Dari Penjara Menuju Surga



Oleh M. Yus Yunus

Hidup bebas di alam terbuka adalah harapan seluruh mahluk. Beraktivitas seperti biasa layaknya orang-orang normal yang berjuang membela hak-haknya dianggap sebagai jalan terang. Namun dikehidupan yang fana dan penuh dengan teka-teki ini hampir semua manusia lupa bahwa masa depan meraka adalah kematian. 

Kematian menjadi mesteri bagi setiap orang meskipun takdir itu nyata dan pasti. Kebutuhan duniwai membuat kita lupa dengan mati. Kita kerap menganggap hidup normal seperti yang saat ini kita jalanin adalah hal yang sangat menguntingkan ketimbang seorang narapidana yang akan ditembak mati. Padahal mungkin saja kita tidak jauh lebih beruntung dari mereka. 

Kita subuk mencari nafkah, jodoh, melihat anak-anak tumbuh dewasa, menyiapkan sederet proyek penting yang menghasilkan dan menguntungkan bagi orang banyak. Tapi kita lupa bahwa setiap langkah khilaf dan kesalahan yang kita lakukan berpotensi untuk menjadi dosa. 

Kita mungkin hidup di alam bebas yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan. Tapi mungkin saja sebenarnya kita hidup dibalik penjara. Penjara itu tidak nampak seperti penjara, namun kita dipenjarakan oleh harapan, ambisi, egoisme, keserakahan, dan sejuta kebutuhan eksistensial manusia lainnya yang secara tidak sadar telah memenjarakan ingatan kita tentang kematian. Hingga akhirnya kita lupa ketika hari kematian itu tiba tanpa sebuah persiapan.

Seorang gembong narkoba yang tertangkap beberapa tahun lalu menjadi sorot berbagai media. Kali ini Ia akan dieksekusi mati oleh petugas lapas Nusakambangan. Lapas yang dianggap paling hina, paling angker, dan paling buruk seburuk-buruknya lapas di negeri ini. Namun siapa sangka di lapas itu banyak narapidana yang beriman dan bertobat sebelum mati. Mereka orang-orang di dalam lapas ini mungkin dianggap buruk oleh manusia yang hidup bebas di alam terbuka seperti kita ini. Mereka dianghap sebagai manusia paling kotor dan hina karena pernah berbuat dosa. Tapi siapa sangka mungkin mereka juah lebih beruntung dari kita karena mati dalam keadaan suci.

Lapas Nusakambangan yang dianggap angker telah memberikan sisi sucinya kepada setiap narapidana. Di sana mereka mendapatkan bimbingan untuk memilih jalan setelah mati. Merenungi setiap kesalahan yang pernah mereka perbuat, bertobat kepada Tuhan, dan memilih kepecayaannya sendiri adalah sebuah hidayah yang tak tenilai harganya. Hidayah yang tidak kita dapatkan selama hidup di alam bebas dan terbuka seperti saat ini.

Kita mungkin saja tertutup mata hatinya, atau abai dengan pintu-pintu masjid, gereja, pura, dan tempat ibadah lainnya yang setiap waktu kita lewati. Sementara kita berkeliaran setiap hari dari rumah menuju kantor untuk mengais rezeki, dari kantor menuju lapangan untuk melakukan sidak ini dan itu, ke kantor lagi untuk absen, dan kembali pulang ke rumah saat sore untuk menemui anak dan istri. Tapi kita lupa bahwa kematian setiap waktu mengincar hidup kita, dan merenggut semua yang telah tercapai di dunia ini. Maka jangan biarkan diri kita dipenjarakan oleh kebutuhan duniawi. 

Penjara, seringkali dipandang sebagai tempat yang paling jauh dari harapan dan kebaikan. Namun, di balik tembok-tembok tinggi dan pintu besi yang kokoh, tersimpan begitu banyak kisah inspiratif tentang perubahan dan penemuan jati diri. Salah satunya adalah kisah tentang seorang individu yang berhasil melakukan transformasi luar biasa dalam hidupnya, tepatnya di dalam penjara. 

Jauh dari hiruk pikuk dunia luar, penjara memberikan ruang yang cukup bagi seseorang untuk merenung dan merefleksikan segala tindakannya. Dalam kesendirian dan keterbatasan, mereka dipaksa untuk berhadapan dengan diri sendiri, dengan segala kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan. Bagi individu yang kita bicarakan, penjara menjadi semacam titik balik, sebuah momen di mana ia memutuskan untuk mengubah hidupnya dan sekaligus mempersiapkan diri untuk menemui Tuhan.

Proses transformasi yang terjadi di dalam penjara bukanlah hal yang instan. Dibutuhkan waktu, kesabaran, dan usaha yang konsisten. Individu tersebut mungkin memulai dengan perasaan marah, kecewa, dan putus asa. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa tindakannya telah menyakiti orang lain dan dirinya sendiri. Rasa penyesalan yang mendalam mendorongnya untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Kuncinya hanyalah satu, apa yang perlu Ia lakukan sebelum menemui Tuhan.

Lingkungan penjara yang keras dan penuh tantangan justru dapat menjadi pemicu perubahan yang positif. Interaksi dengan sesama narapidana, program pembinaan, dan dukungan dari petugas penjara dapat memberikan inspirasi dan motivasi untuk berubah. Selain itu, kegiatan keagamaan atau spiritual juga dapat menjadi sarana bagi individu untuk menemukan kedamaian batin dan kekuatan untuk bangkit kembali. Meskipun narapidana yang dieksekusi mati sudah pasti tidak dapat mengembalikan seluruh kehidupannya dan memulai kembali harmonis keluarga dari nol. Namun mereka tahu jika mereka mati dalam keadaan bertaubat keluar yang ditinggalkan pasti tidak pernah akan kecawa kepadanya.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan setiap orang berpotensi untuk melakukan kesalahan. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita merespons kesalahan tersebut. Dengan sikap rendah hati, kemauan untuk berubah, dan dukungan dari lingkungan sekitar, kita dapat bangkit dari keterpurukan dan memulai hidup baru. Hidup baru yang dimaksud mungkin bukan di bumi, melainkan di surga sana nanti.

Jadi sekarang bagaimana dengan kita yang selama ini hidup bebas di alam terbuka, yang terus bekerja mencari rezeki di rimba raya ini? Sekali waktu kita ingat dengan kematian? Lalu kembali lupa saat deadline pekerjaan kembali datang? Ingatlah keberuntungan tidak pernah datang secara cuma-cuma kecuali kitalah yang mencarinya. Mencari banyak amal baik sebelum datangnya hari kamatian.



Lebih baru Lebih lama