Oleh Taufiq Wr. Hidayat
Saya membaca puisi Mahwi Air Tawar. Seorang penyair yang menjual kopi. Meski juga minum Cappucino.
Mahwi Air Tawar
HANTARAN
Sambil melipat tenggat hasrat
Kukitari ranjang mimpi
Dari kebun yang jauh
Wangi nafasmu tak jengah kusesap
Yang terhampar, tak menyilam
Dari buram pandangan terbatas.
Kulempari sumur rahmatmu
Dengan biji-biji garam yang kuperam
Dari tulang rusuk malam
Tak jua terjangkau.
Sambil melipat tenggat hasrat
Dengan ranjaumu kulantakkan kemurungan
Sebelum hitam kelahiran mengasapi angkasa
Tempat kumeminangmu dengan hantaran
Cinta, kasih, dan kerinduan tak sanggup
Kuucapkan di semberang tempat.
Masalahnya, kenapa cinta harus diucapkan? Ia diucapkan melalui puisi, bunga, pesan singkat, tanda, atau entah apa lagi. Bahkan pada suatu keadaan tertentu, cinta diungkapkan melalui iklan kondom. Ada lirik lagu lama, bahwa katanya cinta dan sayang tak perlu diucapkan. Cukup tingkah laku, katanya. Dan perbuatan adalah media untuk menyampaikan. Ada sesuatu yang diantarkan, bagaikan gelombang.
Lirik lagu lama itu, tentu bukan puisi. Puisi punya “nafas lain” perihal cinta, sebagaimana puisi Mahwi di atas: “wangi nafasmu tak jengah kusesap”.
Lali kenapa seseorang menunggu? Jawaban dari sebuah penungguan tak sesingkat peristiwa kenapa orang menunggu hujan reda.
Penungguan selalu mengusik. Ada kekuatan gaib dalam diri seseorang, hingga bersedia menunggu. Dalam penungguan, kesetiaan dibuktikan. Terdengar naif. Ada hal-hal yang tak mudah dijelaskan dari sebuah penungguan yang begitu lama. Sehingga “kerinduan” itu, berasal “dari tulang rusuk malam”. Muasal dan bagian jiwa yang entah.
Dalam cerita Iwan Simatupang, seorang suami meminta istrinya menanti di pojok jalan, ia pamit beli rokok di warung sana, sebentar. Sepuluh tahun kemudian, sang suami baru datang. Sang istri tetap di pojok jalan itu sebagaimana sepuluh tahun silam. Tapi ia tak lagi seperti sepuluh tahun yang lalu. Ia telah jadi pelacur untuk mempertahankan hidupnya yang pasti, bukan mempertahankan penantian yang tak pasti dengan janji. Itu manusiawi. Dan absurd!
Dalam kisah yang hampir serupa, Seno menulis cerita berjudul "Patung". Absurditas kembali terulang. Seorang lelaki menanti pacarnya selama dua ratus tahun! Tapi ia telah berubah, tak lagi seperti dua ratus tahun yang lalu. Ia benar-benar telah jadi patung batu. Orang-orang mengagumi kesetiaannya, dan orang-orang pun mengolok-olok kesetiaan yang membuatnya menunggu hingga menjelma batu.
Siapa tahu kedalaman hati manusia? Segala yang bergolak dalam dada, sepenuhnya misteri yang tak mudah dipecahkan, bahkan mungkin tak terjelaskan oleh nasib manusia sendiri. Kenapa ia menanti hingga pupuslah segala hari?
Bukankah dengan melupakan, sejatinya seseorang tengah mengenang? Dengan mengingat, sejatinya seseorang melupakan? Pada puncak yang tak terjangkau dari segala perasaan manusia, ada realitas terbalik yang tampak. Orang menangis ketika menerima kebahagiaan yang tak terjelaskan. Orang tertawa untuk menahan duka-derita yang tak terungkap pedihnya.
Kulempari sumur rahmatmu
Dengan biji-biji garam yang kuperam
Dari tulang rusuk malam
Tak jua terjangkau.
Segenap keganjilan dalam satu atau banyak bagian hidup manusia, sejatinya itulah cinta yang hadir dalam segala ungkapannya. Yang tak terpahami secara tuntas, selain dalam humanitas. Meski “kulempari sumur rahmatmu”, bahkan “dengan biji-biji garam yang kuperam”, pikiran dan segenap upaya itu tak menjangkau rahasia dari kenapa segalanya terjadi.
Chaplin mengolok Hitler dengan memparodikan penampilan Hitler. Kita pun mengolok kekejaman berkat jasa Chaplin. Kita memerlukan sebentuk cara yang terpendam di pedalaman kemanusiaan untuk menghadapi semua keadaan yang mustahil. Ia memerlukan pengantar, dan memang begitulah cinta bekerja dengan caranya sendiri.
Waktu selalu menghadirkan peristiwa yang senantiasa menguji kekokohan itu. Hidup ditata dalam tata aturan yang paten, tak boleh direinterpretasi, seperti doktrin agama. Segalanya semata diukur dan ditentukan efisiensi, keuntungan, dan angka-angka yang dihitung. Hasrat berkuasa menggila dalam dada orang. Hidup pun jadi batu, keras, dan harus. Seni cuma hiburan yang tiap saat dilupakan, diganti hiburan baru. Peribadatan semata ritual rutinitas yang kaku, yang berharga di hati hanya yang memiliki nilai jual. Hidup terangkai dari hal-hal yang sejatinya sudah tak hidup. Yang tidak masuk ke dalam arena pengandaian dari hasrat materi, terasing! Yang menghibur dari iman atau agama ialah ekstasi. Orang mendatangi para "penganjur ekstasi" atau yang mistis, klenik, pintas, otak-atik logika yang keblinger. Menikmati kemegahan dalam keterpurukan realitas, jadi pujaan yang putus asa atau yang melimpah-limpah. Asik dalam tipuan visual dan spiritual yang lena, sambil mempersetankan kenyataan dan kesenjangan kehidupan; menyembah keangkuhan.
Dengan ranjaumu kulantakkan kemurungan
Sebelum hitam kelahiran mengasapi angkasa
Kemudian di mana lagi ruang menangis sendiri selain dalam keterasingan? Tanya penyair. Banyak orang menangis, tapi air matanya, buaya. Barangkali bukan tangis dan tawa yang mungkin diterima ke lubuk hati-Nya, tapi harapan yang tak terjangkau oleh pengertian-pengertian manusia itu sendiri.
Mahwi Air Tawar bukan nama asing di dunia sastra Indonesia. Penyair itu rambutnya sudah uban, meski umurnya belum setengah abad. Ia menulis banyak perihal Madura, di luar Madura. Puisi-puisinya bagai menghantarkan rayuan orang pesisir yang jauh dari perkotaan, di antara daun-daun cemara udang, meniupkan kerinduan pada tualang. Tapi yang menikmati keterasingan yang panjang, juga kegembiraan ganjil dalam hantaman ombak dan selimut angin.
Di sebuah perapatan jalan, Mahwi bagai memanggil masa lalu. Kemudian hujan tiba. Kembali bersemi dan menghijaulah segala nama dan kenangan dalam puisinya.
Muncar, 2024