Oleh Eka Gilang Sulaeman
PERJALANAN
Saat aku berada di timur jauh
Kutemukan kelembutan
Saat aku berada di barat jauh
Kutemukan kemolekan
Saat aku berada di antara keduanya
Kutemukan peperangan
Saat tiba di pintu rumah
Kutemukan air liur rakyat jelata
LAUTAN LUKA
Derita dari segala rahasia
Rahasia yang bukan rahasia
Sebab semua telah kita lalui dengan perahu kesabaran yang mulai rapuh. Agaknya kekuasaan telah menjadi gunung es yang menggores perahu kita, dan satu-persatu kita tenggelam ke dalam luka tak berdasar.
Luka adalah lautan kesedihan
Di sini aku tak melihat Darwin menjadi ikan dan menduyung. Kita tenggelam dan terus tenggelam. Oh, alangkah pendidikan menyumpal mata dengan bualan malam. Dan semua tahu, kini permukaan adalah emas untuk menyambung nafas. Kita saling menikam, meski kita tahu bahwa itu hanya memperdalam luka.
Kita pun kehilangan daya
Sekarang hanya tinggal menitip harap kepada nafas yang mencuat, sebab kita tahu bahwa di langit sana ada senyum Tuhan yang menunggu.
KESAKSIAN CUCU PETANI
Di gundukan tanah tertanam nisan
Aku teringat jasa kakekku pahlawan tak ternama yang tabah membopong keringatnya di pematang
demi menyumpal lapar perut mereka yang nyaris tak mengenal terimakasih. Makan di tempat mewah dengan liur jemawa penuh kelakar, tanpa peduli keringat kakek mulai berkerak.
Aku menangis waktu teringat keringat malang itu sengaja dijebloskan ke dalam saluran pembuangan. Padahal setiap siang, kakek rela membakar diri demi hanguskan dendam, agar keringatnya tak menjelma bara petaka bagi mereka.
Setiap sore kakek mengumpulkan batu-batu kedengkiannya dan mengikatnya dengan benang cinta untuk dijadikan teman tasbih saat menghadap Tuhan pada waktu orang-orang menerbangkan mimpi liarnya ke angkasa.
Terlunta-lunta lidah kakek merakit pujian pada Tuhan. Bergetar tangannya mengangkat doa akan keselamatan perut mereka dari terkaman rasa lapar. Liur kakek penuh rapal menggenang di retak
kakinya bercampur dengan lelehan kristal dari pelupuk mata senja.
Kakekku pahlawan tak ternama
tak kenal ketenaran, bekerja sesunyi malam
memeras cinta, berjemur asa, kata-kata meredam
pada ketabahan yang luruh.
TANYAKU PADA BUNDA PERTIWI
Saat itu,
Mimpi-mimpi berkeliaran
Dingin menusuk rusuk
Malam selimuti hati
Dan tanya meronta di kepala:
Bunda kami Pertiwi, mengapa anak-anakmu
Lebih gemar mengasah lidah dari pada mencuci hati?
Maaf Nak, Bunda sibuk jadi berhala di upacara pagi.
RINDU KASIH SAYANG ANGIN
Batu-batu itu diangkat dari rahim bumi
Mengubur pepohonan dan kehidupan
Dan angin menggelepar hilang nafas
Terbentur gunung batu.
Barangkali itulah sebab kulitku menangis
Menangis tak dapat kasih sayang angin
Sebab mentari meledak di penjuru kota
Bagi siapa saja yang rindu kasih sayang angin
Yang kulitnya menangis, atau tenggorokannya gersang
Akan menjerit di sudut-sudut kota, di beranda berita
Berbicara tentang angin, memanggil angin
Angin yang teduh, yang lahir dari pori-pori daun
Yang berbisik di telinga, membawa nyanyi burung
Yang tumbang disambar peluru.