Oleh May Wagiman
Tokyo, Mei 2024.
“... akhirnya dia mati di sini. Broken hearted …,” Ken berkata. Yasmina Rusli memandang tempat tinggal terakhir Mimi. Ruangan berdinding hijau pupus. Jendela kaca buram. Jeruji besi kecokelatan. Tanda-tanda karatan terlihat di sana sini. Pemandangan di hadapannya sangat menyedihkan.
Begitu Yasmina akan berkomentar Ken sudah tak ada di sampingnya. Laki-laki itu sedang mengamati pajangan foto yang berderet tak jauh dari tempatnya berdiri. Foto-foto itu seakan menceritakan kisah hidup Mimi. Mulai dari hari pertama dia tiba hingga kejadian lima tahun lalu.
Kematian Mimi diberitakan media massa setempat. Kematian kedua di tempat ini yang terjadi dalam waktu singkat. Yasmina–setelah menghubungi Ken Abe, seorang rekan jurnalis asal Tokyo, datang untuk melihat sendiri tempat kejadian dan memastikan liputan yang memberitakan kedua peristiwa itu.
Ada sesuatu yang berbeda mengenai liputan wanita itu kali ini. Ia dan tim redaksinya setuju untuk meliput sisi humanitas dari kisah Mimi yang berasal dari Indonesia. Berita sedih itu menginspirasi jurnalis lulusan sastra Jepang ini untuk menceritakan betapa tak ada bedanya Mimi dengan para ibu pada umumnya.
“Lihat.” Ken menunjuk foto pertama dari deretan foto-foto di dinding. “Aku baru lulus kuliah waktu dia datang.” Mimi saat itu berusia enam tahun, difoto bergandengan tangan dengan Haruki Yamada. Orang yang disebut-sebut media massa sebagai ayah angkat, mengasuhnya hingga Mimi meninggal.
Foto Mimi saat berulang tahun ke-10. Banyak orang datang untuk ikut merayakan. Saat melihat foto-foto itu, perasaan duka memenuhi hati Yasmina. Ia ingat betul judul artikel koran yang dikirim Ken setahun sebelum mereka bertemu, `Mimi Menyerang Ayah Angkatnya!`.
Kedua jurnalis itu masih mendiskusikan foto-foto Mimi saat terdengar sapaan ramah.
“Konnichiwa ….”
Yasmina dan Ken berbalik memandang seorang pria tinggi kurus. Membungkuk, Ken memberi salam.
“Selamat siang, Pak Haruki Yamada. Terima kasih untuk waktunya hari ini.”
“Yoroshiku onegaishimasu!” (Terima kasih banyak) Yasmina berkata sambil juga membungkukkan badannya. Haruki Yamada yang pada saat kejadian menjabat sebagai kepala unit perawatan bersedia untuk diwawancarai.
Ketiganya memutuskan untuk duduk di bangku kayu di depan kafe. Tiga kopi panas dan IC recorder telah siap di atas meja. Cuaca nyaman bulan Mei disertai suara burung dan teriakan nyaring hewan lain menjadi latar belakang pertemuan mereka.
“Interview saya dengan jurnalis Jepang ada diterbitkan di koran. Tapi waktu itu berita Covid-19 mulai ramai dibicarakan. Jadi saya merasa berita tentang Mimi hanya dilihat sekilas. Itu juga tidak detail.” Haruki Yamada memulai.
“Bisa ceritakan ketika Mimi pertama kali tiba di sini, Pak Yamada?”
Yasmina melihat kerutan garis-garis halus pada kening dan sudut mata pria asal kota Kyoto ini. Wajahnya menengadah memandang ruang kosong di atas kepala wanita muda di hadapannya. Bapak itu berusaha mengingat kembali kedatangan `anak angkat`-nya pada awal musim semi 2009.
15 tahun lalu udara dingin tak mengurangi niat pengunjung untuk mendatangi kebun binatang besar Tokyo. Antrean panjang terlihat menuju kandang berjendela kaca besar. Mimi yang ditemani oleh Yamada asyik bergelantungan pada seutas tali.
Orang utan pertama di kebun binatang ini ditemukan di dalam hutan Kalimantan Timur. Seperti kisah bayi orang utan lain di pulau Kalimantan, Mimi terlantar di hutan setelah ibunya dibunuh karena dianggap hama yang merusak perkebunan penduduk.
Tiga kali Mimi berganti tempat tinggal di kebun binatang itu. Saat pertama tiba dia tinggal di ruangan berukuran lima meter persegi. Empat tiang berdiri di tengah dengan tali gantung dan hammock untuk tempatnya bermain.
“Mimi mendapatkan namanya dari hasil lotere. Bisa ceritakan sedikit tentang itu?” Pertanyaan selanjutnya dari Yasmina.
Lotere pemilihan nama diadakan pihak kebun binatang. Dua bulan sebelum Mimi datang, ajakan untuk memberikan nama disiarkan di berbagai media cetak dan televisi.
“Siapa sangka bisa terkumpul 200-an nama. Beritanya juga sempat disiarkan oleh stasiun TV,” tutur Yamada.
“Manajer kebun binatang mengambil satu lipatan kertas dari kumpulan nama, lalu menyebut dengan nyaring, Mimi!” Yamada berseru menirukan manajernya.
“Lalu bagaimana dengan nama pasangannya?”
“Nah, kalau itu ditentukan oleh kebun binatang lain.”
Pada tahun 2016 saat Mimi berusia 13 tahun, Taro didatangkan untuk menjadi pasangannya. Begitu orang utan jantan itu tiba, Mimi dipindahkan ke tempat lebih luas yang cukup untuk dua ekor orang utan dewasa.
Tempat bermukim yang kedua ini juga berjendela kaca besar, namun kali ini berdinding putih setinggi delapan meter. Tali-tali panjang dan hammock juga terpasang pada tiang-tiang besi. Dua pohon ditanam di tengah kandang.
“Pak Yamada dekat dengan Mimi? apa tugas Bapak dulu?” Wanita itu bertanya.
Bapak itu terdiam sebentar. “Lama-lama saya menganggap Mimi seperti anak sendiri.”
Sebelum Taro datang ada dua orang yang mengurus. Haruki Yamada dan seorang petugas lain. Memberi makan, membersihkan, dan memelihara kandang hanya sebagian dari tugas mereka.
“Tugas yang selalu saya utamakan adalah menjaga kondisi Mimi supaya tidak stres. Dan mencatat rinci setiap hal penting.”
“Misalnya hal penting apa, Pak?” tanya Ken.
“Perilaku yang tidak biasa. Kalau ada yang di luar kebiasaan, saya langsung laporkan pada manajer atau dokter hewan. Intinya menjaga kesehatan Mimi, fisik dan mentalnya.”
“Menurut rekan saya, Ken. Nama anak Mimi juga dari hasil lotere?”
Yamada mengangguk.
“Menurut liputan media, Kana mati beberapa bulan sesudah lahir. Bagaimana situasinya saat itu, Pak?” Jurnalis wanita itu bertanya.
Kelahiran Kana pada bulan Maret 2019 adalah kabar baik yang ditunggu-tunggu. Namun tak diduga bayi orang utan itu meninggal ketika berumur tiga bulan.
“Perilaku Mimi sesudah melahirkan dulu mirip dengan ibu manusia yang mengalami sindrom baby blues. Meskipun secara ilmiah masih terus diteliti. Tetapi menurut dokter hewan, naik turunnya mood Mimi bisa jadi karena perubahan hormon.”
Peristiwa sedih itu terlihat jelas dalam ruang ingatan Yamada. Perjuangan mereka merawat Kana untuk terus hidup. Berjaga dan memberi susu bergiliran selama 24 jam. Petugas merawat Kana bagaikan bayi manusia, namun berhati-hati juga tak meninggalkan kebiasaannya sebagai orang utan.
“Kana menangis ibarat bayi manusia yang baru lahir. Tapi Mimi tidak merespons.” Bapak itu berkata pelan.
Kondisi Kana menjadi lebih stabil setelah lewat seminggu dan tak harus diperhatikan selama 24 jam lagi. Mimi masih belum mau mendekati Kana sampai melewati minggu keempat bulan Maret.
Begitu masuk minggu pertama April terlihat ada sedikit perubahan. Ibu orang utan itu pelan-pelan mau menghampiri dan duduk di samping bayinya. Perubahan perilaku ini, sayangnya masih belum konsisten.
Pada awal bulan Mei tingkah laku Mimi kembali berubah. Kali ini dia menolak untuk makan dan hanya berbaring saja di kandangnya.
“Kondisi Mimi tetap sama selama beberapa minggu,” tutur pak Yamada. “Sampai satu hari, petugas jaga menelepon ke rumah. Hampir tidak pernah petugas menelepon ke rumah pada hari libur.”
Begitu Yamada tiba; petugas, dokter hewan, dan manajer kebun binatang terlihat saling berbicara dengan nada darurat di depan kandang. Yamada lalu melihat Mimi menangis. Di luar kebiasaan, menggendong bayinya sambil mengeluarkan bunyi nyaring dari kerucutan bibirnya. Gestur yang biasa dilakukannya saat sedih. Kejadian itu langsung menarik perhatian media massa setempat.
“Lebih dari 10 tahun saya merawat orang utan. Tiap orang utan beda. Tapi saya tetap tidak habis pikir. Cara mereka berduka, mengekspresikan rasa sedih, mirip sekali dengan kita.” Bapak itu berkata.
“Dokter hewan tidak menemukan penyebab pasti kematiannya. Bonding antara ibu dan anak orang utan sangat penting. Kana, sayangnya tidak mendapat ikatan itu,” tambahnya.
Setelah beberapa menit lewat, Yasmina berkata pelan.
“Kalau tidak keberatan, tolong ceritakan kejadian setelah itu.”
Perilaku Mimi berubah drastis sekitar sebulan setelah Kana mati. Dia menjadi agresif. Disebutkan di berbagai surat kabar bahwa Mimi menyerang Taro dan memukul petugas yang merawatnya. Satu surat kabar menulis, `Mimi Menyerang Petugas Kebun Binatang`. Koran lain membuat headline, `Mimi dan Perilakunya yang Abnormal`.
“Banyak goresan luka di tubuh Taro.” Yamada mengakui.
“Saya baca di koran–meskipun beritanya tidak begitu rinci, Pak Yamada juga pernah diserang, betul?”
Tak langsung menjawab pertanyaan Yasmina, bapak itu menggoyang-goyangkan cangkirnya perlahan.
“Saya sempat luka parah. Harus rawat inap di rumah sakit selama dua minggu lebih.” Tanpa sadar Yamada menggelengkan kepalanya.
“Ada petugas yang melihat Mimi mendorong hingga kepala saya terantuk tiang besi. Begitu sadar saya sudah di rumah sakit.”
Mimi terpaksa dipindahkan ke kandang isolasi. Tempat tinggal terakhirnya selama enam bulan.
Yamada dan petugas lain membersihkan kandang dan memberi makan dari luar jeruji besi. Awalnya orang utan itu memberontak dengan mengguncang-guncangkan jeruji, membuat kegaduhan, atau mengeluarkan jeritan kencang.
Sekitar dua bulan setelah itu, Mimi berubah 180 derajat. Menjadi diam diikuti turunnya nafsu makan. Lama-lama dia berhenti makan sama sekali.
“Dokter hewan tidak punya pilihan selain memberi makan melalui infus. Dia sudah tidak ada tenaga dan hanya berbaring saja.”
“Apa Mimi mati karena Kana?” tanya Ken.
“Selain karena asupan makanan yang kurang, kami juga menduga alasannya itu. Lagi-lagi, orang utan tidak jauh beda dengan manusia. Kadang kita tidak tahu bagaimana mereka memproses rasa sedih. Tragis. Sangat tragis kejadian itu.”
Lewat tengah hari kedua jurnalis berpamitan dan mengucapkan terima kasih. Ken dan Yasmina hampir mendekati pintu keluar ketika Yamada memanggil.
“Maaf, saya tiba-tiba ingat. Sebelum meninggal, Mimi sempat menyampaikan sesuatu pada saya.”
Yamada lalu membuat gestur bahasa isyarat dengan meletakkan kepalan tangan kanannya di dada, serta membuat gerakan memutar searah jarum jam. Setelah itu ia melanjutkan dengan gerakan melekatkan telapak tangan kanan ke bibirnya lalu digerakkannya ke depan.
“Dia meminta maaf dan mengucapkan terima kasih.”
Bionarasi:
May Wagiman, berasal dari kota Bandung. Penulis cerpen, cerita anak, serta artikel. Karya tulisannya dapat dilihat di media daring serta media cetak. Dapat dihubungi via surel: maywagiman@gmail.com.