Oleh Taufiq Wr. Hidayat
Penyair ini adalah dosen FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Setahu saya, jarang nulis puisi. Atau jarang saya menemukan puisinya. Tak produktif di situ. Atau barangkali puisi-puisinya masih disimpan dalam ruang rahasia, yang hanya Tuhanlah yang tahu. Tapi dia punya puisi perihal Gunung Ijen, Banyuwangi. Yang puisinya tersebut, menarik untuk saya bubuhkan catatan padanya. Namanya adalah Siswanto. Orang Madura yang tidak tinggal di Madura.
Puisi perihal Gunung Ijen yang “dipesan” sejumlah lembaga formal kepada para penyair lokal dan nasional, banyak tercipta. Siapa saja seolah paling tahu atau sudah meriset Gunung Ijen, lalu bikin puisi tentangnya. Tapi sudahlah. Di situ ada lokal, nasional, internasional, istilah-istilah kadaluwarsa dan gombal yang seharusnya tak perlu dipakai, hanya mengingatkan kita pada merek radio yang sudah lenyap. Jaman sudah android, nasional dan internasional masih saja dimunculkan dengan segala “kenorakannya”. Entah buat apa? Di dunia yang makin ramai ini, puisi masih saja ditulis dan diterbitkan, entah untuk apa dan buat siapa. Dan apa gunanya? Dan sekali lagi, sudahlah.
Di antara banyak puisi perihal Gunung Ijen itu, saya hanya tertarik dengan puisi Siswanto ini. Saya terusik dengan puisi itu. Ia tak bicara Ijen. Tapi ia melihat sebuah ekosistem yang tengah dikangkangi. Baiknya saya tulis utuh.
Siswanto
Ijen, Samar Wulu
Pada kabut wangi Kawah Bulan Tsabit, wewajah tengadah merupa lontar kehampaan, yang terbentang dari rahim luka hingga ke meja makan, tempat bertaruh dan menyeru leluhur yang tenggelam di Telaga Welirang, asapnya menyeruak di episode terakhir kidung tlatah Jawa.
Orang-orang Ijen memunguti reruntuhan sejarah, di rumah-rumah tak berjendela, sambil mengutuk masa lalu yang tak menemukan jalan pulang, tuk sekedar menyiramkan air daun pandan agar mekar kenangan, menggelinding dari lembah ke pusara, tempat mengeja Menak Jingga Damar Wulan hingga Sri Tanjung yang menstupa di kios-kios peradaban, salon-salon kebudayaan, gantungan kunci, dan segenap tafsir yang bergegas sebelum sunyi menyergap Ulu Pangpang.
Angin kesangsian berhembus dari bebukit Gunung Purnama, luka bertahta di dada gadis seblang yang sesak dihimpit masa lalu dan perumahan, “Apapun yang terbakar dari api sejarah akan pulang merupa bayang untuk menyulam ingatan”, suaranya bergetar dan gerimis rebah di punggung wajahnya, bebunga edelweis memuram ditimang tembang Layar Kumendung, di ujung senja Armaya kecil, Hasnan kecil, Hasan kecil tangannya tergores tali layangan yang tak menemukan sarang angin, di taman Blambangan putih melati mekar, semerbak anyir bergumul dalam deru hujan.
Judul puisi Siswanto ini sudah imajinatif: “Samar Wulu”. Itu kata dalam Bahasa Jawa yang berarti senja. Lebih tepatnya “senjakala”. Atau di saat cahaya jingga matahari senja nyaris lenyap. Di saat itu, biasanya terdengar dari kejauhan suara-suara Maghrib di surau-surau. Dan orang-orang di kampung, bergegas mendirikan sembahyang. Pada hari di ambang selesai.
“Orang-orang Ijen memunguti reruntuhan sejarah, di rumah-rumah tak berjendela,” katanya.
Kukira Siswanto hendak bicara perihal sejarah dan kebudayaan di situ. Di gunung itu. Gunung yang telah menciptakan sebuah ekosistem, keserasian manusia dan alamnya. Tapi sejarah itu, ialah yang berupa reruntuhan, kebudayaan yang berbentuk keterasingan dan kehilangan habitat, kebudayaan yang cuma menjadi basah di mulut para badut. Di gunung itu, sebuah wilayah. Tetapi wilayah yang harus mengalah pada kepentingan wisata dan bisnis. Diksi Siswanto ini membangun imajinasi puitis perihal bagaimana “orang-orang Ijen” atau penduduk setempat telah bersusah payah “memunguti reruntuhan sejarah”, sebentuk romantisme masa lalu perihal gunung yang membawa berkah dan renung. Dan orang-orang itu---sebagaimana dalam puisi “Samar Wulu”, punya rumah yang tak bernafas, tak memandang masa depan. Itulah tempat tinggal mereka, yakni “rumah-rumah tak berjendela”.
Ganjil memang!
Bagaimana mungkin orang yang dekat dengan gunung tak bisa merasakan “oksigen kesejahteraan” yang bersih dari gunung tersebut? Kalau dikembangkan, bagaimana bisa orang-orang yang hidupnya dekat dengan Ijen itu, tak dapat memungut berkah ketenteraman hidup dari gunungnya sendiri? Entah kebutuhan siapa, nasib mereka “dijual” pada mata orang asing, bahwa penderitaan harus tetap dijaga agar gunung tetap menyimpan narasi sedih yang menjadi bahan baku bicara kemanusiaan, puisi, musik, dan wisata. “Orang-orang kecil” di antara corocoran dan kebakaran hutan, di tengah irama Jazz yang mengalun dengan tiket yang cukup buat makan satu keluarga miskin dua atau tiga bulan. “Orang-orang besar” senang, kawan “orang-orang besar” pun senang. Bahagia dalam perkoncoan. Ada yang tertawa atas nama kemanusiaan, lalu melupakan ketimpangan sambil makan pisang.
Kegagahan masa lalu, atau mitos ketakjuban dari masa lalu itu, lumpuh menghadapi gempuran orang asing yang merasa iba pada nasib para penggali belerang di Gunung Ijen itu. Kegagahan dan kebanggaan masa lalu---dalam puisi Siswanto, di tangan kekuasaan politik dan modal, cuma “menstupa di kios-kios peradaban, salon-salon kebudayaan”. Dan sekadar “gantungan kunci”, cuma aksesoris sepele yang mati, menyedihkan, dan tak punya arti. Atau “salon-salon kebudayaan” itu kemudian melahirkan “seniman-seniman nasional atau internasional” yang bersyair dan bernyanyi di atas kepala gunung yang agung. Termasuk Siswanto sendiri, lantaran puisinya mungkin akan dibacakan oleh entah siapa di atas kepala gunung dengan bangga dan pongah.
Siswanto menyebut dua nama budayawan Banyuwangi, Armaya dan Hasnan. Dua orang yang selalu bicara perihal kesenian dan kebudayaan Banyuwangi. Buat apa? Barangkali memang begitulah “kios peradaban” itu. Memuja nama-nama para penganut dan penjaga budaya, tapi membunuh cita dan impian mereka menjadi “gantungan kunci”, sepele, menyedihkan, dan tak berarti. Ibarat seekor macan yang melompat ganas di atas panggung sirkus. Cuma tontonan dan penerima piagam penghargaan, dipuja-puja dengan tepuk tangan, kemudian dilupakan setelah makan malam.
Kebakaran hutan Ijen terjadi nyaris setiap musim kemarau panjang. Orang memuja keindahan gunung itu, dengan syair dan musik. Tapi lupa, bahwa itu kawasan konservasi. Para penambang tradisional belerang Ijen di situ, harus berjalan memikul beban di antara perayaan-perayaan, di antara corcoran dan bangunan megah. Dalam puisi Siswanto adalah “yang terbentang dari rahim luka hingga ke meja makan, tempat bertaruh dan menyeru leluhur yang tenggelam di Telaga Welirang”.
Dari ketinggian, “orang-orang Ijen” atau orang-orang yang sedang ada di situ, dapat melihat gunung Tumpangpitu yang mengandung emas. Ketakjuban mereka olah, jadi puisi. Lalu membacanya di hadapan sebuah cermin. Mereka memuja keagungan Tuhan, melihat gunung Ijen yang dipenuhi belerang. Sambil mengunyah kacang. Puisi-puisi perihal Ijen dan batu-batunya yang sekeras corcoran, ditulis. Nanti akan dibaca oleh entah siapa, yang tanah Ijen tak pernah mengotori kedua kakinya.
Narcissus jatuh cinta pada bayangan wajahnya sendiri. Ia memandangi wajahnya sendiri pada cermin. Itu adalah sungai. Sungai yang memantulkan bayangan wajahnya. Sungai kebudayan. Ia tak memerlukan bedak-gincu, sebab wajahnya begitu rupawan. Tapi dalam puisi Siswanto, itulah cermin yang terdapat dalam “salon kebudayaan”. Tetapi dunia tahu, ia bangga melihat wajahnya sendiri pada sungai kebudayaan. Wajah yang dikagumi banyak orang. Narcissus mati lantaran tak menghiraukan apa pun selain wajahnya sendiri pada sungai itu. Maka buat apa sungai kebudayaan, jika hanya untuk memantulkan wajah sendiri, sekadar popularitas gombal dan kepentingan kepuasan belaka? Bukankah berbudaya, mengaliri sungai kebudayaan, terlibat dalam alirannya yang terus menerus?
Di masa romantik, sosok Narcissus digandrungi sebagai subyek. Bagi Sigmund Freud, dalam psikoanalisanya yang mashur, nama Narcissus menjelma terminologi yang adalah "self-esteem" melampaui batas akibat ketidakmatangan emosi. Namun orang-orang salon bukanlah Narcissus dalam pengertian psikoanalisa. Mereka mungkin sudah punya kematangan emosional yang luar biasa, atau cara berpikir yang baik. Orang-orang salon itu tidak menegakkan sikap yang jelas terhadap ketimpangan yang dipijak oleh kedua kakinya dan dipandang tidak samar dengan kedua matanya? Pertanyaan ini tidak akan dijawab.
Barangkali iya, tiap orang punya pilihan. Tapi tak semua orang memilih. Pilihan selalu penting di tengah keharusan memilih. Persoalannya hanya terletak pada sikap memilih saat harus memilih, dan sebaliknya. Bukan para pemuja bulan yang mabuk kepayang sebagaimana pernah diteriakkan WS. Rendra puluhan tahun yang lampau, gemanya masih jelas terdengar kini. Barangkali bagi WS. Rendra, tanpa keterlibatan humanis, puisi hanya kebanggaan. Dan kebanggaan itu, ternyata gombal belaka. Dalam “Sajak Sebatang Lisong”, WS. Rendra berkata:
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
Tapi kenapa ada “orang-orang Ijen” dalam puisi senjakala “Samar Wulu” itu?
Gunung Ijen bagai mensahihkan dalil Heidegger yang rumit dan ganjil. “Dasein” sejatinya menidak pada pandangan, bahwa manusia adalah subyek yang lepas dari ruang-waktu sejarah. Baginya, manusia “ada di situ” senantiasa. Yakni dalam ruang dan saat yang tentu. Ia “ada-dalam-dunia” (in-der-welt-sein/being-in-the-world). Ia adalah kerangka aturan fundamental manusia. Ketakterkaitan spasial manusia (dasein) dan ruang (dunia) yang ditinggali, mengakibatkan segala ruang tidaklah kosong (netral). Dunia telah senantiasa dimengerti pada landasan struktur ontologis “dasein” yang meninggali. Di situ terdapat “dunia pejalan”, “dunia penyanyi”, dan lain-lain. Dan “dunia Gunung Ijen” yang dalam puisi di atas disebut “orang-orang Ijen”.
Itulah kiranya afirmasi Heidegger: manusia itu menyejarah. Ia mustahil melompat keluar dari titik pijak kesejarahannya, ia adalah “being-in-the-world”. Ia kepastian yang sangat faktual dan niscaya. Tetapi “ada di situ” berbeda telak dengan benda, atau selain manusia. Seumpama “ada” uang dalam dompet, dapat disebut keterkaitan pada kaitan spasial. Ada jarak, dan yang terpisah. Sedang manusia “ada” dalam suatu wilayah tinggal, mengandaikan relasi dia dengan tempat tersebut bukanlah keterkaitan spasial. Bukan yang tercerai, yang lain, atau yang dua hal. Ia “ada” dalam ruang tertentu, ia “meninggali” ruang tertentu itu. Ia “mengutuh” di situ.
Buat apa Ijen dibikinkan puisi? Tanya kawan saya. Saya menjawab pertanyaan itu dengan irama penutup puisi Siswanto, “kecil tangannya tergores tali layangan yang tak menemukan sarang angin, di taman Blambangan putih melati mekar, semerbak anyir bergumul dalam deru hujan”. Rupanya cita-cita kebudayaan hari ini, bagai layangan tak ada angin. Lagi bukan musim angin di suatu waktu yang seharusnya didatangi angin. Cita-cita kebudayaan perihal pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat. Perihal perhatian yang tak sekadar basa-basi sponsor. Di ujung senja, tak punya angin. Justru hujan. Layangan di tangan para empu, hancur berantakan dihantam hujan dan omong kosong para tukang.
Banyuwangi, 2024