Cerita Lelaki Tua dan Cucunya

Oleh Mahwi Air Tawar

Bruddin, Rasol, dan beberapa orang lainnya berjalan sambil bersiul, memanggul cangkul, melewati jalan setapak yang tandus. Langit terik, tanah retak merah, debu berterbangan mengotori udara. Dinding rumah-rumah di Kampung Meji mulai mengelupas, ranting-ranting pohon kering, dan akar-akar pohon mencuat seolah tercerabut oleh badai.

Tak jauh dari sana, di sebuah tegalan penuh makam tak terurus, tumbuh rumput liar. Beberapa makam tampak terawat dengan kijingan marmer, dikelilingi pagar batu kapur. Di sebelah barat laut kuburan itu, ada bangunan kecil penyimpanan keranda dan di sampingnya berdiri sebuah langgar yang terbuat dari anyaman bambu. Di langgar itulah seorang kakek dan cucunya duduk, memperhatikan Bruddin, Rasol, dan orang-orang yang memanggul cangkul.

"Ini cerita," bisik sang kakek pada cucunya.

"Ah, bosan, Kek!" balas si cucu dengan enggan.

"Eh! Nanti kau akan tahu. Mereka tergila-gila dengan hewan."

Bruddin dan Rasol terus berjalan, tidak menuju rumah masing-masing, tapi ke kandang sapi dan kambing. Pagi hingga siang di rumah adalah hal tabu bagi mereka. Tak ada keluhan, tak ada menyerah.

"Nah, cucu harus tahu," kakek itu melanjutkan ceritanya.

Suatu hari, setelah mencangkul, Bruddin dan Rasol dalam perjalanan ke kandang tiba-tiba diserang oleh sepasang sapi betina yang melarikan diri. Sapi itu menubruk Bruddin hingga jatuh. Meski marah, Bruddin tersenyum memandang sapi-sapi yang berlarian di antara tanaman tembakau, seolah-olah ada pertanda baik dari peristiwa itu. Mereka berdua saling tatap, tersenyum, seperti menangkap pesan keberuntungan dari retakan tanah merah itu.

"Taruhan?" tanya Rasol.

"Satu kambing?"

"Lima karung jagung."

Mereka sepakat berjabat tangan. Meski hidup penuh kesulitan, mereka pantang menyerah. Sepasang sapi yang baru saja menabrak Bruddin itu dianggap sebagai pertanda kemenangan dalam kontes sapi sono’ yang akan diadakan minggu depan.

"Bertaruh dalam kerapan sudah menjadi kebiasaan. Seolah wajib. Tapi lihatlah, cucu, betapa sengsaranya mereka," bisik kakek itu sambil melihat cucunya mengangguk.

Bruddin, meski jatuh ditabrak sapi, tak menyerah. Dia terus berlatih menunggangi sapi milik Haji Sukira. Rasol, di sisi lain, membayangkan kemenangan dalam taruhan dan mengincar lima karung jagung milik Bruddin.

Namun di tengah kegembiraan mereka, suara bedug dari langgar memecah suasana, menandakan waktu salat. Suara itu terdengar aneh di telinga Bruddin, seperti keluhan. Raut wajahnya tiba-tiba pias, bayangan masa lalu mengusiknya. Sebuah suara tangisan dari kuburan terdengar hanya di telinganya. Bruddin terguncang, ingatan kelam muncul, mengingatkannya pada kematian istrinya setelah perlombaan sapi sono’ beberapa tahun silam.

"Bagaimana bisa mati, Kek?" tanya cucunya tiba-tiba.

Kakek itu terdiam sejenak, peluh mengalir di wajahnya. Matanya memerah, tak menjawab pertanyaan cucunya. Sang cucu bingung melihat kakeknya yang tiba-tiba tampak menyesal.

"Kakek menyesal," ujar kakek itu lirih.

Bruddin, yang masih terkapar, bangkit perlahan. Orang-orang di sekitarnya hanya menatapnya dengan bingung. Ia berjalan menuju kuburan yang tak terurus, kemudian jatuh tersungkur, mengerang keras hingga orang-orang kaget. Namun mereka tak berani mendekat.

"Orang-orang hanya diam, Kek?" tanya cucu itu heran.

"Mereka takut Bruddin ngamuk," jawab sang kakek.

Senja mulai turun, orang-orang bersiap pulang setelah merumput. Lenguhan sapi dan lengkingan saronen terdengar dari kejauhan, bersahut-sahutan seirama. Di tengah kegelisahan, Rasol mendekati Bruddin dan mengingatkan taruhan mereka.

"Satu ekor kambing, Din," ujar Rasol.

Bruddin hanya cemberut, namun bayangan masa lalu terus mengusiknya. Rasol, yang mengetahui kegelisahan Bruddin, terus memburunya dengan pertanyaan, menambah kebimbangan Bruddin.

Esok harinya, persiapan kontes sapi sono’ dimulai. Berpasang-pasang sapi betina dihias dengan parhiasan gelang, kalung, dan ornamen lainnya. Suara saronen yang mengiringi tarian menggoda para lelaki. Di tengah kerumunan, Rasol mendekati Maryanti, istri Bruddin, dengan senyum menggoda. Bruddin yang melihatnya, marah.

"Satu kambing?" tanya Rasol lagi.

"Nyawa," jawab Bruddin dengan sinis.

Cerita itu berakhir saat sang kakek menyadari bahwa cucunya sudah tertidur pulas. Segaris cahaya senja menerpa wajah keriputnya yang tersenyum tipis.


Lebih baru Lebih lama