Ramadan dan Kegelisahan Manusia

 


Oleh Taufiq Wr. Hidayat

Bulan puasa, kata sebagian orang, menyimpan banyak kenangan. Ia bukan sekadar penanda. Melainkan ada nilai di dalamnya. Ia bernilai bagi mereka yang tak melupakan kenangan, tak mengabaikan masa lalu, dan tak meninggalkan asal muasal.

Meski bulan puasa sebagai rutinitas tahunan dan tradisi, cukup melelahkan. Ibadah yang istimewa. Puasa menjadi istimewa lantaran sesungguhnya ia adalah laku sunyi, dan sangat personal. Tapi karena rutinitas dan tradisi ramai, bulan puasa menjadi ibadah agama yang paling ramai di samping haji yang juga ramai. Di situ banyak sekali sponsor.

Tetapi bulan puasa di pasar rakyat adalah berkah. Meski semua berjalan bersama rutinitas dalam pertahanan hidup. Harga-harga pun mendadak.

Tapi apa kabar puasa di tengah perang dan kesulitan hidup? Masih adakah harapan surga di tengah semua ini, di tengah manusia yang masih berharap kepada Tuhan melalui agama dengan puasa? adakah puasa yang sampai pada membebaskan, bukan sponsor sarung dan sirup, bukan cuma tafsir ayat suci perihal puasa yang berulang-ulang seperti rekaman

*

Dalam film "Hiroshima Mon Amour", garapan Alain Resnais pada 1959 dengan naskah Marguerite Duras, ada cinta tak dapat diraih walau dua tubuh berpeluk erat. Tubuh lawan jenis terbaluri debu vulkanik, berkeringat penuh hasrat.

Dan perpisahan. Juga kehendak dalam upaya saling melupakan. Manusia berlarian. Bom. Serpihan-serpihan kehancuran. Kekuasaan politik tertawa congkak. Di antara asap dan reruntuhan, ada hati remuk redam dalam ketakberdayaan. Hati yang hancur dan sungguh sukar kembali diutuhkan.

Alangkah agungnya cinta, hingga ia harus darah, harus perpisahan, harus melupakan dengan rasa sakit yang tiada batasnya.

Haruskah?

Barangkali manusia memang tak pernah selesai mengerti, kenapa harus ada kehancuran? Siapa pula yang harus menjadi muara kerisauan purba itu? Namun ia pun tidak henti bertanya; kenapa harus ada kehidupan jika mesti berakhir pada kematian, pada sakitnya melupakan lantaran merindukan hidup yang baik?

Betapa ganjilnya!

"Tak ada hidup yang normal. Yang ada hanyalah hidup saja!" ujar Doc Holliday pada kawannya, Wyatt Earp, dalam sebuah film koboy "Tombstone" (1993) garapan George P. Cosmatos.

Tapi barangkali Alain Resnais, sutradara agung itu, tak pernah menyaksikan wayang kulit Jawa. Namun ia menggambarkan kerisauan bagaikan kerisauan Semar melihat realitas dunia, realitas dan kegelisahan manusia. Dengan tenang, Bhatara Ismaya alias Semar Badranaya menelan semesta raya dalam perutnya.

Wedhatama mencatat kegelisahan manusia yang terasing dalam belantara kesibukan kehendak yang justru membuktikan ketakberdayaan yang rapuh, ketaksanggupan meraih apa yang sudah di depan mata. Kehendak dan kemelimpahan di depan mata, di sekeliling, justru tak dapat menjadi sarana meraih keutuhan dengan yang lain. Selalu realitas terjadi di luar dugaan dan pengandaian.

Manusia tak sanggup bertahan dalam sepi, pun tak dapat mengalahkan kehendak dan keinginan dalam kesibukan waktu. Ia mesti melihat dirinya yang hanya terlihat pada diri lain, pada kenyataan yang sering dikacau ambisi saling menguasai.


tan samar pamoring suksma

sinuksma winahya ing ngasepi

sinimpen telenging ati


Di dalam sepi yang melubuk-hati, Wedhatama mencatat kemanusiaan yang seharusnya dikokohkan dengan upaya-upaya sepenuh jiwa, dengan kasih-sayang, di mana ia berkenalan dan mengenali jatidirinya.

Di dalam waktu, segala makhluk, baik maupun jahat, berenang. Sejatinya ia baik. Adanya kejahatan lantaran kehilangan yang baik, bagaikan kegelapan yang hakikatnya keadaan tanpa cahaya. Dalam jungkir-balik baik-jahat, cinta-dendam, manusia tetaplah pusat dan dirinya sendiri sebagaimana yang Nietzsche tahbiskan.

Ke mana diusir kekejian dari kehendak jahat manusia itu? Ke lubuk samudera! Ke dasar kehidupan, ke dalam lubuk jiwa yang sepenuhnya gelap: tanpa cahaya. Ia perlu diterangi kesadaran, agar menjelma daya membela hidup yang layak. Sebentuk upaya, yang dalam teks suci: "minadh-dhulumati ilan-nur" (dari gelap menuju cahaya).

Dan seperti biasa, bulan puasa melewati derita dunia, semua itu. Kecemasan manusia dari hari ke hari. Puasa menjadi indah di malam hari bagi kanak-kanak yang hidup dengan wajar, meski dalam keterbatasan, namun masih dalam negeri yang tak dilanda peperangan. Meski masih menyimpan kegelisahan panjang perihal kekuasaan mesin dan corcoran.

Barangkali masa lalu sebagian kita. Masa kecil kita. Masa di mana dunia bagai baru saja diciptakan. Yang kini, sebagian atau seluruhnya telah hilang. Entah ke mana. Terpencar entah di mana.


Selamat berpuasa.. .

17-2024

M. Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus atau M. Yus Yunus
Redaktur Website adakreatif.id


Lebih baru Lebih lama