Jalan Raya Menuju Merdeka

Oleh M. Yus Yunus


Hari kemerdekaan telah tiba, masyarakat berbahagia dengan aneka lomba dan perayaan lainnya. Mereka tertawa bahagia, mengisi jalanan komplek dengaan menebar suka dan canda. Tujuh puluh sembilan tahun menandakan waku yang mendekati satu abad. Tujuh puluh sembilan tahun itu pula berarti sebuah jarak pembeda zaman. Pastinya tujuh puluh sembilan tahun yang lalu sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Namun puluhan tahun yang lalu itu bangsa kita sudah mencetuskan cita-citanya akan pendidikan yang merdeka dan bermartabat. Lalu di bulan kemerdekaan ini, apakah pendidikan sudah kita menuju merdeka?

Hari kemerdekatan dirayakan dengan pernak-pernik meriah, mereka memenuhi jalan-jalan dengan suguhan warna merah dan putih, sementara para pedagang memenuhi lapangan tanah untuk mengadu nasib dengan waktu dan keadaan. Berharap riang bocah dan keramaian lomba tujuh belasan membawa berkah untuk keluarganya di rumah, atau untuk mengirim ibu-bapaknya dikampung halaman. Hari kemerdekaan memang telah membangun komoditas ekonomi, setidaknya bagi penjual bendera, tukang sablon, dan penjual barang atau jasa lainnya. 

Tanggal 17 Agustus memang hari yang merdeka. Karena di hari itu orang-orang berhenti memikirkan pekerjaan di kantor mereka, anak-anak sekolah berhenti mengerjakan tugas rumah, namun kendaraan di jalan raya tidak pernah surut. Remaja yang tidak betah di rumah akan memutuskan untuk menemui rekan sebayanya, duduk disebuah kedai lalu menghabiskan waktu dengan banyak bicara. Tidak perdulu kedai akan tutup di jam berapa, dengan merdeka Ia kembali memesan segelas menu di muka. Tidak seperti bapak/ibu panitia karangtaruna yang sampai begadang memikirkan acara. Seketika dalam malam yang mulai menerbitkan mentari, tubuh dan pikirannya terjebak pada hari kemerdekaan yang banyak menguras waktu dan tenaganya. Di balik rasa emosi, kepuasan, dan sanjungan, mungkin mereka juga muak untuk menerima kenyataan bahwa hari itu Ia sama sekali tidak merdeka.

Merdeka atau tidak, bukan hanya diukur dari perasaan. Merdeka pula bukan hanya diukur dari kebebasan, dan bentuk tawa seseorang, karena tidak semua tawa memiliki arti kebahagiaan yang sama. Artinya bahwa bahagia pun belum tentu sebab-akibat adanya merdeka. Merdeka juga tidak dapat dikatagorikan sebagai sebuah nilai. Akan tetapi merdeka adalah perasaan yang muncul akibat adanya kesadaran untuk bebas dari belenggu.

Bisa jadi hari ini kita terbelenggu oleh sesuatu yang secara tidak sadar telah membuat hidup kita tidak merdeka, namun kita tidak pernah menyadari akan hal itu. Sehingga kita terlihat tidak kenapa-kenapa. Seperti ketika Anda membeli minyak goreng di minimarket. Anda tidak dapat menolak ketika harga minyak goreng tiba-tiba naik. Akan tetapi, Anda masih bisa memilih salah satu dari sekian banyak minyak goreng yang mengalami kenaikan namun tidak terlalu tinggi. Apapun itu, baru saja Anda mengalami sebuah kenyataan bahwa faktanya harga minyak goreng telah naik. Sehingga Anda mengeluarkan uang dengan perasaan yang tidak merdeka. Ada perasaan cemas, khawatir, dan ragu-ragu. Kejadian itu Anda anggap sebagai kebutuhan hidup yang terus mencekik, bukan kemerdekaan yang kini sudah tidak ada artinya. 

Mungkin saja kemerdekaan saat ini sama seperti kisah Seekor Burung Perkutut yang digambarkan oleh Putu Wijaya. Atau mungkin juga kemerdekaan hari ini sebatas hari-hari libur yang penuh dengan kegiatan lomba dan hadiah. 

Beberapa lomba-lomba yang mungkin Anda ikuti itu konon katanya mempunyai makna tentang perjuangan, kegigihan, dan semangat melawat keputusasaan. Namun sejatinya ujian terbesar kita sebagai negara yang merdeka adalah tatkala kemerdekaan itu telah larut dengan kebahagiaan. Apakah kita tetap waspada, atau bahagia begitu saja dengan perayaan tanpa tahu apa tindakan yang harus diambil ditahun-tahun mendatang. Sudahkah kita benar-benar merdeka?

Bendera merah putih itu menghiasi jalan-jalan, dan mengisi setiap gang-gang. Ukurannya berbeda dan cara menempatkannya pun berbeda pula. Sekilas tidak jauh berbeda dari perayaan sebelum-sebelumnya. Lomba yang diadakan masih sama seperti tahu-tahun sebelumnya, meskipun juga ada beberapa yang baru. Namun yang menjadi perhatian adalah apakah rasa kemerdekaan itu masih sama seperti pertama kali Hut RI itu di gelar? Mungkin saja tidak, karena zaman telah memberikan warna yang berbeda.

Kita sudah melalui banyak masalah dalam satu tahun yang lalu, bahkan selama tujuh puluh sembilan tahun yang lalu. Seperti halnya kita ketika berjalan kaki, menoleh ke belakang boleh saja, akan tetapi jangan pernah melangkah kembali karena kita akan mengulang langkah dan perjalananmu akan bertambah jaraknya. Seperti itulah kemerdekaan kita hari ini. 

Rasanya kawan-kawan kita terlalu malas untuk diajak ngobrol soal sejarah, mereka lebih suka membicarakan trend dan hal-hal viral saat ini. Rasanya semakin hari semakin sumpek, banyak kebutuhan yang tidak sesuai pendapatan, hutang pinjol disana-sini. Rasanya semakin hari jelanan semakin padat, dipenuhi abang ojol yang berkendara tanpa penumpang. Rasanya semakin hari angka pada selembar uang kertas semakin banyak saja, tahu-tahu uang logam tidak ada harganya. Mungkin kita sudah merdeka, akan tetapi kebutuhan ini memenjarakan kita.

Kita belum tahu apa-apa tentang Undang-undang dasar kita sendiri, apalagi meneladani nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Untuk ke pasar saja, kaum ibu-ibu harus menahan cemas kalau-kalau harga minyak dan bawang merah tahu-tahu naik begitu saja. 

Kita masih belum sanggup mewujudkan cita-cita bangsa untuk terbang tinggi seperti burung garuda. Kita terlalu awam untuk bernasionalis dengan duduk di depan televisi menyaksikan dan membela tim nasioal di ajang kejuaraan olahraga, tanpa tahu kalau anak-anak kita dari timur berhasil menjuari olimpiade matematika, tanpa tahu kalau kekeringan masih melanda beberapa daerah saat musim kemarau tiba. Kita harus berbenah, merdeka artinya menjalanin hidup dengan sadar sebagai manusia dan sebagai anggota negara.

Menjalani kemerdekaan secara sadar berarti, siap dan waspada terhadap segala upaya dari luar untuk meruntuhkan NKRI. Namun untuk mencapai itu kita membutuhkan pengetahuan, informasi yang cukup melalui literasi, dan kemampuan bernalar kritis untuk dapat menganalisa sesuai. Dalam mempertahankan keutuhan, dan harkat martabat NKRI, berkelakuan baik saja tidak cukup, dia juga harus cerdas dan sadar akan statusnya sebagai bagian dari negara. Sadar berarti tahu, mengerti, dan melaksanakan. Sadar berarti betul-betul faham bahwa tanah air ini dan segala isinya adalah milik kita. Bukan milik kita untuk dijual dan mendapatkan uang. Bukan milik kita untuk diakui dan disingkirkan penduduk aslinya. Milik kita berarti sebuah tanggung jawab bersama. Semua pihak wajib dan berhak menyarakannya.

Jadi merdeka itu ya apa lagi? Yang jelas bukan rebahan di atas dipan sambil menonton mba-mba goyang-goyang.

M. Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus atau M. Yus Yunus
Redaktur Website adakreatif.id

Lebih baru Lebih lama