Apalah Arti Nilai Tanpa Sebuah Proses

Oleh M. Yus Yunus

Pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan, sesuai dengan cita-cita bangsa yang mencantumkannya ke dalam undang-undang dasar 1945. Pendidikan sejatinya tidak hanya membentuk pribadi seorang siswa yang berkarakter, tetapi juga pendidikan adalah sebuat sistem untuk membentuk masyarakat. Ungkapan itu telah lama disampaikan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, siapa lagi kalau bukan KI Hajar Dewantara. 

Saat ini gagasan dari Bapak Pendidikan kita coba ditungkan benar-benar di dalam kurikulum. Seperti apa yang disebut sebagai kodrat zaman, kodrat alam, dan kodrat lahir. Bawasaannya setiap anak terlahir dengan kodratnya masing-masing, maka tidak bisa kita samakan dengan keadaan kita sewaktu kecil dahulu. Kita sebagai orang dewasa tidak bisa menjauhkan anak-anak kita dari kodratnya. Maka yang perlu kita lakukan adalah "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ingin Madya Mangun Karsa, lan Tutwuri Handayani" di depan memberikan teladan, di tengah membangun ide dan gagasan, dan di belakang memberikan dorongan motivasi.

Semboyan pendidikan di atas agaknya cukup paradoks jika dikaitan dengan pendidikan saat ini. Semobayan pendidikan itu jika kita pahami kedalaman maknanya maka kita akan menemukan sistem pendidikan yang benar-benar merdeka. Namun sayangnya semboyan tersebut tidak benar-benar direalisasikan dengan baik oleh pelaksana pembangunan pendiidkan, dan pemangku kekuasaan yang berpengaruh terhadap kinerja guru.

Adanya konsep penilaian angka pada dunia pendidikan seperti yang tertera di rapor secara kontan telah meruntuhkan cita-cita bangsa untuk membangun insan yang merdeka melalui pendidikan. Dahulu nilai ujian nasional menjadi hal yang harus dicapai oleh seluruh siswa di negeri ini untuk mendapatkan kelulusan. Oleh karena itu siswa menjadi tidak merdeka, karena siswa mendapatkan tekanan secara mental yang terus membayang-bayangi sisa waktunya di sekolah. Beberapa waktu kemudian tiba-tiba ujian nasional dihapus dengan ditandainya surat edaran dari Mendigbud No. 1 Tahun 2021, akibat banyaknya polemik. Namun masih dengan konsep yang sama yaitu adanya sebuah nilai sebagai penanda tercapainya kompetensi.

Jelas konsep nilai dalam sebuah ujian hanya menunjukan kemampuan siswa secara hard skill. Sementara kemampuan itu perlu diimbangi dengan apa yang disebut soft skill. Contohnya dalam sebuah ujan bahasa seseorang anak tahu betul tentang teori-teori linguistik dan kerap mendapatkan nilai yang cukup baik berkat menjawab soal ujian, namun dalam kehidupan sehari-hari Ia tidak dapat menerapkannya dalam bentuk komunikasi bahasa. 

Nilai dianggap memiliki fungsi yang berguna dalam menentukan sesuatu. Seperti saat kita sekolah dahulu, nilai menjadi salah satu penentu keberhasilan seorang siswa dalam mencapai kompetensi. Saat ini meskipun paradigma baru telah digagas oleh kemendikbud tentang bagaimana seorang guru dan orang tua harus memiliki cara pandang baru dalam mendidik, namun kenyataannya nilai yang berupa angka masih tertera di dalam rapor siswa. 

Memang segala upaya telah banyak dibuat oleh perangkat pendidikan untuk membuat penilaian yang objek. Dengan menggunakan istilah indikator ketercapaian, rubik dibuat sedemikian rupa agar terlihat semakin objektif dalam menentukan nilai seorang siswa. Seperti jika Ia kurang memahami berbedaan buah nangka dan apel dari segi warna, maka dia akan mendapatkan nilai 1 (satu) kurang baik, lalu jika Ia ternyata mengetahui perbedaan nangka dan apel dari segi warna akan tetapi tidak mengetahui rasanya maka akan mendapatkan nilai 2 (dua) atau cukup baik, dan jika seorang siswa dapat membedakan warna dan rasa dari buah nangka dengan apel maka mendapatkan nilai 3 (tiga) baik sekali, akan tetapi jika seorang siswa tersebut dapat membedakan nangka dengan apel dari berbagai aspek, dan sekaligus dapat membedakan dari nilai gizinya makanya Ia mendapatkan nilai 4 (empat) angat baik. Padahal ukuran untuk mendapat nilai 1, 2, 3, dan 4 adalah pengaruh konsep nilai pada kepala seorang pendidik yang mana tidak memiliki akar. Dari mana angka-angka itu muncul dan kenapa menggunakan angka? 

Dalam kehiduan sehari-hari kita memang selalu bergantung kepada sebuah nilai. Contohnya seperti nilai mata uang yang dapat merubah kehidupan seseorang. Seperti saat kita membeli seperempat gula di warung Madura, jika kita membawa uang dengan nilai melebihi harga gula maka kita akan mendapatkan kembalian, padahal setiap uang memliki harga. Harga yang terdapat pada sebuah mata uang bukan hanya ditentukan oleh nilai, akan tetapi juga cara mendapatkannya. Seperti seorang pengamen yang telah berkeliling seharian mencari rupiah, seberapapun uang receh yang diberikan orang lain sangat bernilai dan berhaga untuknya.

Atau nilai juga terdapat pada aktivitas kita yang lain selain peredaran uang, seperti usaha seorang atlit nasional dalam mendapatkan prestasi. Mungkin Ia kalah saat itu, namun perjuangannya memberikan nilai tersendiri bagi penggemarnya, tentang betapa berharganya arti dari sebuah perjungan, semangat bertarung, dan rasa nasionalme. Padahal nilai tidak hanya seputar angka bukan? Tapi kenapa nilai angka menjadi sangat berharga melebihi proses untuk mendapatkannya. Padahal seseorang bisa salah sekarang, namun dengan kesalahan itu Ia dapat berubah. Sehingga Ia mendapat nilai dari pengalaman yang berharga. 

Bisa jadi pertanyaan itu dapat kita temukan melalui cara yang lebih kritis. Dengan uraian yang dibahas di atas maka dunia pndidikan juga memiliki andil yang besar untuk mempengaruhi arti dari sebuah nilai secara angka. Ada berbagai negara yang tidak menggunakan nilai pada rapor mereka, seperti siswa-siswa di Irlandia, dan Australia. Nilai rapornya berupa deskripsi bukan angka. Dari deskripsi itu orang tua dapat memahami apa yang dialami, diaraskan, dibutuhkan, dan sekaligus dapat digunakan untuk menentukan tindakan yang baik bagi masa depan anaknya.

Tidak seperti di negeri kita, dimana seorang bapak kerap melucuti anaknya dengan kalimat-kalimat pedas saat si anak tidak sanggup mencapai nilai standar kompetensi. Sungguh sangat disayangkan. Maka nilai proses dalam pembelajaran perlu diadakan sebagai bentuk bantuan kepada orang tua. Sehingga kita dan orang tua lainnya sebagai warga negara berhak dan turut andil dalam membangun pendidikan yang merdeka sesuai cita-cita bangsa.


M. Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus atau M. Yus Yunus
Redaktur Website adakreatif.id

Lebih baru Lebih lama