Oleh Eka Gilang Wicaksana Sulaiman
Pagi ini istriku pulang ke rumah orang tuanya setelah semalam bertengkar. Pertengkaran semacam ini sudah barang tentu sering terjadi di tiap-tiap rumah tangga. Bukan rumah tangga namanya bila tidak dihiasi dengan pertengkaran. Untungya sejauh ini baik-baik saja, tidak sampai membuahkan luka berat maupun luka ringan, luka di hati pun tidak. Hanya luka yang bersarang di pikiran saja, seperti: hari ini mau makan apa? Siapa yang besok jemput anak? Atau, kira-kira kalau aku pakai baju ini cocok tidak yah? Dan bila aku tidak menanggapi atau hanya sekadar menjawab “iya” biasanya ia akan “ngambek” dan ia akan “ngayab” entah kemana, mungkin saja ke taman, mall, atau pergi ke mantannya? Hmm… Bila orang bertanya, saya akan jawab: ia pergi ke rumah orang tuanya.
Saat-saat seperti ini biasanya aku selalu mengingat momen-momen saat pertama kali mengenalnya. Begini ceritanya, waktu itu aku masih kelas 2 SMA di sebuah sekolah swasta yang terletak di Cisauk, sebuah daerah yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Waktu itu masih pukul 4.00 pagi, aku bergegas ke mushala terdekat dengan pakaian sekolah dan lengkap dengan atributnya. Setelah salat, tepatnya di pukul 04.45 aku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, alasannya selain karena aku berangkat dengan berjalan kaki juga karena aku senang di waktu-waktu itu, sebab jalanan masih sepi, udara bersih, dan yang paling penting saya tidak mendengar suara ibu memarahi anaknya yang kesiangan berangkat sekolah.
Sesampainya di sekolah, matahari sudah mulai terlihat ubun-ubunnya. Biasanya aku hanya sendirian di sekolah, tetapi kali ini aku mendapati sosok gadis berhijab yang “rapat” dari ujung kepala hingga ujung kakinya. aku pun memasuki kelas sembari memberi salam kepada gadis tersebut.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam” jawabnya dengan suara samar-samar.
Setelah itu, aku duduk di tempat biasa aku duduk yang “kebetulan” tepat berada di belakangnya. Tak lama kemudian, ia pindah ke bagian paling belakang pojok sebelah kanan ruang kelas.
“loh, kok pindah?”
Ia tak menjawab pertanyaanku, yang aku tahu dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku, meskipun aku tak tahu persis apakah ia benar-benar tersenyum atau tidak? Sebab hidung dan mulutnya tertutup dengan cadar. Jujur saja aku penasaran dengannya. Maka, ku curi-curi pandang waktu ia lengah. Aku tak bisa mengungkapkan bagaimana indah matanya itu dengan kiasan-kiasan yang berbunga layaknya penyair, tapi percayalah matanya itu memang indah.
Di pukul 07.15 bel sekolah berdenting menandakan waktu belajar-mengajar akan segera dimulai. Seperti kelas-kelas sekolah umum lainnya, anak-anak terbagi menjadi 3 kelompok, yang pertama saya sebut sebagai kelas eksklusif, yaitu mereka yang memiliki semangat belajar yang tinggi. Kedua adalah kelas monoton, yaitu mereka yang semangat belajarnya biasa-biasa saja, tetapi selalu iri dengan capaian orang lain. Dan terakhir, kelas gaul, yaitu mereka yang menganggap eksistensi itu diatas dari kegiatan belajar di sekolah. Biasanya, bilamana terjadi pembagian kelompok, sudah barang tentu mereka akan memilih kelompok yang sesuai dengan pergaulan mereka. Dan ditengah-tengah kelompok belajar itu selalu ada beberapa orang netral yang bisa bermain di kelompok mana saja, seperti aku contohnya.
Pada sesi pengelompokan kali ini, tepatnya pelajaran ‘Sosiologi’ saya satu kelompok dengan gadis berhijab yang diketahui bernama Zahra. Ia memperkenalkan dirinya sebagai seorang anak Ustadz yang sempat terkenal di televisi yang namanya sudah mulai redup entah karena apa. Aku tidak terlalu mengikuti berita di televisi, sebab aku lebih suka menonton kartun.
“Zahra, gimana sih rasanya jadi anak artis?” Ucap Mela yang penasaran dengan Zahra.
“Heh, bukan artis tapi ustadz!” “Ucap Hengky meluruskan dengan nada sedikit menyentak.
“Ngomong apa sih kalian? Mending ngerjain ini dah!” Ucap Hesty sambil menunjukan buku berisi materi sosiologi.
“Aku ngerjain yang Soerjono Soekamto ya?” Ucap saya
“Boleh” Jawab Mela
“Kamu apa Ky?”
“Aku Karl Marx”
“Aku Augustinus”
“Zahra, kamu nanti jadi Notulensi gapapa ya?”
“oke”
“Berarti aku moderator”
Setelah itu kami berlima mengerjakan tugas kelompok sesuai dengan tugasnya masing-masing. Selama kerja kelompok, aku masih saja mencuri-curi pandang, seperti ada aura magis yang memaksaku untuk terus menatapnya meskipun aku sadar betul yang kudapati hanya mata, ya hanya mata dengan pensil alis. Setidaknya hanya itu yang saya kenal dari seorang Zahra semasa di bangku SMA hingga kelulusannya ia tetap menjaga sifat pendiamnya itu.
5 tahun berlalu, Aku sudah lulus kuliah dengan menyandang gelar Sarjana Sastra. Kerja saya hanya menulis, entah cerpen, puisi dan lain sebagainya. Kami semua sudah punya kehidupan masing-masing. Satu-satunya yang masih berhubungan denganku adalah Zahra. Zahra gadis yang sangat religius itu juga sudah lulus dengan menyandang gelar Sarjana Pendidikan. Entah mengapa pemerintah mengganti gelar Sarjana Agama dengan Sarjana Pendidikan.
Meskipun kami sudah punya dunia masing-masing, kami tetap menjaga hubungan kami, lebih tepatnya hubungan tanpa status. Karena aku mulai jenuh dengan hubungan seperti itu, maka aku mulai memberanikan diri untuk naik tahap selanjutnya. Karena kami jarang sekali bertemu, maka aku memulainya melalui chat di Whatsapp.
“Zahra, kamu masih kosong”
“Waalaikumsalam” jawabnya
Membaca ketikan waalaikumsalam kepercayaan diriku hilang seketika.
“Eh iya, Assalamualaikum”
“telat”
Ya, setidaknya Zahra sudah ada sedikit peningkatan, ia mulai humoris meskipun kesan dinginnya masih sangat kental.
“kamu masih kosong?”
“masih, kenapa? Kamu mau ngelamar?”
“Ah, jangan langsung disimpulkan begitu dong, aku jadi nggak siap!” jawabku sambil menggerutu.
“Kalau belum siap, lebih baik jangan dilakukan” Jawabnya ketus
“Astaga”
“Astaghfirullah”
“Aku mau melamarmu, kapan kiranya aku bisa bertemu ayahmu?”
“Besok bisa!”
“Oke, aku tiba di rumah mu besok sore ya!”
Jujur saja, saya tak menyangka akan semudah ini jalannya. Tak seperti wanita kebanyakan yang mesti diratukan, sepertinya –keumuman—wanita itu tak berlaku pada dirinya. Singkatnya saya langsung beranjak ke toko perhiasan membeli apa-apa saja yang diperlukan. Keesokan harinya tepatnya pukul 16.00 saya tiba di rumahnya yang tak jauh dari lokasi sekolah kami dulu. Saat hendak memasuki rumahnya saya terpesona melihat halaman rumahnya yang cukup luas, dan rumah-rumah di sekitarnya juga demikian. Pemandangan yang sangat berbeda dengan yang biasa saya lihat, maklum saya tinggal di perumahan orang kelas menengah ke bawah.
Saya pun memasuki beranda rumah dan mulai mengetuk pintu.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam” Sahut seseorang dari dalam rumah dengan suara beratnya
Saat pintu dibuka, nampaklah seorang dengan tinggi sekitar 160 cm dengan perawakan teduh, bertubuh gagah meskipun agak sedikit bungkuk.
“Ada apa mas” Ucap pria tua
“Apa benar ini kediaman Zahra pak?”
“Kediaman saya! Zahra putri saya” jawabnya dengan nada agak membentak
“Itu maksud saya pak” jawab saya kikuk
“Langsung saja, apa keperluan mu?”
“Saya mau melamar putri bapak”
“owh begitu, lalu?”
“hanya itu pak”
Setelah itu tak ada jawaban lagi yang keluar dari mulutnya, hanya kode mengisyaratkan saya untuk duduk di kursi beranda.
“Siapa namamu anak muda?”
“Saya Hilal pak”
“Bulan sabit penanda hujan”
“maksudnya pak?”
“Arti namamu saja kau tak paham, bagaimana bisa kau memahami orang lain?”
“Maaf pak, saya memang tak pernah menanyakan hal itu”
“Maka, kau harus memahami itu!”
“Baik pak”
Kemudian, bapak itu menyulut rokoknya dengan gagahnya. Saya hanya terdiam menatapinya sambil menahan dengkul yang terus bergetar.
“Apa yang membuatmu ingin melamar Zahra?”
“Hati”
“Alasannya?”
“Tidak tahu”
“Pernah berhubungan dengan wanita?”
“Hanya teman”
Bapak itu diam, menatap saya dalam, sambil merapalkan sesuatu yang entah saya tak bisa mendengar secara pasti.
“Hilal, putra dari pasangan Buruh hendak menikahi putriku” Katanya secara tiba-tiba
Jujur saja saya heran, bagaimana dia bisa tahu tentang keluarga saya, padahal saya belum memberi tahu apa-apa.
“Kamu orang baik, saya terima lamaranmu.”
“Terimakasih pak”
Setelah itu, si bapak beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian Zahra tiba dengan membawa dua cangkir teh.
“Kok, tegang?”
“Ah, sepertinya enak bila kucicipi tehnya”
“Jangan lupa bismi….”
“aduh”
“Emang enak!” Ucapnya puas melihatku kepanasan sesaat setelah kucicipi teh buatannya.
Setelah itu kami mengobrol panjang tentang pernikahan yang akan kami laksanakan 1 bulan setelah kedatangannku ke rumahnya. Dan pada akhirnya kami pun menikah pada 7 Juli tanggal yang dipilih oleh bapak Zahra.
Setelah 10 tahun berlalu, kami belum juga memiliki anak. Bukan karena Tuhan belum memberi kami keturunan, melainkan karena Zahra yang belum ingin melakukan hubungan intim.
“Sudah 10 tahun berlalu, dan kita belum juga punya anak” Ucapku menggerutu
“Memangnya kalau kita punya anak, kau mau apa?”
“Ayolah Zahra, usia kita sudah tidak muda lagi. Aku khawatir kalau ini diteruskan selamanya kita tak akan memiliki keturunan!”
“Kamu kan tahu Lal, Aku belum siap! Kebutuhan semakin tinggi, penghasilanmu dari menulis saja tak akan sanggup untuk menghidupi kebutuhan anak secara layak!”
“Loh, bukannya dalam agama diajarkan kalau setiap anak memiliki rezekinya masing-masing? Kamu kan lebih paham soal itu!”
“Ya memang setiap anak memiliki rezekinya masing-masing! Tapi bukan berarti menyerahkan nasibnya begitu saja Lal!”
“Astaga!’
“Astaghfirullah!”
Saya yang sudah kepalang emosi langsung menerjangnya dengan sekuat tenaga dan membopongnya ke kamar tidur. Ia pun tak tinggal diam, ia memukuli apa saja bagian tubuh saya yang bisa dipukul, sesekali menggunakan alat yang ada disekitarnya.
“Ahhh” Zahra berteriak waktu serangan pertama saya masuk ke dalam kemaluannya
Supaya pergerakan saya semakin liar, maka saya merobek pakaiannya. Dan waktu saya merobek pakaiannya saya langsung terdiam seketika.
“Puas?” Jawab Zahra yang sebal tetapi nampak malu sembari menutupi ketiaknya yang berbulu lebat.