Asrul Sani: Sang Pelopor

Oleh Angin Kamajaya

Disarikan dari berbagai sumber untuk semaan puisi episode 56, kamis, 28 November 2024 di Pendopo Doa.

Asrul Sani adalah seorang sastrawan, seniman, dan sutradara terkenal Indonesia. Ia lahir pada 10 Juni 1926, Rao, Pasaman, Hindia Belanda. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, adalah seorang kepala adat Minangkabau. Ibunya, Nuraini binti Itam Nasution, memiliki keturunan Mandailing.

Asrul Sani memulai pendidikan formalnya di Holland Inlandsche School Bukittinggi pada 1936. Ia kemudian melanjutkan sekolah menengah di Taman Siswa, Jakarta pada 1942. Setelah lulus, ia masuk ke Sekolah Kedokteran Hewan, Bogor. Namun, minatnya terhadap sastra membuatnya berpindah ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dengan beasiswa dari Lembaga Kebudayaan Indonesia-Belanda, ia mengikuti pertukaran pelajar ke Akademi Seni Drama, Amsterdam pada 1952. Akhirnya, ia kembali melanjutkan studi kedokteran hewan dan meraih gelar dokter hewan pada 1955.

Selama masa kuliah, Asrul Sani pernah mengikuti seminar kebudayaan di Harvard University. Setelah menyelesaikan pendidikan di bidang kedokteran hewan, ia kembali mengejar minatnya dalam seni sastra dengan melanjutkan studi dramaturgi dan sinematografi di South California University, Los Angeles, Amerika Serikat pada tahun 1956. Kemudian, ia turut membantu Sticusa di Amsterdam pada tahun 1957-1958. Menurut Ajip Rosidi, Asrul memiliki kemampuan berbahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman.

Minat Asrul Sani dalam dunia sastra tidak muncul secara tiba-tiba. Benih-benih kecintaannya terhadap sastra ditanamkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil. Bahkan sebelum ia bisa membaca, Asrul sudah mendengar cerita "Surat kepada Radja" karya Tagore yang terkenal dari ibunya. Ibunya selalu membacakan cerita-cerita untuknya ketika ia belum bisa membaca, sementara ayahnya sering memanggil "tukang kaba" (pendongeng yang berkeliling kampung) ke rumah mereka. Setiap kali tukang kaba datang, Asrul merasa sangat gembira dan mendengarkan cerita mereka dengan penuh rasa ingin tahu.

Ketertarikan Asrul Sani pada menulis mulai muncul ketika ia membaca puisi karya Sappho. Dalam puisinya, Sappho memuji seorang courtisan yang berjalan dengan sandal beludru. Sebagai pemula, Asrul belum sepenuhnya memahami makna puisi tersebut, tetapi kalimat "courtisan yang berjalan dengan sandal beludru" sangat melekat di pikirannya. Setelah membaca puisi itu, ia merasakan dorongan kuat untuk menulis. Puisi pertamanya, berjudul "Kekasih Pradjurit", dimuat di surat kabar Pemandangan pada tahun 1943 ketika Asrul masih duduk di kelas dua SMP Taman Siswa. Puisi ini, sesuai dengan zamannya, menggambarkan seorang prajurit pembela tanah air. Setelah itu, puisi dan cerpen karyanya mulai muncul di berbagai media massa seperti majalah Siasat, Kisah, Konfrontasi, Gema Suasana, serta surat kabar Mimbar Indonesia dan Indonesia Raja.

Chairil Anwar dan Asrul Sani memiliki hubungan persahabatan yang erat. Keakraban mereka menyebabkan saling pengaruh dalam karya-karya mereka. Hal ini terlihat dalam puisi "Cerita buat Dien Tamaela" karya Chairil Anwar dan "Mantera" karya Asrul Sani. Kedua puisi ini terinspirasi oleh laut. Namun, laut bagi Chairil Anwar adalah "sesuatu yang romantis", sementara bagi Asrul Sani, laut adalah "suatu misteri".

Asrul Sani diakui sebagai pionir dalam dunia sastra Indonesia, terutama dalam konteks Angkatan '45. Karirnya sebagai sastrawan mulai menanjak setelah bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan buku puisi berjudul "Tiga Menguak Takdir". Buku ini mendapatkan banyak tanggapan, terutama karena judulnya yang memunculkan berbagai tafsir. Kemudian, mereka juga mengguncang dunia sastra dengan mempublikasikan "Surat Kepercayaan Gelanggang" yang merupakan manifestasi dari sikap budaya mereka. Langkah ini benar-benar meningkatkan popularitas mereka di kalangan masyarakat sastra.

Asrul Sani pernah menjabat sebagai redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (yang kemudian berubah nama menjadi Gema), dan Gelanggang (pada tahun 1966-1967). Ia juga menjadi pimpinan umum di Citra Film antara tahun 1981 hingga 1982.

Asrul Sani, sebagai sastrawan, dikenal tidak hanya sebagai penulis puisi, tetapi juga sebagai penulis cerpen dan drama. Cerpennya yang berjudul "Sahabat Saya Cordiaz" diikutsertakan oleh Teeuw dalam "Moderne Indonesische Verhalen", sementara dramanya yang berjudul "Mahkamah" mendapatkan pujian dari para kritikus. Selain itu, ia juga terkenal sebagai penulis esai, bahkan diakui sebagai penulis esai terbaik pada dekade 1950-an. Salah satu esainya yang terkenal adalah "Surat atas Kertas Merah Jambu", yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.

Sejak tahun 1950-an, Asrul Sani mulai lebih aktif di dunia teater dan film. Karya pertamanya di bidang film adalah skenario "Pegawai Tinggi" pada tahun 1953. Debut penyutradaraan filmnya adalah "Titian Serambut Dibelah Tudjuh" pada tahun 1959. Ia juga mementaskan beberapa karya seperti "Pintu Tertutup" karya Jean-Paul Sartre dan "Burung Camar" karya Anton P. 

Asrul menulis skenario untuk film "Lewat Djam Malam" yang mendapatkan penghargaan dari FFI pada tahun 1955, "Apa Jang Kau Tjari, Palupi?" yang meraih Golden Harvest di Festival Film Asia pada tahun 1971, dan "Kemelut Hidup" yang memenangkan Piala Citra pada tahun 1979. Ia juga menyutradarai film seperti "Salah Asuhan" (1972), "Jembatan Merah" (1973), "Bulan di Atas Kuburan" (1973), dan berbagai judul film lainnya. Salah satu film karya Asrul Sani yang kembali populer pada tahun 2000-an adalah "Nagabonar", yang kemudian dibuat sekuelnya oleh Deddy Mizwar dengan judul "Nagabonar Jadi 2".

Selain menulis puisi, cerpen, esai, naskah teater, dan skenario film, Asrul Sani juga banyak menerjemahkan karya sastra dari luar negeri. Ketika berfokus pada dunia film, terutama pada masa ketika kalangan komunis berusaha menguasai bidang kebudayaan, Asrul bersama Usmar Ismail membantu mendirikan LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) di bawah naungan partai politik Nahdhatul Ulama. Lembaga yang didirikan pada tahun 1962 ini bertujuan untuk menghadapi gerakan dari kalangan "kiri". Usmar Ismail menjadi Ketua Umum, sementara Asrul menjabat sebagai wakilnya. Pada saat yang sama, ia juga menjadi Ketua Redaksi penerbitan LESBUMI yang bernama Abad Muslimin.

Saat memasuki era Orde Baru pada tahun 1966, Asrul Sani menjadi anggota DPR mewakili NU. Ia terpilih kembali untuk periode 1971-1976, mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk provinsi Sumatera Barat. Sejak tahun 1968, Asrul juga terpilih sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan menjabat sebagai Ketua DKJ dari tahun 1976 hingga 1979. Pada tahun 1970, ia diangkat menjadi salah satu dari 10 anggota Akademi Jakarta. Ia pernah menjabat sebagai Rektor LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta), yang sekarang dikenal sebagai Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Asrul juga beberapa kali duduk sebagai anggota Badan Sensor Film, dan pada tahun 1979 terpilih sebagai anggota serta Ketua Dewan Film Nasional. Pada tahun 1995, ia menjadi anggota Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).

Sepanjang hidupnya, Asrul Sani menikah dua kali. Pernikahan pertamanya dengan Siti Nuraini, seorang penyair wanita. Pernikahan keduanya dengan Mutiara Sarumpaet, seorang aktris film dan sinetron yang lebih dikenal dengan nama Mutiara Sani. Dari kedua pernikahan ini, Asrul memiliki tiga putra dan tiga putri. Dari pernikahannya dengan Siti Nuraini, ia memiliki anak-anak yang bernama Fedja Annur Sani, Safira Annu Sani, dan Aini Saini Hutasoit.

Film "Kejarlah Daku Kau Kutangkap" (1985) meraih Piala Citra pada tahun 1986, serta memenangkan Piala Antemas dan Piala Bing Slamet. Sementara itu, film "Naga Bonar" (1986) memperoleh Piala Citra pada tahun 1987. Asrul Sani dianugerahi Anugerah Seni pada tahun 1969 dan menerima Medali Bintang Mahaputera dari Pemerintah Indonesia pada tahun 2000.

Berikut adalah karya-karya Asrul Sani yang bisa ditelusuri, Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, 1950), Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972), Mantera (kumpulan sajak, 1975), Mahkamah (drama, 1988), Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988), Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997). 

Selain karya original, Asrul juga rajin menerjemahkan karya luar negeri seperti, Laut Membisu, karya Vercors (1949), Pangeran Kecil, karya Antoine de Saint-Exupery; terjemahan bersama Siti Nuraini (1952), Enam Pelajaran Bagi Calon Aktor, karya Richard Boleslavsky (1960), Rumah Perawan, novel Yasunari Kawabata (1977), Puteri Pulau, novel Maria Dermout (1977), Kuil Kencana, novel Yukio Mishima (1978), Pintu Tertutup, drama Jean-Paul Sartre (1979), Julius Caesar, drama William Shakespeare (1979), Sang Anak, karya Rabindranath Tagore (1979), Catatan dari Bawah Tanah, novel Fyodor Dostoyevsky (1979), Keindahan dan Kepiluan, novel Yasunari Kawabata (1980), Inspektur Jendral, drama Nikolai Gogol (1986) .

Seperti yang sudah diungkapkan di atas, selain berkarya di bidang sastra, Asrul Sani juga berkarya melalui film. Berikut ini adalah film karya Asrul Sani, Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1959), Pagar Kawat Berduri (1963), Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (1970), Jembatan Merah (1973), Salah Asuhan (1974), Bulan di Atas Kuburan (1976), Kemelut Hidup (1978), Di Bawah Lindungan Ka'bah (1981) .

Asrul Sani meninggal pada hari minggu 11 Januari 2004. Jenazahnya sempat disemayamkan di rumah kakaknya, Chairul Basri, yang secara kebetulan meninggal juga pada hari yang sama, dan kemudian dimakamkan di TPU Menteng Pulo Jakarta, 12 Januari 2004.

Ajip Rosidi, dalam kata pengantarnya untuk kumpulan esai Asrul Sani yang berjudul "Surat-Surat Kepercayaan," menyatakan bahwa kontribusi terbesar Asrul dalam dunia sastra adalah melalui esai. Posisi Asrul sebagai konseptor "Surat Kepercayaan Gelanggang" juga sangat signifikan. Karena banyaknya esai yang ditulisnya, dan untuk menghindari anggapan bahwa penulis esai pada tahun 1950-an terbatas, Asrul menggunakan berbagai nama samaran seperti Ida Anwar, Idham Mahmud, Ali Akbar, Ali Emran, Fajria Novari, dan F. Anwar. Taufik Abdullah menganggap Asrul sebagai salah satu pemikir penting dalam sejarah pemikiran kebudayaan modern.

Sebagai perkenalan dan mengenang Asrul Sani sebagai, mari kita simak dua puisinya puisinya berikut ini,  


BARANGKALI

Engkau yang lena dalam hatiku

akasa swarga nipis-tipis

yang besar terangkum dunia

kecil terlindung alis

Kujunjung di atas hulu

kupuji di pucuk lidah

kupangku di lengan lagu

kudaduhkan di selendang dendang

Bangkit gunung

buka mata mutiaramu

sentuh kecapi firdausi

dengan jarimu menirus halus

Biar siuman dewi-nyanyi

gambuh asmara lurus lampai

lemah ramping melidah api

halus harum mengasap keramat

Mari menari dara asmara

biar terdengar swara swarna

barangkali mati di pantai hati

gelombang kenang membanting diri.


HARI MENUAI

Lamanya sudah tiada bertemu

tiada kedengaran suatu apa

tiada tempat duduk bertanya

tiada teman kawan berberita

Lipu aku diharu sendu

samar sapur cuaca mata

sesak sempit gelanggang dada

senak terhentak raga kecewa

Hibuk mengamuk hati tergari

melolong meraung menyentak rentak

membuang merangsang segala petua

tiada percaya pada siapa

Kutilik diriku kuselam tahunku

timbul terasa terpancar terang

istiwa lama merekah terang

merona rawan membunga sedan Tahu aku

kini hari menuai api

mengetam ancam membelam redam

ditulis dilukis jari tanganku.


Jika amati dua puisi di atas dan kita coba perbandingkan dengan puisi-puisi pada era sebelum Asrul Sani, maka kita bisa setuju dengan pendapat para ahli bahwa puisi-puisi Asrul Sani adalah puisi yang menawarkan bentuk baru dari puisi lama dan era pujangga baru. Selain bentuk atau tifografinya, pada pola pengolahan kata, Asrul Sani sedikit mengabaikan rima bahkan matra pada setiap barisnya. Puisi atau sajak yang ditawarkan Asrul Sani serasa lebih bebas dan fokus pada isi yang di sampaikan. Dengan demikian, wajarlah kiranya, ketia Arsul Sani kemudian mendapatkan julukan Sang Pelopor.      

Terlepas dari itu, yang perlu kita perlajari dan kita teladani dari Asrul Sani adalah bagaimana ia konsisten berkarya, tidak hanya pada satu bidang, tetapi berani mengeksplorasi bidang yag lain dan sampai pada titik menjadi Ahli di bidang yang digeluti.

Demikian. Sekian. Terimakasih.

CAG!!!

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak