Sajak Historis Ahmad Rizki di Tangerang Selatan

Oleh Ahmad Rizki

PURNAMA, JALAN PAHLAWAN
Hai, Dik.

Mari ingat kembali rumah suka
yang kini musnah karena suatu apa.
Jangan kauingat yang lainnya,
ingatlah, pohon teduh
ketika aku memelukmu,
dan angin mengaliri cinta kita.

Sial. memang sial nasib kita.
Aku, tidak lulus sekolah
dan bapakmu kurang suka.
Dan hari-hari yang lalu
mengalir bagai lautan arak
karena semakin membuat Kau, Aku
membuat kita berjarak.

Dan kini, kuingat lagi
wajahmu di balik purnama.
walau agak beda, tapi senyumnya bergairah.

Di sepanjang trotoar,
berjejer ruko makanan,
senyum birahi memesona,
lantas sebab apa keadaan gampang berubah?

Aku benci wajah baru
karena tak kukenali bau rambutmu,
tak kukenali tubuh molekmu,
tak kulihat lagi kebon milik bapakmu,
kambing jantan, pohon rambutan,
anak-anak ingusan, dan gincu merah mudamu.

Kau tahu, Dik?
Mengenang engkau
adalah mengenang budaya.
Ketika lelaki lain menggoda
aku tak terima dan berani berkata:
Daging ini milik kita!
Tapi, ia bukan sekadar benda
coba maju kalau berani
kita ogah seri, apalagi kalah!

Ha-ha-ha. 

Itu lucu, Dik.
Aku terkenang dan terkesima,
lalu, babamu keluar dan marah,
ia tunjuk semua pakai senjata, matanya 
merah dan ia berkata:
Astaga! Bocah kemaren sore
pada balik semua. Kagak ada
cinta-cintaan. Gadis perawan
bukan barang jualan.

Hai, Dik.
Cinta melahirkan kenangan
dan nyatanya itu yang berkesan,
meski aku tak dapati dirimu,
dan tak kukenali wajah masyarakatmu
dalam pantulan purnama itu.

Hai, Dik.
Hari berganti semaunya,
tapi apakah kenangan juga musnah?

Sambil kususuri jejakmu
kunikmati hiburan murahan
dan aku terkenang oleh Kakakmu
yang berkisah semalaman tak kenal waktu.
(+) apa kutahu, Rempoa? ini pinggiran Jakarta
tapi kita orang Betawi, dan
orang menganggap
kita malas dan ceroboh
atau gampang jual tanah
untuk kehidupan yang melulu susah.
(-) aku tahu ini Jakarta. Dan, semua orang
Indonesia migrasi ke Jakarta.
(+) meski kautahu beberapa. 
tapi, belum tentu kaudapati adikku jadi milikmu.
karena budaya cinta tak sama
dengan istilah cinta
dan perihal itu, hasilnya beda-beda.
(-) aku tahu itu bukan masalah
dan aku hanya punya pasrah.

Hai, Dik.
Purnama berganti wajah,
kenanganmu samar-samar menyala,
tapi adat yang serakah,
dan budaya manusia selalu berubah
selalu menyiksa kenangan,
selalu menakuti masa depan.
Astaga! Purnama menyelinap 
dalam tradisi pencak silat,
dan rinduku padamu terlelap, sesat!

Hai, Dik.
Mari ingat kembali rumah suka
yang kini musnah karena suatu apa.

Dulu, auranya
namanya, hidupnya...
astaga... jangan sebut itu...
sudah biarlah semua menyatu,
dan biarlah masyarakatmu tak yakin itu.
Karena sebentar lagi,
sesaat lagi,
sisa-sisa itu mati;
kau dan aku abadi
—walau hanya dalam puisi.
(Rempoa, 2022)



LAPANGAN ALAP-ALAP, STASIUN SUDIMARA
: buat Wildhani. R

Dari keramaian, dari budaya yang takhayul
suara kereta timbul dari utara memantul
menjadi malam,
menjadi bulan 
yang mati penasaran.

Ingatlah, di pinggir lapangan,
di seberangnya stasiun kereta
kita seret keyakinan
dan ketakutan itu.
Di antara udara yang beku
dan di ujung jalan pasar itu,
kita cekik buku dalam abad yang kusam,
kita menerawang, 
masa depan hitam,
dan keberanian bukan soal nyali
kau ingat semua butuh strategi?
Betapa lesunya pikiran,
betapa kosongnya harapan.

Melalui suara kereta,
kita paham hakikat dosa,
janganlah saling bermuka dua
dari wajah kusut karyawan kelas bawah
dan perawan muda yang menggoda,
hari-hari dibakar aura neraka,
dalam kepalsuan,
kita kebingungan.

Setiap orang punya hak dan rahmat,
tapi hidup amatlah sesak,
betapa angkuh,
dan dunia menertawakan kita.
Menyusuri stasiun Sudimara,
menggapai kenangan berdarah,
akankah kita tanam bibit puisi: dari pelarian, 
dari sebuah rahasia
seberapa celaka hidup kita?

Memandangi keadaan,
udara gaib menjengkelkan,
dan dari suara orang-orang,
sebuah pertanyaan nongol dari utara:
ini permainan! ini permainan! ini permainan!
O, betapa prihatin,
betapa memesona,
Sang Malapetaka.

O, betapa menyebalkan
karena bulan mati penasaran.

Di stasiun Sudimara, di sekitar
lapangan alap-alap, kita terluka,
tapi masih bisa tertawa.
Dan malam menyebalkan
karena bulan mati penasaran.

Dari keramaian, 
dari kenyataan yang neraka,
suara kereta bagai lelucon masa remaja
karena malam bingung
kenapa bulan mati penasaran?
(Ciputat, 2022)



MALAM, ALUN-ALUN PAMULANG
SayangKu… setelah 
malam rebah,
suara kaki lima kalah
karena segala perbincangan
selalu melahirkan wajah yang duka,
rencana-rencana bertengkar
dalam mitos dan ambisi yang hambar.

Di sepanjang trotoar, 
di seberangnya,Tugu 
baru menyala, di sini, 
di Pamulang yang ramai 
dan sangsi,
wajah-wajah gemetar,
kehidupan samar-samar.

Ah, buset, sayangKu!
Dari suara-suara yang membludak 
keterasinganku semakin galak.
Keramaian, kemacetan,

kemajuan yang hampa, 
dan sampah yang tak ada habisnya,
menjerat emosi jiwa, sia-sia!

SayangKu… walau 
perjalanan dunia begitu cepat
dan para pemberontak punya tekad bulat,
kita tetap sama.

Walau memakai wajah baru,
ketertinggalan demi ketertinggalan,
kemajuan, dan kebingungan 
tak menghasilkan apa-apa
selain dosa, payah, dan celaka.

SayangKu… setelah 
bulan telanjang, birahi, 
melahirkan pemberontakan
hingga keterasinganku tak terelakkan.

Astaga! Wajah kita bimbang
walau telah menghambur-hamburkan doa
kita tetap sebatangkara, dan dibayangi dosa,
kehidupan nelangsa, 
dan kelahiran dari hari baru 
tak ada bedanya.

SayangKu… malam di sini 
tetaplah sama
walau polusi jahat 
menakuti kita

dan orang-orang miskin tetap kalah,
dan orang-orang kalah tetap sengsara,
dan sebagian anak muda
menyesali kelahiran hidupnya;

mereka berontak tapi kalah;
mereka melawan tapi percuma;
mereka berpolitik tapi sia-sia;
mereka pulang ke rumah,
tapi semakin sengsara.

Mereka saling percaya,
Tapi juga saling curiga.

SayangKu… demi langit hitam 
dan udara sangar: bolehkah kugerayangi 
jiwamu dengan liar?

Setelah malam rebah
dan Pamulang hanya sisa-sisa, 
Tuhan menyelimuti tangis kita,
Tuhan menjelma sedih dan derita;
kepasrahan yang angkuh,
tertunda dalam nelangsa 
yang resah.

Tapi, bagaimana menghindari kenyataan?
Astaga! 
Itu masalah bersama dan
itu yang harus dipikirkan bersama,
lalu kematian, bagaimana?
 
Bukankah Tuhan menyediakan sorga?
Lalu, penerimaan seperti apa
yang musti kita percaya?

Ah, SayangKu…
apakah malam dan Pamulang,
mengerti maksud kita?

Hai, sayangKu… dengarlah: 
kibarkan nafsu agar 
hidup tak melulu begitu—walau hidup 
memang begitu—dan agar hidup 
tak melulu rutinitas
tetapi juga birahi, 
yang bebas—tak terbatas.

Astaga! Apakah itu tidak sia-sia?
dan dengan cara apa mereka
mengerti kita?

Malam kalang-kabut
dari suara vespa yang ngebut,
dari siluet Tugu baru hampa
menyoroti keasingan wajah kita.

Tapi, sayangKu...
masih pantaskah kuucapkan cinta?

Bila prestasi budaya
kemurnian mantra
selalu mengudara,
kabur-lepas dari jangkauan hidup kita!



(Pamulang, 2023)
Ahmad Rizki, menatap di Tangsel. Sekarang menjadi buruh harian lepas buat menutupi hidup sehari-hari, dan sesekali belajar sastra, seni dan disiplin sejenisnya. Korespondensi: ahrizki048@gmail.com
Lebih baru Lebih lama