Menghijrahkan Khalwat

Oleh Matroni Muserang

Khalwat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengasingan diri untuk menenangkan pikiran, batin. Dalam diskursus tasawuf memiliki dua makna, ada negatif dan positif. Pengertian negatif adalah berduaan dengan orang lain yang bukan muhrim, sementara pengertian positif adalah menyepi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Khalwat antologi puisi Sofyan RH. Zaid yang diterbitkan Taresia Februari 2024 berada di antara positif dan negatif, tapi dalam bingkai puisi, bukan fisik. Sebab antologi puisi ini berbeda puisi sebelumnya “Pagar Kenabian”. Dalam puisi ini ada tiga khalwat. Saya akan mencoba masuk lebih dalam bagaimana sebenarnya khalwat dalam antologi puisi ini dan mencoba memberikan garis pembacaan sederhana. 

Tiga khalwat itu sebenarnya perjalanan puisi ini menuju puncuk, kalau dikatakan puisi sebenarnya proses kreatif dari kreatornya, sehingga saya mencoba menerawang perjalan creator itu dalam khalwat ini, pertama khalwat ketuhanan, kedua khalwat spiritual dan ketiga khalwat sosial. 


Khalwat Pertama

Khalwat pertama adalah khalwat ketuhanan. Mengapa saya menamai khalwat ketuhanan karena jelas diksi yang pakai merupakan diksi yang menyiratkan tuhan, seperti aku bertolak tanpa apa/selalin cahaya. Bait ini sebenarnya diperjelas oleh bait berikutnya milikmu alir, di sungaimu aku air. Puisi ini sudah jelas bahwa ketakberdayaan hamba ketika ia berhadapa dengan cahaya. 

Maka, ketika sudah berdentang cahaya itu, maka hijab pun terbuka-dibuka dari sanalah perjalanan dimulai, menuju selat tirakat, karena di selat itulah harapan selalu muncul dan meng-ada. Untuk saat itulah butalah aku/ketika melirik pada selainmu. Sebab sebagai mahahamba manusia menyadari bahwa dunia ini hanya pacar bersama yang eksistensinya dusta. Sebagai hamba yang memiliki kesadaran eksistensial, ia akan mengetahui secara kritis darah, dada, gelap cahaya yang akan mengantarkan manusia pada neraka atau surga.

Ketika manusia memiliki kesadaran eksistensial, akan terus ditemani rindu, ia akan “sakit” rindu, di buai rindu, mengapa? Karena setiap cintamu/ untukku. Semakin jelas bahwa cinta yang sesungguhnya bukanlah milik manusia atau malaikat, akan tetapi milikku. Manusia memang tidak punya hak untuk cinta dan rindu, ia sebagai makhluk yang siapkan bagi manusia sebagai tempat berteduh dan bersemai.

Sebab dengan cinta dan rindu seseorang rela lapar dan mata basah ia tidak akan mampu memakan hidangan di meja, karena ia sadar bahwa ada yang lebih lapar dan lebih sedih dari pada dirinya yaitu cinta dan rindu itu sendiri. Jadi wajar jika hingga hidupku/kenyang oleh lapar. Khalwat pertama menjadi pintu masuk ke perkampungan tuhan, yang di kampung itu hamba tidak memiliki daya dan upaya untuk mengatur cinta dan rindu yang selama ini bermain di dada, akhirnya hamba akan berlinang airmata rindu dan cinta, oleh karenanya ia akan berkata Tuhan, tahan! Sebab dadaku tak mampu menampung cinta dan rindu yang bergumul bersama waktu.


Khalwat Kedua

Khalawat kedua adalah khalwat spiritual. Dikarenakan puisinya menyiratkan ke arah spiritual, karena spiritual bagi puisi ini menjadi tempat memulangkan kegelisahan yang lahir di kota, dimana seseorang mengalami alienasi di kota, sehingga tanah kelahiran menjadi pengisi dada. Bukankah dada akan selalu resah dan renyuh jika bergelut dengan kota yang selama ini di diami oleh kata-kata. Tampak dari luar kota menjadi megah gagah, tapi rapuh jika mengawini kota.

Mari kita cek kerapuhan itu dalam puisi ini, di sana ada judul penyair gawai, matahari matahati, simulacrum, garis ajal, aku kini mengerti berisi tentang egoisme material, sehingga orang merasa menjadi penyair padahal sebatas imaji dan kenyataan. Padahal untuk menjadi penyair, ia harus melewati kenyataan, imaji dan puisi, sehingga kata-kata yang lahir bukan sekadar ajal di waktu pagi. 

Jika seseorang sudah lama mendiami kota, dan kita pura-pura abai/ pada lagu riang yang dinyanyikan kesedihan,/lalu kita terisak diam-diam/seraya menyembunyikan airmata,…/airmata orang-orang terluka/yang darahnya dipaksa jadi permata/dan rintihnya seolah/tak pernah didengar surga, saran puisi ini yaitu dengan menunduk ke bumi/mendongak ke langit agar seseorang menemukan pejalan panjang sebab bintang itu/rute perjananan yang panjang dan jauh. Artinya ruang spiritual merupakan perjalan yang akan terus dijalani seseorang jika dalam keadaan gelisah. Wajar jika Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah berkata sekali-kali lihatlah ke langit jika engkau ingin tenang. 

Akan tetapi jika engkau belum mampu mengembara sendiri dalam spiritual, maka bunda doa menjadi penolong bagi kita, sebab doa ibu diam-diam senantiasa mendoakan. Itulah nama lain dari rindu yaitu spiritualitas. Dimana kita mengalami kegersangan dan kekeringan, seolah-seolah spiritualitas jalan utama, padahal itu baru tangga utama untuk sampai ke kampung ketuhanan. 

Solusi puisi di khalwat kedua yaitu dengan mengenal spiritualitas yang bukan sebatas batas, akan tetapi terus jalan masuk pada tangga demi tangga sehingga engkau layak di sebut penyair dengan bahasa lain, biar tidak dikatakan sebatas penyair sufi, tapi sufi penyair. 


Khalwat Ketiga

Khalwat ketiga adalah khalwat sosial. Khalwat sosial ini merekam jejak realitas, misalnya dimana-mana punting/ dan orang rokok berserak/kopi dalam gelas kemanusiaan tinggal ampas/ bumilah perokok berat. Warung kopi menjadi manifestasi dari realitas kamanusiaan, kalau kita jalan-jalan ke kota warung kopi menjadi tempat paling nyaman bagi perokok. Di sana sedikan beragam kopi dan rokok bahkan camelan ringan, kadang obrolannya yang berat. Tentang bangsa, ekonomi, politik, filsafat, agama dan seks. 

Sisi sosial memang menjadi ruang bebas, seseorang bisa berdiskusi tentang marx dengan das capitalnya, sidarta, afrizal malna,./ tentang lirik rumi, alfarabi, Beethoven, semua bebas diwacanakan dan diamalkan walau yang menemani perjalan sosial kita adalah mimpi retak/ kenyataan patah. Meskipun puncak dari realitas sosial itu adalah khalwat ketuhanan yang diantarkan oleh sayap kita terbang/dengan tenang.

Realitas yang lain tentang seks, ada yang berkata musim kawin merupakan jalan menambah keturunan, ada yang berkata kawin membuat kita lemah dan menjadi manusia kelas dua. Tapi pembaca realitas yang baik dalam ia akan menjalani dengan pembacaan juga, misalnya bagaimana alismu alif/matamu mim/ hidungmu nun/ bibirmu lam. Pembacaan seperti ini tidak segampang membeli rujak Batang-Batang tempat lahirnya Sofyan, tapi membutuhkan proses getar ketabahan.

Proses itu bernama arloji, yang jarumnya akan selalu/menunjuk padamu. Realitas itu sebenarnya kan arloji yang menunjukkan waktu yang berdetak atau waktu realitas, bukan waktu eksistensial, itulah mengapa realitas bukan sebatas batas napas, tapi melampaui arloji. 

Arloji yang menunjukkan itu di dalamnya mengandung pasir bintaro yang ada di desa Longos. Pembaca realitas selalu menemukan inovasi dan realitas baru, sehingga iqra’ tidak mati di tangan pembaca atau di tangan penyair, oleh karena itu apa yang tidak mungkin bagi pembaca itu mungkin, misalnya bagaimana puisi menemukan ka’bah di matamu/ tapi bagi kebanyakan orang tidak mungkin hal itu terjadi.

Ini menandakan bahwa realitas selalu berubah, diubah oleh pembaca. Misalnya dari tradisi di Sumenep kalau ada orang meninggal ada 3 hari, 7 hari sampai seribu hari. Eksistensi tradisi ada lantaran adanya pembaca. Dengan demikian, sebelum tidur jalanilah ibadah baca, sebab tidur tak menjamin kita bangun/dan bertemu lagi. Semoga kita semua bisa berkhalwat sebelum semuanya ditidurkan oleh tidur yang sesungguhnya. Inilah epistemologi khalwat dalam puisi Sofyan RH Zaid, akan tetapi masih di buka terbuka untuk siapa saja untuk berkhalwat sebab ulasan ini masih sebatas menghijrahkan khalwat pada proses kreatif. 



*Dosen Filsafat STKIP PGRI Sumenep

Lebih baru Lebih lama