Cerpen: Di Pelabuhan

Oleh Mara Uliyah

Peluit kapal mendengking udara, menembus suara lalu lalang kendaraan. Klakson bus bagai pekik sumbang kuli-kuli pelabuhan. Menarik tambang, melompat jangkar. 

Dengan awas sepasang mataku mencari sosok saudara sepupuku yang sudah lama tidak bertemu. Ia adalah Trisna. Aku berjanji menemui sepupuku itu di Pelabuhan Tanjung Perak. Ia bekerja sebagai buruh kontrak di perusahaan kontraktor pembangunan gedung. Ia tinggal berpindah-pindah tempat dan bahkan pindah provinsi sesuai dengan tender yang didapat perusahaannya.  Saat ini ia kembali kerja di Pelabuhan Perak untuk sebuah proyek renovasi pelabuhan setelah puluhan tahun yang lalu p, ia juga pernah bekerja di wilayah sekitar pelabuhan itu, kala itu aku masih kelas 3 SMA.

Trisna berjanji akan mengantarkan aku menyeberangi jembatan Suramadu yang terkenal fantastis itu. Usianya 1 tahun lebih tua dariku. Aku lama tinggal di Yogya dan sudah 25 tahun tidak pernah menginjakkan kaki di tanah kelahiranku, Surabaya karena kedua orang tuaku sudah meninggal dunia. 

Aku datang duluan dan sesuai dengan petunjuknya, aku menunggunya di salah satu warung makan sederhana di salah satu sudut becek dan kumuh pelabuhan. Warung itu bernama Warung Sugeng. Warung masih sepi. Hanya ada aku dan pemilik warung. Trisna datang dengan bersepeda motor. Badannya besar, perutnya buncit tetapi wajahnya tampak dekil dengan kulit wajah menghitam. Bajunya juga dekil. Aku tak mengira ia jadi sedekil ini. Berbeda sekali dengan zaman saat dia muda. Perekonomiannya terlihat susah. Anak istri hidup terpisah. Gaji sedikitnya seringkali dikirim semuanya untuk anak-istrinya. Dia sendiri langganan kas bon di perusahaannya. Potong gaji di tiap bulannya. 

"Kenapa tidak dagang saja. Atau buka usaha di desa. Kebun jatimu bisa disulap jadi warung makan yang estetis. Bukankah tetangga depan rumahmu sering menggelar pengajian besar? Buka usaha warung makan. Baca amalan-amalan agar usaha lancar mungkin," saranku di tengah perbincangan melepas kangen pada segala sejarah hidup di Surabaya.

“Kebun jatiku sudah kujual habis,” katanya, “soal amalan atau ajian aku dulu punya banyak. Mau model apa saja, ada.”

“Oh ya?” aku tersentak. Selama ini aku tak pernah tahu kalau dia juga pernah punya ajian. “Gampang banget cari seperti itu. Tapi ya itu, kalau terikat begituan, hawanya itu ‘panas’ terus. Emosi mudah banget meledaknya.”

“Masa sih bisa begitu?”

“Waktu aku pakai ‘itu’ aku sempat membunuh preman pelabuhan sini.”

Aku tersedak. Minuman jeruk hangat terasa membakar kerongkonganku. Napasku tercekat. Bulu kudukku merinding. Tidak kusangka, sepupuku ternyata seorang pembunuh.

“Aku marah padanya karena saat itu dia bilang tertarik padamu. Sementara dia seorang preman yang punya istri serta anak. Dia nekat mau memperkosamu kalau kamu tak mau dinikahinya. Dia sering lihat kamu saat kamu mengantarkan makanan dari Bulek untukku ke mess-ku dulu.” Aku ingat peristiwa itu dan aku sering mengantar makanan untuknya.

“Jadi, aku membunuhnya.” Dia mengulangi kata-katanya.

“Lalu kamu bisa lolos? Mayatnya kamu taruh mana?” kejarku dengan tubuh panas dingin.

“Mayatnya aku tanam tepat di atas kursimu, Mbak.” Tiba-tiba seorang perempuan seusiaku muncul dan menghidangkan kopi hitam bersemu merah dengan tersenyum manis ke arah Trisna. Dia duduk di samping Trisna dengan tangannya diletakkan di paha Trisna.

“Trisna lalu kuhukum untuk menggantikan posisi Sugeng, pria yang dia bunuh untuk menyelamatkan kamu dan aku.”

Kepalaku terasa makin berat terlebih melihat jelas di kopi Trisna terdapat cairan merah seperti darah haid perempuan. Kopi yang diniatkan untuk mengguna-gunai laki-laki.

Dari arah pelabuhan peluit kapal mendengking, kuli-kuli pelabuhan sibuk melepas ikatan tambang, menarik jangkar.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak