin muncul iba di dalam diri kita, mengapa anak sekecil itu berkelahi dengan waktu? Seperti lagu Iwan Fals. Kemana bapaknya? Kenapa Ia harus mencari uang? Apakah dia yatim dan miskin? Padahal apa yang kita pikiran saol bocah itu tidaklah membantu. Karena kita tidak memiliki kegelisahan untuk mempersiapkan diri kita sebelum bertemu Tuhan. Bisa jadi, Tuhan mengutus seorang bocah untuk mengingatkan kita. Akan tetapi kegelisahan itu tidak muncul. Kita lantas membeli buku terseut untuk memper mudah belajar menghafal doa melalui sebuah buku kecil sebelum menemui Tuhan.
Sayangnya hampir semua orang di jalan raya itu menolak tawaran baik Si Bocah penjual buku kumpulan doa. Bahkan hampir semua orang tidak membeli buku itu. Padahal Ia jauh lebih mulia dari pada seorang pengemis, bahkan juah lebih terpuji dari seorang pengamen. Ya meskipun kita tahu apa yang mendasari bocah itu untuk menjual buku. Ia memang membutuhkan uang untuk membeli sesuap nasi. Tapi Ia tidak menjual kemalangan dan kesedihan. Malahan justru sebaliknya. Ia mendapati banyak orang-orang malang yang tidak memiliki kegelisahan untuk mempersiapkan diri sebelum bertemu Tuhan.
Rasanya orang lebih gelisah dan resah jika tagihan belum dibayar sampai pertengahan bulan. Mungkin pula kita gelisah dan resah ketika mendapati orang terkasih sedang marah. Atau contoh lain, kita mungkin saja gelisah jika ada suatu benda yang tiba-tiba menghilang. Kita sibuk mencari benda itu, dan seisi kepala kita diliputi kegelisahan. Sementara itu kita tidak pernah bersujud atas dasar kegelisahan. Kita tidak pernah tiba-tiba gelisah karena ingin menghadap Tuhan. Saat adzan menggemakan suara takbir, pernahkah kita gelisah mana kala waktu tidak mengizinkan kita untuk bernapas lebih panjang, dan bersujud menghadap Sang Maha Keniscayaan. Zat yang memberikan manusia sifat kegelisahan itu sendiri.
Jalanan kita hari ini memang telah banyak rupanya. Mereka yang hidup di jalan raya bisa jadi jauh lebih beruntung dari pada kita yang tidak pernah menggantungkan nasib dari belas kasihan hilir mudik manusia. Mungkin sekali waktu mereka jauh lebih dekat dengan Tuhan dari pada kita yang hidup mapan. Biarpun alasan mereka menghadap Tuhan didasari oleh kegelisahan ekonomi. Sekali waktu mereka pasti menyadari bahwa Tuhan memberikan keniscayaan-Nya. Melalu rasa bersyukur mereka yang jauh lebih besar dari pada kita yang hidup mapan.
Seperti Si Bocah penjual kumpulan buku doa tadi. Mungkin Ia akan sangat senang dan mengucapkan syukur "Alhamdulilah" mana kala seseorang membeli salah satu dari buku kumpulan doa miliknya yang seharga sepuluh ribu rupiah itu. Sementara uang sebesar itu bagi kita tidaklah terlalu berarti. Mungkin hari ini kita yang mapan rela mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk membeli makanan ringan di mini market. Makan ringan yang dikemas dengan pelastik. Makanan ringan yang mungkin saja lebih banyak angin dari pada isinya. Dan padahal uang sebesar itu dapat ditukurkan dengan sebuah ilmu untuk menghadap Tuhan.
Muhamad Yus Yunus atau M. Yus Yunus Redaktur Website adakreatif.id |