Aroma Jember

Oleh Taufiq Wr. Hidayat

Catatan:

Ada yang niscaya hilang di antara kenang dan kepergian-kepergian. Tapi apakah hujan yang mengetuk jendela rumahmu menyampaikan kisah panjang dari kejauhan, dari kembaranya yang jauh dan melelahkan? Aroma tembakau dan wangi kopi masih saya ingat di dalam kenang, seperti saat pertama yang tak terjelaskan. Di antara jantung-jantung manusia yang merangkak menggapai puncak gedung-gedung asing di kepalamu yang botak. Kota-kota. Wabah dari nasib. Kemiskinan dan ketakberdayaan. Dan sehelai cerita.

Saya melewati pagi. Bunyi kendaraan. Dan gerimis yang jatuh sejak semalam. Orang-orang kedinginan. Asap tembakau. Dan segelas kopi. Ada yang enggan beranjak. Keasingan dan kehilangan, tiada apa-apa. Ada waktu yang tak ingin terburu. Di dalam yang lekas dan pintas, ada hati yang ingin segalanya terlambat. Lamban. Dan begitu perlahan. Kenapa terburu-buru, sayang? Bisik seorang penyair.

Pada kenang yang dalam, selalu ada yang terpelihara dengan aman dan terawat di dalam ingatan-ingatan manusia. Ada pencapaian yang dibayang-bayangi hutang dan beban-beban. Tapi bukankah manusia lebih agung dari dunianya sendiri? Tanya seseorang entah siapa. Ia tak dapat melepaskan kepalanya yang tak berhenti berpikir. Atau mencopot dadanya yang tak pernah selesai merasakan pilu dan lagu-lagu.

Di situ, masih saja ramai dan yang tergesa-gesa menjalani nasibnya yang fana. Orang-orang melihat bangunan megah, dan melihat yang terkapar di tepi sungai kotor perkotaan. Berjubel ingin dilindungi. Berebut ingin mendapatkan bagian yang sama, atau berdesakan tak ingin ditinggalkan. Jalan-jalan tua yang telah terbenam, tetap tergeletak di sana. Jembatan kecil yang melewati sehelai sungai, pohon bambu, dan rumah kecil di pedalaman rindu. Halaman yang setiap hari kau sapu, membawa bayangan pintu yang selalu berdebu. Ada orang meratapi nasib pikiran yang tak sejenak pun berhenti dari pekerjaannya. Memasukkan segala peristiwa ke dalam dadanya.

Betapa jenak aroma, tapi alangkah panjang ingatan, alangkah jauh penderitaan. Saya teringat sebuah film Jerman “Perfume : The Story of A Murderer” (2006). Film garapan Tom Tykwer, kisahnya diangkat dari novel “The Perfume” (1985) karya Patrick Süskind. Ia bagai hendak menegaskan: aroma adalah baka. Kekal selamanya. Sejauh ingatan. Meski si pembawa ingatan itu tiada lagi. Sekuntum mawar---bagi seorang penyair berbahasa Arab, Ahmad Safi al-Najafi (1897-1977), niscaya akan rusak, mati, lalu sirna. Warna dan pesona sekuntum mawar memang telah tiada ditelan fana. Namun wangi aromanya, kekal sepanjang masa. Dibawa angin yang kembara, wangi mawar yang tak tergantikan itu, senantiasa tiba. Mustahil sirna ditelan zaman. Sementara tubuh, jenak dan tergesa-gesa. Namun kenapa aroma harus sirna bersama tubuh entah ke mana? Sedangkan ingatan perihal wanginya---sesuatu yang gaib dan spiritual, kekal di dalam kenangan semesta keabadian. Dalam film “Perfume” itu, Jean-Baptiste Grenouille (Ben Whishaw) mengenang wangi menakjubkan dari tubuh seorang perempuan. Segala aroma telah ia hirup dan ia buru. Pengalaman penciumannya tak lagi tersamai, peka dan jenius. Hingga tibalah pada suatu malam, Grenouille menemukan aroma wangi dari tubuh seorang perawan pembawa buah. Aroma tubuh yang tak lazim, tapi yang begitu lezat tak terjelaskan dari tubuh perempuan itu, membuat Grenouille jatuh cinta. Ia menciumi tangan sang perawan, mendengus dengan amat rakus. Gadis itu ketakutan, ia lari menjauh. Grenouille memburunya. Ia ingin mencintainya, ingin memiliki aroma tubuh itu. Grenouille tak kesulitan menemukan rumah gadis tersebut, penciumannya sanggup melacak ke mana aroma wangi dari tubuh itu pergi. Aroma---yang metafisik---dari gadis suci tersebut telah berkuasa atas perasaannya. Ia mendengus aroma tubuh ranum sang gadis. Sang gadis berontak. Orang lewat. Grenouille mendekap mulut sang gadis supaya tak berteriak, dan secara tak sengaja telah menghabisi nyawanya. Seketika aroma wangi menakjubkan dari tubuh sang perawan yang telah tewas itu sirna entah ke mana. Lenyap. Tak ada apa-apa. Hanya tubuh yang terbujur lemas tak bernyawa. Sebentar lagi tubuh itu akan kaku.

Apakah tubuh menjadi ada tanpa ruh atau tanpa nilai hidup? Grenouille bersedih dengan pertanyaan sendiri, pertanyaan yang tak terjawabkan; ke mana wangi dari tubuh itu menghilang? Hanya kebisuan. Kenapa kematian membawa pergi wangi dari tubuh? Ia muram. Dan ia bertualang, memburu wangi yang ia kenangkan dari tubuh sang gadis ketika masih hidup dulu dalam ingatannya. Tak ada. Namun kemudian ia menjadi seorang peramu dan pencipta parfum yang termashur. Banyak perempuan yang ia bunuh hanya untuk mengambil wangi dari tubuhnya, yakni wangi yang sama dengan wangi seorang perempuan penjual buah yang pertama kali ia temui dan yang telah tewas di tangannya. Aneka aroma dari banyak tubuh perempuan yang ia bunuh, ia campur, ia komposisikan. Hingga ia mencapai sebuah komposisi wangi, yang komposisi wangi tersebut sama persis dengan wangi tubuh seorang perempuan penjual buah yang telah tewas. Tapi untuk mencapai komposisi sempurna sebagaimana yang ia harapkan, ia memerlukan banyak sekali tubuh perempuan yang harus ia bunuh untuk diekstrak aroma tubuhnya, lalu dicampurkan. Hingga campuran aneka macam aroma dari tubuh perempuan tersebut sesuai dengan komposisi aroma wangi yang berada di dalam ingatannya. Di dalam mengomposisi aneka aroma dari tubuh-tubuh perempuan itu, ia mengikuti petunjuk dari kenangannya pada wewangian dari tubuh seorang perempuan yang telah lama mati.

Ia berhasil! Tapi ia menderita. Lantaran tubuh seorang perempuan yang menyimpan wangi menakjubkan dalam ingatannya itu tak dapat dihidupkan lagi dari kematian. Grenouille lupa, tubuh niscaya sirna. Tapi wangi dari tubuh yang sirna itu kekal di dalam ingatannya. Ingatan yang tak mudah ditubuhkan dengan tubuh yang lain. Bahwa aroma wangi dari tubuh seorang perempuan suci yang telah lama mati itu---yang menghuni ingatannya, selamanya tak tergantikan. Ia lupa, aroma wangi itu sejatinya kekal di dalam dirinya sendiri.

Lalu di mana letak penderitaan? Dan bagaimana gerangan menemukan kebahagiaan? Atas dua pertanyaan itu, Abu Nawas punya jawabannya yang manjur. 

Sahdan suatu pagi, Abu Nawas tertawa-tawa geli. Lantaran ia menggelitik sendirinya sendiri. Orang pun tergelitik bertanya.

“Wahai Abu Nawas, kenapa kamu menggelitik dirimu sendiri sampai tertawa geli sendiri?” tanya orang lain.

Sambil tertawa geli karena telah menggelitik dirinya sendiri dengan jari-jarinya, Abu Nawas menjawab.

“Aku sedang sedih, susah, dan menderita. Maka aku gelitik diriku sendiri, agar aku tertawa bahagia.”

Jember, 2024

Lebih baru Lebih lama