Sajak-Sajak Ahmad Rizki

Oleh Ahmad Rizki

 JALAN MARUGA
*
kebahagiaan tertutup oleh gedung
wali kota,
dan tak berdaya orang-orang di jalan
menahan matahari dari birahi raja-raja.

bunga anggrek dan baju dinas
terwarnai rencana buas
dari perbincangan bersama swasta
untuk suatu pemetaan wilayah
serta pertemuan rahasia bersama pers
menjelma suara-suara kendaraan
yang meraung-raung dengan makian:
bahwa demi kepentingan
segala hal harus dihalalkan!

kesedihan yang menjelma panas
itu menjadi runcing di hati yang waswas:
—Ini standar hukum
untuk kaum, untuk kaum.

wajah media terjerat pancaroba
tak sempat memasang iklan
untuk dimuat kabar harian.

para orang miskin membisu
lupa semua doa yang hendak
di-mikraj-kan

lalu debu terbang bebas
dan tertutuplah permukaan surga.

Ada seorang sosialis 
menggiring kata-kata:
kita semua bersaudara
tapi, uang lain cerita.
suaranya seperti barang rongsok,
membusuk dengan waktu, 
di trotoar, di selasela penjara harapan.

o, di jalan MARUGA
di warung kopi murahan
jejak Betawi berserakan dalam sajak
tertimpa rencana pembangunan
di sekolah, di gedung penguasa,
di seragam kerja honorer,
dan di toko tembakau yang klise.

seorang penjaga kantor berkata:
adakah berita?
dalam kaca ponsel yang takabur
kitab digital tertampar sosial media
motor-mobil berkeliaran
menyeberangi kenyataan
aura ketakutan mengelak 
dari kematian, yang diwacanakan koran.

barangkali yang terakhir dan satu-satunya
yang berkaitan, telah lama
ditinggalkan manusia pada rumahnya.

—ada berapa nyali di hidupMu?
kata tukang parkir sore itu.

tukang parkir itu menanyakan rumahKu
dan berapa hari sekali mengunyah nasi?
di hatimu, apakah ada Tuhan?
siapa yang pantas anda percaya
setelah penghianat memasuki rumahMu?"

.... Aku diam tak menggubris.
lalu matahari mati dengan
bayangan upacara kebangkitan 
dengan kebahagiaan yang terluka.

**
kebahagiaan tertutup oleh gedung
wali kota
harum anggrek semerbak bahaya
kata-kata mesti dipisahkan dari wawancara
dan makna kebahagiaan yang tertampung
di kertas-kertas pidato.

sebuah puisi subversif kering kerontang
melekat di udara yang amat busuk
di genangan air ketika hujan datang
yang berkeliaran di bundaran Ciater
yang macet, yang keder.

o, para pengendara matanya tajam
hatinya berdarah, wajahnya muram.

—Tangsel akan tumbuh oleh
takut dan kesepian... tapi ia sendiri
berjaya sendiri, menangis sendiri
dilupakan dirinya sendiri.
dan orang-orang saling menyapa
tapi tawar-percuma
dan rasanya selebihnya swasta,
kata pengendara mobil yang lelah.

konser-konser, keramaian yang hampa
rencana-rencana, kebisuan yang berdarah
atau harapan yang sekadar igauan sementara.

—Tangsel ini tak mengerti apa 
yang dia jalani itu.
ah—aku tak tahu kenapa harus ada di sini
dan berbicara itu, berbicara ini.

***
kebahagiaan tertutup oleh gedung
wali kota
di jalanan dengan wajah yang ramai
dengan sisa baliho partai
dan suara ayat-ayat Tuhan berguguran
semacam hikayat, membawa ketetapan
mengunjungi semua kemungkinan.

sekarang aku tiba-tiba berada di mana saja
seperti udara...
nempel di gantungan jemuran
dan bahan-bahan makanan
pada lembar uang kertas
di kehidupan yang lepas
di sela-sela wajah Serpong dan Ciputat
setelah keterampilan hidup yang sesat.

seorang Mahasiswa sastra
membaca puisi Rendra:
Apakah artinya berpikir, 
bila terpisah dari masalah kehidupan. Kepadamu, aku bertanya!

lalu penyair kampung matanya merah
sambil mengeluhkan keadaannya:
aku lapar dan kalah.

kemurnian yang bertengger di mulut bayi
berselancar di payudara ibu-ibu
kebaikan yang mati kerna waktu
meracau ke sendok dan garpu
dan truk sampah milik penguasa
berdampingan mesra
dengan kendaraan roda tiga
dengan knalpot yang jelek suaranya.

—Kita pasti mati,
tapi kebodohan telah menjadi kehidupan,
kepasrahan jadi rambu-rambu yang abadi,
kata pedagang bakso pinggir jalan.

****
kebahagiaan tertutup oleh gedung
wali kota
dan kesenian
serta kebudayaan
hanya pameran yang maklum.
dan puisi yang bingung, 
taman kota yang dekoratif 
dan beberapa kursi
legislatif yang dijualbelikan
menganyam dinding-dinding perkantoran.

—28 Oktober 2008
atas ijtihad, dan sebuah kenyataan
menjelma tujuh kecamatan
dan sekarang bergerak sembarangan,
kata Buruh angkut sampah penguasa.

—Jangan membicarakan hal yang percuma
itu memang ada, tapi percuma
dan hiduplah hidupmu, wahai anak muda,
kata perempuan tua.

*****
kebahagiaan tertutup oleh gedung
wali kota
di jalan MARUGA
di dinding kantor yang tergantung burung Garuda
mengapa kita mudah percaya
lepas itu jadi curiga?
mengapa ada rencana
yang bisa celaka, dan bisa bahagia?

oh... mungkin karena sebagai manusia
kita punya cinta
yang dititipkan Tuhan
kepada hati, kepada jiwa kita
untuk menutupi hidup yang percuma
hidup yang neraka
hidup yang sekadar menunda hari senja
hari yang melulu kalah!
(2024)



BUNGA ANGGREK
*
di pot hitam, di halaman
gedung penguasa
dan ruang orang kaya
anggrek mekar seperti kotoran
menyala percuma
dikelola mimpi yang jahat
iblis menjelma kuning pekat.

sepuluh tahunan anggrek dirawat
pupuk-pupuk kemasan, asumsi sesat
seribu tangan kehilangan rahmat
berteriak gelombang suara yang padat.
para media memotretnya, menyebarkan
kuning menyala
dalam buaian keindahan fana
suara nurani tercecer di langkah keraguan.

orang-orang yang semrawut mendesah
di sekitarnya,
dan di pancaran warna-warni lainnya
kadang semua hal gampang berubah
ada suara lainnya yang menangis
ada keindahan lainnya meringis
sebuah kenyataan misterius
dari polusi yang menempel pada emas.

**
wahai, anggrek mekar di kantor penguasa
kau nyala di cermin yang menggoda
oksigen dari tujuh wilayah
menampakkan peringatan perih dan luka
mencari-cari dinding-dinding kebebasan.
Sebab suara-suara di hati makin asing
pada jiwa yang bingung
menyelinap ke rambut para penguasa
mekarMu terasa buru-buru
dalam kelaparan dan keadilan yang mendesah
malam pada tidur yang menakutkan.
sebab mekarMu menambah angin ribut
menghancurkan dadaMu yang kusut
amatlah harum kebenaran, amat jelas hati yang lembut
dan pada bulan-bulan pergantian
sejumlah kesatria antre makanan
sambil memandang mekarMu
dan seseorang lainnya memaki lapar.

keluarga! kebusukan! Jual beli! Cinta
o, mimpi mekar abadi yang sembrono
kau layu sebentar lagi
api dari arah tak terduga bukan ilusi
rahasia keindahan makna membunuh kata-kata
kebenaran yang maha ajaib 
menerawang dari suara-suara gaib.

***
Lihat! seorang penyair mendatangiMu
memandangi kuning mekarMu
dalam cahaya kebisuan, mencari
kegelapan yang tersusun rapih, hati-hati
dan di sekitar pot-pot hitam
kucing kampung matanya tajam
ia melihat bunga anggrek seperti kejam
yang menodongkan ancaman!
(2024)


BERISIK

di sore yang sesak 
beberapa tetangga
sedang asyik
membicarakan analisa politiknya:

Karena cemburukah keadaan berubah
atau memang semua itu sengaja
agar keadaan seolah-olah nyata.
kenyataan yang sibuk dipaparkan
di baliho, kanal berita, mulut para pendukung
ataukah memang itu yang kita mau
telah masuk menjadi rutinitas musiman
saling tabrakan, senggolan, semrawutan
menggemukkan ejekan, propaganda kebijakan
tangkis serangan, sikut-sikutan
dan nyatanya segalanya tak terhindarkan.

Suaranya tak berhenti di sana
tapi aku hanya diam menyaksikan
dan orang-orang itu melanjutkan perbincangan:

suara bawah tanah itu bahaya
tapi sayap lainnya sama bahayanya
lalu apa benar sudah saatnya?

aku diam, dan tak ada tanggapan
semua tak berkesan
atau memang mereka itu kurang kerjaan.
karena itu adalah uap
semua ungkapan gampang menguap
semua orang di sini sadar itu
yang sebentar terbit, setelah tenggelam
lalu rutinitas kehidupan kembali mencekam.

seluruh pernyataan adalah mainan
karena dari mulut-mulut yang paling berkesan
—di kenyataan hari ini—
beberapa kelompok yang fanatik
dikotak-kotakkan dengan intrik.
seperti cerita-cerita wayang yang purba 
tapi siapa yang mengenal Pandawa
atau mengatakan bahwa "aku Kurawa".
Lalu kita mengutuk Sengkuni
tanpa pernah tahu yang sebenarnya terjadi.

"Siapa jagoanmu?
jangan kaku dan membisu
sekiranya unsur yang harus itu:
atas nama bangsa
atas nama negara
nama rakyat dan keadilan,”
kata tetangga.

namun
alangkah brutal mendengarkan
kasak-kusuk tawaran
dari hal-hal yang menyebalkan
membuat keadaan seolah kenyataan.
namun betapa pernyataan satu
yang beradu dengan lainnya itu
makin ke sini terdengar seperti kabar duka
atau penghormatan 
yang sebenarnya tak kita mengerti jenisnya,
tak mengerti bentuknya,
tak kita sadari omongan itu hanyalah pura-pura.

keberadaan omongan itu
seperti transaksi malu-malu
yang ujung-ujungnya mencari
kemenangan, kepentingan sendiri-sendiri.
dan jika kukumpulkan semuanya
akan menyala di angkasa:
          kesia-siaan
          ketakutan
         kesoktahuan
dan dalam berisik omong-
omong itu, nyanyian Sumbang
milik Iwan Fals terdengar lebih nyata:

Setan-setan politik yang datang mencekik
Walau di masa paceklik tetap mencekik
Apakah selamanya politik itu kejam?
Apakah selamanya dia datang 'tuk menghantam?
Ataukah memang itu yang sudah digariskan?
Menjilat, menghasut, menindas
Memperkosa hak-hak sewajarnya
(2024)


MELAMUN

Aku ingin menulis puisi rumah
--aku ingin puisi menjadi
rumah itu sendiri.
Namun aku hanya kerikil di halaman Swasta
dan negara lupa.
penjajah meruntuhkan rumahKu
dan mendirikan rumah baru.
Baiklah! aku tetap menuliskannya,
aku tetap ingin puisi
menjadi rumah itu sendiri.

kata-kata ada di hati
dan jika perih, semua hal mungkin terjadi.
(2024)




Ahmad Rizki, menetap di Tangsel. Sekarang menjadi buruh harian lepas buat menutupi hidup sehari-hari, dan sesekali belajar sastra, seni dan disiplin sejenisnya. Korespondensi: ahrizki048@gmail.com
Lebih baru Lebih lama