Lebaran Adalah Jalan Keromantisan

Oleh M. Yus Yunus


Ramadan biasanya selalu meninggalkan sebuah kenangan. Ada kenangan yang mungkin menyedihkan, sebuah kenangan yang datang dari benak orang-orang malang. Kenangan itu muncul dari diri orang-orang yang ditinggalkan. Mereka rindu akan bapak-ibu mereka yang tidak sempat merayakan Idul Fitri tahun ini bersama keluarga. Kenangan bersama mereka yang telah tiada mengetuk pintu hati mereka untuk memanjatkan doa. Mudik ke kampung halaman dan berziarah ke makam orang terdahulu kita adalah semacam tradisi yang bernuansa romansa. 

Datang ke rumah saudara lama atau baru, kerabat, sanak-famili, atau datang ke rumah tetangga biasa adalah salah satu dari bentuk keromantisan yang terlihat dengan mata. Mereka yang dijamu dengan ketupat, opor ayam, dan sekaleng Kong Guan di meja tamu adalah orang-orang yang beruntung. Orang-orang yang masih merasakan dahsyatnya keromantisan melalui talisilatuhrahmi yang tak terputus. Meskipun keromantisan itu terasa bagi mereka yang masih diberikan hidup di dunia yang fana ini, keromantisan yang tidak serupa juga berlaku untuk mereka di alam kubur sana.

Keromantisan itu terwujud dan tergambarkan dari niat mereka yang rela bermacet-macetan di jalan raya. Mereka adalah para pemudik romantis yang tahu asal muasal, tahun dari siapa garis kuturnan mereka. Para pemudik yang tidak pernah menghilangkan kenangan masalalu pada isi kepala dan hatinya. Yang kemudian hadir dan berziarah membawa bunga tujuh rupa. Mungkin mereka telah merencanakannya jauh-jauh hari sebelum lebaran datang, atau barang kali sudah terencana sebelum memasuki ramadan, atau bahkan boleh jadi mereka telah merencanakannya di tahun sebelumnya.

Entah sejak kapan bunga menjadi simbol keromantisan. Bahkan bunga sebagai simbol keromantisan tidak hanya berlaku bagi dua sejoli yang sedang kasmaran. Bunga juga menjadi simbol keromantisan untuk mereka yang telah tiada. Bunga-bunga itu ditebarkan pada sebuah makam dengan pengantar doa. Mungkin bunga-bunga itu tidak bergeming di atas kuburan orang terkasih, tidak pula diterima dengan kedua tangan seperti dahulu saat masih menjadi mahluh yang fana. Akan tetapi bunga-bunga itu menjadi saksi yang akan mengering seriring bergulirnya waktu. Bunga yang mengering karena sari-sarinya telah melitasi ruang dan waktu.

Tidak hanya bagi pembeli bunga, keromantisan itu juga berlaku bagi penjual bunga tersebut. Mereka mungkin mengharapkan rupiah dari orang-orang yang berziarah, akan tetapi mereka pulang ke rumah dengan membawa keberkahan. Uang dari hasil jual beli bunga mereka sisihkan untuk anak dan istri mereka. Jika hasilnya memungkinan untuk membeli pakaian baru, mereka datang ke swalayan untuk menghibur keluarga. Apalagi keberkahan yang di bawa pemudik sanggup menularkannya kepada yang tidak pernah merantau. Mereka adalah pemudik romantis yang datang dari panggilam hati bukan sekedar tradisi.

Pemudik semacam ini adalah pemudik yang penuh dengan kasih sayang. Setiap jengkal waktu yang dihabiskan untuk merantau adalah selingan dalam menunggu momen spesial. Sekali waktu saat kerinduan sudah tak tertahankan lagi, mereka akan meledak dalam sebuah doa-doa. Karena tidak melulu keromantisan itu terbangun saat lebaran saja. Melalui tahilil-tahlil yang diselenggarakan secara berkala, keromantisan itu akan tetap terjaga. Doa-doa yang dilantunkan tujuh hari setelah orang terkasih pergi, empat puluh hari, dan bahkan jika Ia mampu persembahan doa-doa itu dapat kembali dilakukan di hari ke seratus atau keseribu. Dengan mengundang orang-orang soleh datang ke rumah untuk dijamu dengan makanan dan minuman atau boleh juga dengan bingkisan sembako. Mereka yang mendapatkan jamuan ini cukup membayarnya dengan doa. Membantu pemilik hajat untuk merayu Tuhan, agar dosa-dosa orang terkasih terampuni. Inilah keromantisan yang maha dahsyat.  Sebuah tradisi keromantisan yang penuh keberkahan dan pernah ada di negeri ini.

Keromantisan itu juga tergambarkan dari orang-orang yang datang memenuhi undangan tahlil. Mereka memanjatkan doa untuk saudara seiman. Pulang-pulang mereka membawa bingkisan untuk anak dan istri mereka. Mungkin tidak seberapa bagi mereka yang mapan, akan tetapi tradisi itu adalah semacam balas budi jikalau suatu saat dibutuhkan. Keharmonisan kemudian terjalin di tengah-tengah masyarakat yang turut ambil bagian dalam melaksanakan kodrat sebagai mahkluk yang romantis.

Meskipun keromantisan dengan merayu Tuhan telah dilakukan berjenjang dari hari ketujuh sampai hari keseribu, mudik tetap menjadi hal yang paling sakral. Lebaran tidak hanya membawa tradisi mudik, perpindahan penduduk dari kota ke kampung halaman saja. Akan tetapi juga lebaran menjadi hari keromantisan anatara manusia dengan manusia, juga lebih khusus anatara manusia dengan Tuhan.

Tradisi mudik mengajarkan kita tentang betapa romantisnya hidup sebagai seorang muslim yang berbudaya ketimuran di negeri ini. Mereka datang melepas kerinduan dengan orang yang hanya dapat dilihat dari batu nisannya saja. Ketika senja mulai turun selepas salat Ashar, mereka membersihkan makam leluhur mereka dari dedaun kering yang terjatuh, dan dari semak belukar atau rumput liar. Saat gundukan tanah itu sudah terlihat bersih, mereka taburkan air wewangian, dan bunga-bunga yang indah. Kemudian mereka duduk bersimpu, membaca ayat suci untuk merayu Tuhan agar memaafkan dosa-dosa penghuni makam tersebut.

Seperti seorang istri yang butuh rayuan, sifat Tuhan juga tergambarkan di sana. Bagaimana Tuhan mengabulkan doa Adam dengan diciptakannya Hawa adalah salah satu cara agar Adam tahu betul seperti apa Tuhannya. Tuhan telah meciptakan sifat romantis itu sendiri pada diri manusia, sehingga Zat yang paling tahu dengan mahluk ciptaan-Nya sendiri itu tidak perlu menjelaskannya sendiri kepada Adam. Tuhan tahu Adam akan tahu, bahwa kodrat manusia adalah berpasangan. Tuhan Yang Maha Tahu kemudian membiarkan Iblis menggoda Hawa dan Adam. Tuhan sudah mengetahui bahwa Hawan dan Adam tidak akan tahan dengan godaan Setan. Barang kali peraturan yang dibuat Tuhan untuk tidak memakan buah Khuldi adalah kemurahan Tuhan untuk membuat Iblis merasa berdaya untuk menggoda manusia. Dan meskipun keduanya diturunkan ke muka bumi akibat kesalahan tersebut, akan tetapi Tuhan telah menyiapkan segala kebutuhan manusia di dalamnya. Sungguh Allah adalah Tuhan Yang Maha Romantis sekaligus Sutradara Yang Maha Sistematis.

Lebaran sebagai jalan keromantisan tidak hanya mengingatkan kita kepada sesama, tetapi juga kepada Yang Maha Esa. Ialah Tuhan pencipta segala alam. Alam itu termasuk yang lahir dan yang batin. Melalui alam lahir kita sanggup mengingat kenangan bersama orang terkasih. Sementara melalui alam batin kita sanggup menyadarkan diri manakalah kematian akan datang kapan saja, dan menjemput kita menuju hadapan-Nya. Keromantisan ini telah ada pada diri manusia semenjak manusia pertama dilahirkan. Semenjak itulah Adam hanya menginginkan Hawa seklipun surga dipenuhi banyak kemewahan. Berkat kasih sayang Tuhan, permintaan Adam dikabulkan. Keduanya sama-sama membuat kesalahan saat hidup di surga lalu diturunkan kedunia. Baik Adam ataupun Hawa keduanya menjadi mahluk fana yang setiap waktu ajal dapat merenggut kebahagiaan mereka berdua. Namun Adam dapat menemukan Hawa kembali dan berketurnan. Sekalipun Tuhan marah kepada keduanya, akan tetapi kasih sayang-Nya kepada Adam tidak pernah menghilang. Keromantisan itu juga dilanjutkan pada kisah Nabi Ibrahim. Sekalipun cinta membutuhkan pembuktian, namun Tuhan merespon pengorbanan itu dengan kasih sayang yang agung.

M. Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus atau M. Yus Yunus
Redaktur Website adakreatif.id

Lebih baru Lebih lama